Selama di Munich
kami menginap di hotel Schattenhofer.
Ternyata hotel tersebut bekas pabrik bir di zaman dulu. Gedungnya kuno
dan kebetulan saya mendapat kamar di gedung belakang yang mereka sebut “gedung
kuning”. Ketika sudah mendapatkan kunci
dan diberitahu arahnya, kami segera menyebarang halaman menuju gedung
kuning. Kami jalan cepat karena waktu
itu hujan rintik-rintik. Sampai di depan
pintu gerbang, gedung tersebut kami ragu-ragu, karena ruangan lobi di dalam
gerbang gelap atau lebih tepat disebut
remang-remang. Tidak ada petugas di
gedung tersebut. Kami beranikan untuk masuk dan menghidupkan lampu dan mencari
kamar. Kebetulan saya mendapatkan kamar
301 yang berarti di lantai tiga. Tiba di
lantai tiga lorong juga remang-remang, karena hanya ada lampu kecil di ujung
lorong yang menyala. Saya pun segera
mencari skaklar untuk menghidupkan lampu lorong.
Setelah menemukan
kamar, memasukkan koper, ganti baju, mandi dan sholat saya keluar kamar. Ternyata lampu lorong mati. Saya baru sadar, kalau lampu lorong dan lampu
lobi tampaknya dibuat otomatis akan mati setelah beberapa lama menyala. Saya tidak tahu rentang waktu hidupnya dan
juga tidak tahu apakah kalau ada aktivitas orang disitu lampu tetap hidup atau
juga mati setelah menyala beberapa lama.
Artinya saya tidak tahu apakah untuk mematikan lampu tersebut
menggunakan sensor waktu (timer) atau menggunakan sensor gerakan. Pelajaran menarik buat saya. Mungkin Unesa
sudah waktunya memikirkan model itu.
Selama ini seringkali dosen/mahasiswa/karyawan lupa mematikan lampu atau
AC ketika keluar ruang kerja/ruang kuliah/laboratorium.
Kamis tanggal 20
Nopember 2014 kami (rombongan Unesa) meninggalkan Munich menuju Venice Italia,
dengan naik kereta api. Kami berangkat
ke stasiun Kinding diantar oleh mobil Elabo.
Kebetulan mobil yang biasa saya tumpangi selama di Munich terlambat
datang, sehingga saya bergabung dengan mobil lainnya yang dikemudikan oleh
Khaterina (Kate), sopir cantik berambut blonde yang sering digoda oleh
teman-teman.
Tampaknya Kate tidak
hanya muda dan cantik, tetapi juga seorang entertaner yang baik. Selama perjalanan, dia bercerita ini dan itu.
Mendekati stasiun, mobil dibelokkan sedikit dan ternyata dilewatkan rumah
orangtuanya. Dia lantas bercerita
tentang “kampungnya” dengan diselingi kelakar kecil. Saya komentar “why don’t
you invite us to visit your house”, dia hanya ketawa saja.
Kami agak kerepotan
naik kereta api, karena semua membawa koper yang cukup besar. Oleh karena itu saya agak kaget ketika dapat
penjelasan nanti ganti kereta di stasiun Ingolstadt, pindah platform dari
paltform 6 ke platform 3 dan waktunya hanya 7 menit. Diaturlah strategi turun dan naik kereta. Separoh
rombongan lewat pintu depan dan separohnya lewat pintu belakang. Koper sudah dibawa ke dekat pintu gerbong
kereta. Setelah turunpun kami harus buru-buru dengan menarik koper besar. Untunglah semua dapat teratasi sehingga
dengan selamat naik kereta berikutnya ke Munich.
Seperti di negara
maju lainnya, kereta datang dan berangkat tepat waktu, sehingga kita dapat
merancang perjalanan dengan baik. Kereta
juga berhenti tepat di lokasi yang telah diberi tanda, sehingga kita segera
tahu dimana harus menunggu. Moga-moga inovasi PT KAI yang dimulai dari KA
PRAMEX Jogya-Solo dapat berkembang, karen sekarang orang lebih senang baik
Pramex daripada naik bis atau membawa mobil sendiri untuk Jogya-Solo.
Kami tiba di Munich
pukul 11an (saya lupa tepatnya) dan kereta ke Venice berangkat jam 12 sekian
(saya lupa tepatnya), sehingga ada waktu kosong sekitar 1 jam. Kami menduga
makanan di kereta harganya mahal dan tidak banyak pilihan, sehingga kami
putuskan lebih baik makan di stasiun. Tentu makan siang gaya Jerman. Karena ingin aman, saya pesan salmon dengan
kentang dan ternyata cukup lezat.
Tampaknya semua teman dapat pilihan yang baik, sehingga merasa senang.
Selesai makan siang,
kami segera ke platform dan menunggu
kereta datang. Begitu kereta datang,
kami segera naik dengan startegi yang sudah diatur sebelumnya. Ternyata gerbong kereta Munich-Venice yang
kami tumpangi ada beda pengaturannya. Setiap gerbong dibagi dalam kota-kota
berisi 6 kursi, tiga-tiga saling berhadapan.
Setiap kotak ada pintu geser, ada meja kecil dan ada cop-copan
listrik. Penumpang tidak penuh, sehingga
kami dapat mengatur duduk agak longgar.
Sesuai dengan
skenario dari Surabaya, saya mengingatkan teman-teman kalau perjalanan akan
melewati pegunungan Alpen yang sangat indah dan banyak gunung yang puncaknya
tertutup salju. Kereta akan melewati
tiga negara, dari Jerman (Munich terletak di Jerman bagian selatan), terus ke
Austria (negara pegunungan yang sangat indah) dan terakhir masuk ke Italia
bagian utara. Semua teman bersemangat menyiapkan tustel dan HP untuk mengambil
foto. Sayapun terbawa ikut mengambil
beberapa foto.
Begitu kereta masuk
ke Asutria (HP akan dapat pesan provider tentang roaming di Austria) dan
pemandangan sangat bagus hampir semua teman sibuk mengambil foto. Banyak yang keluar dari petak tempat duduk
dan berdiri di lorong agar dapat mengambil foto yang bagus. Ketika kereta
berhenti di stasiun Innsbruck (stasiun besar di Austria) teman pada sibuk
mengambil foto. Saya bertanya untuk apam
kan hanya stasiun seperti biasanya.
Ternyata untuk “bukti fisik” sudah pernah ke Austria. Masuk akal, tetapi tetap saya sampaikan kalau
pemandangan di pegunungan Alpen sangat indah.
Hutan pinusnya sangat khas dan bagus.
Tebing gunungnya sangat terjal, seakan tembok yang membatasi pemukiman
atau perkerbuan atau peternakan dengan gunung yang tinggi. Banyak jembatan melangkai jurang yang sangat
dalam, sehingga tiang jembatan bagaikan ratusan meter tingginya. Jadi jangan
lupa mengambil foto yang banyak.
Karena perjalanan
cukup lama (sekitar 6 jam), tampaknya teman-teman lapar. Mulailah
pada mengeluarkan makanan. Ada makanan
yang dibawa dari Surabaya, ada makanan yang dibeli di Dubai ada makanan yang
diambil dari restoran hotel saat makan pagi.
Ada yang mengupas mangga. Yang
saya kaget, saya ditawari kopi. Saya
keluar petak tempat duduk dan melihat ada teman yang merebus air dengan teko
listrik ditancapkan di cop-copan kereta api.
Dalam hati saya takut, karena dapat dimarahi atau bahkan didenda. Alhamdulillah sampai selesai tidak ada
petugas yang lewat.
Masuk ke wilayah
Italia, situasi mulai berbeda. Tampak
banyak kebun anggur di kiri kanan perjalanan.
Juga perkebunan lain yang saya tidak tahu pasti. Seperti jeruk atau plum atau entah apa. Yang pasti kebun buah-buahan, karena dari
kereta da yang sudah berbuah. Kondisi stasiun dan flat/apartmen di kiri
kanan jalan tidak sebaik di Jerman dan Austria.
Tampak sekali bukti bahwa Italia bukan sebara kaya dan bahkan sekarang
teracam akan terkena imbas bangkrut oleh tetangganya yaitu Yunani. Lahan di kiri kanan jalan kereta juga banyak
berlukar yang tampak tidak terperlihara.
Ketika masuk daerah
Verona dan kereta berhenti agak lama, beberapa teman laki-laki mulai diingat
sepak bola dan bertanya dimana stadionnya.
Tampaknya nama klub Verona menjadi pemicu ingatan, kalau Italia memiliki
banyak klub terkenal, seperti AC Milan, Inter Milan yang sekarang dibeli oleh
Erik Tohir, Napoli, Verona, Juventus dan sebagainya. Kebetulan kereta melewati
bangunan melingkar yang ada lampu beberapa lampu besar, sehingga teman menunjuk
itulah staion Verona. Saya sendiri tidak
tahu, karena belum pernah ke Verona.
Sambil mengamati
pemandangan sepajang masuk Italia dan membandingkan dengan saat masih di Jerman
dan Austria, saya berpikir “bukankah Italia itu pernah menjadi pusat kekuasaan
besar yaitu imperium Romawi”. “Bukankah
Yunani itu pusat peradaban yang paling awal”.
“Mengapa sekarang jadi mundur dan jauh tertinggal dibanding Jerman
apalagi Austria, negara kecil yang tidak punya laut”. “Apakah terjadi salah urus?”. “Atau ikut putaran roda sejarah?”.
Pertanyaan tersebut
tidak terjawab atau paling tidak saya belum mendapatkan jawaban sampai cerita
ini selesai. Bahkan saya bepikir,
bukankah sekarang juga indikator pergeseran dari Eropa Barat ke Amerika dan
sekarang konon Asia akan menjadi pusat kemajuan dunia baru. Apakah itu bagian dari bukti kebesaran dan
keadilanTuhan, sehingga tidak selamanya bangsa maju dapat mempertahankan
kemajuannya. Tidak semua bangsa
terbelakang akan terbelakang terus. Apakah Indonesia, suatu saat dapat menjadi
negara maju atau ikut menjadi pusat peradaban dunia? Saya jadi teringat salah satu ajaran penting “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang
mengubah apa-apa yang ada pada dirinya”.
Tentu itu bukan berarti Allah tidak “campur tangan”, tetapi manusia
harus berusaha mengubah dirinya jika ingin berubah nasibnya. Semoga kita, bangsa Indonesia menyadarinya dan
pada saatnya dapat menjadi negara maju.
Menjelang turun di
stasiun Venesia Mestre, tempat kami akan turun saya mengingatkan kalau di
Italia banyak copet, sehingga harus hati-hati.
Dompet, HP, kamera dan tas harus betul-betul dijaga. Nanti terbukti, Ibu Juhrah hampir kecopetan
di stasiun Venesia St Lucia saat akan naik kereta ke Roma. Semoga saya sempat menuliskan untuk Anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar