Sabtu, 03 Desember 2016

PELAJARAN DARI 212



Menyimak televisi dan pemberitaan tentang aktivitas 2 Desember 2012 di Monas sungguh menarik.  Kalau kita percaya pada adagium bahwa belajar itu terjadi kapan saja, di mana saja, dan kepada apa atau siapa saja, maka fenomena 212 sungguh merupakan pelajaran yang sangat berharga dan sayang kalau dilewatkan begitu saja. Kita dapat belajar banyak dari peristiwa itu. Saya tidak punya kapasitas berbicara dari sisi agama, politik, hukum, psikologi maupun sosiolosi.  Sebagai guru saya ingin berbagi dan mengajak belajar dari sisi pendidikan.

Ada beberapa pelajaran yang menarik.  Pertama, niat yang baik terbukti dapat mempertemukan dua orang atau dua kelompok yang semula memiliki pandangan yang berbeda.  Saya yakin Polri dan GNPF memiliki niat yang sama atau paling tidak hampir sama.  Hanya cara mencapainya berbeda, sehingga semula berbeda pendapat dan bahkan tampak berseberangan.  Namun setelah bertemu, berdiskusi ternyata dapat ditemukan solusinya.  Saya yakin solusinya itu bukan sekedar kompromi biasa, tetapi menyekati agar tujuannya tercapai dan sama-sama memiliki, dirumsukan cara yang disepakati pula.  Kalau begitu ajaran (hadits) yang menyatakan “semua amal itu tergantung pada niatnya”, mungkin (sekali lagi mungkin dan mohon maaf jika salah) maknanya dapat diperluas. Bukan hanya pahala yang diperoleh yang tergantung niat, tetapi juga kemungkinan pertemuan pemikiran.  Kalau begitu gagasan the third alternative yang diajukan oleh Stephen Covey juga berlaku di fenomena itu. Polri dan GMPF menemukan alternatif ketiga tentang bagaimana niat itu diwujudkan.

Kedua, masih terkait dengan niat, ternyata kesamaan niat sangat mudah dihimpun.  Bayangkan berapa jumlah orang yang berpatisipasi dalam aktivitas 212 di Jakarta. Seorang teman menginformasikan jumlah orang yang berkomunikasi dengan HP di Monas saat itu lebih dari 2 juta.  Berarti yang hadir di Monas lebih dari itu, dengan asumsi ada orang yang karena beberapa hasil tidak sempat menggunakan HP di Monas.  Ditambah lagi mereka yang mendukung dengan menyiapkan makanan/minuman dan tempat menginap.  Belum lagi, ternyata acara serupa juga dilaksanakan di Medan, Jambi, Makasar dan tempat lain.  Saya tidak dapat membayangkan berapa enersi dan biaya yang keluar untuk hari itu.  Toh dari televisi tampak mereka ceria, sehingga diduga mereka ikhlas melaksanakan itu.  Niat mendukung fatwa MUI tampaknya menjadi pemicu orang rela mengeluar tenaga, waktu dan bahkan dana.  Saya faham bahwa sosialisasi melalui sosmed dan media lain ikut berperan dalam menghimpun masa.  Namun saya juga yakin, maka begitu mudah dihimpun atau bahkan dimobilisasi karena memang memiliki niat yang sama.

Ketiga, sesuatu yang dirancang dengan baik dan dilaksanakan secara konsisten berpeluang tinggi untuk berhasil.  Saya yakin, setelah terjadi kesepakatan antara Polri dan GNPF, dirancang bagaimana melaksanakan kegiatan itu dengan baik.  Dan saya melihat dari televisi bagaimana petugas, panitia dan peserta melaksanakan itu dengan baik.  Sungguh membanggakan lebih dari 2 juta orang berkumpul di satu tempat, tidak menimbulkan gesekan dan merusak tanaman.  Plt Gubernur DKI menunjukkan tidak ada taman yang rusak.  Televisi juga menyiarkan bagaimana peserta bahu membahu membersihkan Monas.  Tentu semua itu dirancang dengan baik.  Pepatah mengatakan if you fail to plan, it means to plan fail.  Jadi tentulah aktvitas 212 itu dirancang dengan baik.

Di samping dirancang dengan baik, tampak sekali petugas, panitia dan peserta melaksanakan aturan atau katakanlah rencana itu secara konsisten.  Di televisi nampak bagaimana mereka berjalan dengan tertib menuju Monas, bahkan ada yang memegang tali agar tidak ada orang lain yang menyusup ke barisan.  Juga nampak bagaimana shaft tertata dengan baik.  Lebih dari itu tampak bagaimana peserta menjaga kebersihan dengan membuang sampah di tempatnya dan membersihkan sampak di tengah guyuran hujan.

Ke-empat, orang Indonesia sangat dewasa.  Jujur saya kagum dan bangga melihat lebih dari 2 juta orang berkumpul di satu tempat, tetapi semua berperilaku tertib dan saling membantu.  Mereka yang membagi makanan dan minuman tampak sangat ramah, peserta tidak ada yang berebut makanan maupun tempat.  Pada hal hujan turun cukup deras. Kalau begitu teori yang mengatakan jika orang berkumpul dalam jumlah besar sulit untuk diatur, harus direvisi.  Paling tidak, ternyata orang Indonesia sudah sangat dewasa sehingga dapat mengendalikan diri, walaupun berkumpul dalam jumlah yang sangat besar.

Kelima, kita sering berkelakar bahwa orang Islam itu punya ajaran kebersihan bagian dari iman, tetapi itu tidak dilaksanakan.  Sejak 2 Desember 2012, kelakar itu harus dihentikan.  Bukankah Monas tetap bersih walaupun di tempat itu ada lebih 2 juta orang Islam berkumpul. Jadi saya yakin, orang Islam paling tidak di Indonesia dan yang ikut ke Monas pada tanggal 2 Desember 2012, telah melaksanakan ajaran bahwa kebersihan itu bagian dari iman.

Tidak ada komentar: