Menyimak televisi dan
pemberitaan tentang aktivitas 2 Desember 2012 di Monas sungguh menarik. Kalau kita percaya pada adagium bahwa belajar
itu terjadi kapan saja, di mana saja, dan kepada apa atau siapa saja, maka
fenomena 212 sungguh merupakan pelajaran yang sangat berharga dan sayang kalau
dilewatkan begitu saja. Kita dapat belajar banyak dari peristiwa itu. Saya
tidak punya kapasitas berbicara dari sisi agama, politik, hukum, psikologi
maupun sosiolosi. Sebagai guru saya ingin
berbagi dan mengajak belajar dari sisi pendidikan.
Ada beberapa pelajaran
yang menarik. Pertama, niat yang baik terbukti dapat mempertemukan dua orang atau
dua kelompok yang semula memiliki pandangan yang berbeda. Saya yakin Polri dan GNPF memiliki niat yang
sama atau paling tidak hampir sama.
Hanya cara mencapainya berbeda, sehingga semula berbeda pendapat dan
bahkan tampak berseberangan. Namun
setelah bertemu, berdiskusi ternyata dapat ditemukan solusinya. Saya yakin solusinya itu bukan sekedar kompromi
biasa, tetapi menyekati agar tujuannya tercapai dan sama-sama memiliki,
dirumsukan cara yang disepakati pula. Kalau
begitu ajaran (hadits) yang menyatakan “semua amal itu tergantung pada
niatnya”, mungkin (sekali lagi mungkin dan mohon maaf jika salah) maknanya
dapat diperluas. Bukan hanya pahala yang diperoleh yang tergantung niat, tetapi
juga kemungkinan pertemuan pemikiran. Kalau begitu gagasan the third alternative yang diajukan oleh Stephen Covey juga berlaku
di fenomena itu. Polri dan GMPF menemukan alternatif ketiga tentang bagaimana
niat itu diwujudkan.
Kedua, masih terkait dengan niat, ternyata kesamaan niat sangat mudah
dihimpun. Bayangkan berapa jumlah orang
yang berpatisipasi dalam aktivitas 212 di Jakarta. Seorang teman menginformasikan
jumlah orang yang berkomunikasi dengan HP di Monas saat itu lebih dari 2
juta. Berarti yang hadir di Monas lebih
dari itu, dengan asumsi ada orang yang karena beberapa hasil tidak sempat
menggunakan HP di Monas. Ditambah lagi
mereka yang mendukung dengan menyiapkan makanan/minuman dan tempat
menginap. Belum lagi, ternyata acara
serupa juga dilaksanakan di Medan, Jambi, Makasar dan tempat lain. Saya tidak dapat membayangkan berapa enersi
dan biaya yang keluar untuk hari itu.
Toh dari televisi tampak mereka ceria, sehingga diduga mereka ikhlas
melaksanakan itu. Niat mendukung fatwa
MUI tampaknya menjadi pemicu orang rela mengeluar tenaga, waktu dan bahkan
dana. Saya faham bahwa sosialisasi
melalui sosmed dan media lain ikut berperan dalam menghimpun masa. Namun saya juga yakin, maka begitu mudah
dihimpun atau bahkan dimobilisasi karena memang memiliki niat yang sama.
Ketiga, sesuatu yang dirancang dengan baik dan dilaksanakan secara konsisten
berpeluang tinggi untuk berhasil. Saya
yakin, setelah terjadi kesepakatan antara Polri dan GNPF, dirancang bagaimana
melaksanakan kegiatan itu dengan baik.
Dan saya melihat dari televisi bagaimana petugas, panitia dan peserta
melaksanakan itu dengan baik. Sungguh
membanggakan lebih dari 2 juta orang berkumpul di satu tempat, tidak
menimbulkan gesekan dan merusak tanaman.
Plt Gubernur DKI menunjukkan tidak ada taman yang rusak. Televisi juga menyiarkan bagaimana peserta
bahu membahu membersihkan Monas. Tentu
semua itu dirancang dengan baik. Pepatah
mengatakan if you fail to plan, it means
to plan fail. Jadi tentulah aktvitas
212 itu dirancang dengan baik.
Di samping dirancang
dengan baik, tampak sekali petugas, panitia dan peserta melaksanakan aturan
atau katakanlah rencana itu secara konsisten.
Di televisi nampak bagaimana mereka berjalan dengan tertib menuju Monas,
bahkan ada yang memegang tali agar tidak ada orang lain yang menyusup ke
barisan. Juga nampak bagaimana shaft
tertata dengan baik. Lebih dari itu
tampak bagaimana peserta menjaga kebersihan dengan membuang sampah di tempatnya
dan membersihkan sampak di tengah guyuran hujan.
Ke-empat, orang Indonesia sangat dewasa.
Jujur saya kagum dan bangga melihat lebih dari 2 juta orang berkumpul di
satu tempat, tetapi semua berperilaku tertib dan saling membantu. Mereka yang membagi makanan dan minuman
tampak sangat ramah, peserta tidak ada yang berebut makanan maupun tempat. Pada hal hujan turun cukup deras. Kalau
begitu teori yang mengatakan jika orang berkumpul dalam jumlah besar sulit
untuk diatur, harus direvisi. Paling
tidak, ternyata orang Indonesia sudah sangat dewasa sehingga dapat
mengendalikan diri, walaupun berkumpul dalam jumlah yang sangat besar.
Kelima, kita sering berkelakar bahwa orang Islam itu punya ajaran kebersihan
bagian dari iman, tetapi itu tidak dilaksanakan. Sejak 2 Desember 2012, kelakar itu harus
dihentikan. Bukankah Monas tetap bersih
walaupun di tempat itu ada lebih 2 juta orang Islam berkumpul. Jadi saya yakin,
orang Islam paling tidak di Indonesia dan yang ikut ke Monas pada tanggal 2
Desember 2012, telah melaksanakan ajaran bahwa kebersihan itu bagian dari iman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar