Waktu melaksanakan
tugas sebagai visiting scholar di
Bremen University bulan Oktober lalu, saya sempat kaget dan agak
tersinggung. Ketika itu kami sedang
diskusi bebas dengan beberapa teman. Dr.
Ing. Joachim Ditrich, orang Jerman yang pernah lama bekerja di Indonesia
mengatakan kebanyakan dosen di Indonesia tidak memiliki intelectual sensitivity (kepekaan intelektual} yang baik. Mungkin karena merasa sudah sebagai teman
baik, Pak Ditrich ngomong apa adanya sesuai dengan pengalaman bertahun-tahun
bekerja di universitas di Indonesa.
Walaupun demikian saya tetap kaget dan agak tersinggung.
Apakah yang dimaksud
oleh Pak Ditrich sebagai kepekaan intelektual?
Mendengarkan ungkapan Pak Ditrich dan juga Pak Pekka (Dr. Pekka
Kamarainen), orang Indonesia kurang terangsang untuk mempertanyakan segala
sesuatu yang dihadapi. Orang Indonesia cenderung menerima begitu saja data dan
informasi yang diterima, walaupun data dan informasi itu bagi orang Barat
ganjil.
Walaupun tersinggung,
dalam hati saya juga membenarkan.
Pengalaman membimbing penelitian tesis dan disertasi, saya sering
menjumpai mahasuswa yang tidak merasa kalau data yang diperoleh atau hasil
analisisnya aneh. Banyak juga yang tidak
melihat adanya dua faktor atau dua variabel yang tampak saling terkait. Ketika membaca data statistik yang sangat
kaya informasi, mereka juga tidak terdorong untuk mencermati dan mengaitkan
satu dengan lainnya.
Setelah saya
renungkan, mungkinkah itu karena budaya kita?
Mungkinkah itu karena pendidikan kita?
Memang budaya kita tidak
mendorong anak anak untuk memertanyakan apa yang di lihat. Kita seringkali merasa terganggu ketika ada
anak kecil yang selalu bertanya ini dan itu.
Cucu saya, si Freya yang baru berumur 20 bulan selalu ngomong “apa
itu?”. Setiap melihay sesuatu yang baru
selalu mengucapkan kata “apa itu”. Walaupun sadar itu perkembangan penting bagi
anak, seringkali kita kehabisan kata-kata untuk menjawab. Bahkan ada orang yang memberi respons “jangan
tanya melulu”.
Dalam keberagamaan
kita, khususnya di keluarga saya, juga terbiasa harus yakin dan bahkan tabu
untuk mempertanyakan. Aturannya atau keterangan sudah begitu, tidak usah kita
pertanyakan, karena akal kita ini kan terbatas. Itulah jawaban yang sering saya
dapat di masa kecil ketika mempertanyakan ini dan itu.
Saya tidak bermaksud
menilai budaya kita atau pola keberagamaan kita, karena merasa tidak punya
kompetensi di bidang itu. Yang ingin
saya diskusikan, apakah kebiasaan seperti itu yang membuat kita kurang memiliki
kepekaan intelektual sebagaimana disinyalir oleh Pak Ditrich. Saya ingin membandingkan dengan kebiasaan
orang Barat yang memiliki skeptisitas tinggi dan selalu mempertanyakan apa yang
dilihat.
Apakah itu terkait
dengan pendidikan kita yang kurang mengarah ke berpikir tingkat tinggi (high
order thinking)? Dua pertanyaan yang
berkait erat dengan berpikir tingkat tinggi adalah mengapa (why) dan bagaimana
(how). Jujur kita harus mengakui dua
jenis pertanyaan itu belum terbiasa dterapkan dalam pendidikan kita. Pendidikan kita cenderung menerapkan
pertanyaan yang terkait dengan “apa”,
“dimana”, “kapan” dan “berapa”. Contoh
paling mudah adalah dengan membandingkan soal-soal UN kita dengan soal-soal
PISA. Soal-soal UN kita cenderung ke
empat jenis pertanyaan itu, semenara soal-soal PISA cenderung ke dua jenis
pertanyaan sebelumnya.
Mungkin pertanyaan
berikutnya, apakah intelektual sensitivity itu penting bagi anak bangsa ini?
Jika ya, bagaimana mengembangkannya?
Menurut saya penting, paing tidak untuk membuat anak bangsa ini
terdorong untuk mencermati fenomena di sekitar kita. Misalnya mengapa tiba-tiba di Bima banjir
besar? Mengapa taksi uber dan grab
menggilas taksi yang sebelumnya sudah mapan?
Mengapa kita selalu impor kedele pada hal kita pemakan tempe dan tahu
sepanjang zaman?
Memang tidak semua
pertanyaan itu dapat kita jawab, karena kita tidak memiliki keahlian di bidang
itu. Namun jika kita tidak
mempertanyakan tentu kita tidak akan ernah terdorong untuk mencari
jawabnya. Semoga.