Sabtu, 10 Desember 2016

PLURALISME



Saya menulis tentang pluralisme bukan karena merasa ahli tentang konsep itu.  Sebaliknya justru merasa kurang faham, sehingga ingin mengkonfirmasi apakah pemahaman saya betul atau keliru sehingga perlu diluruskan.  Hal itu sangat penting, karena saya seorang pendidik jangan sampai salah mengarahkan anak didik saya.

Menurut saya pluralisme itu sebuah faham yang menyadari bahwa kehidupan yang plural merupakan sebuah keniscayaan. Berarti dalam setiap komunitas akan selalu terdapat perbedaan antar orang dari berbagai aspek.  Perbedaan itu bukan hanya dilihat dari suku, ras dan agama, tetapi juga dari aspek lain, misalnya budaya, kemampuan ekonomi dan sebagainya. 

Dalam satu agamapun terdapat perbedaan sudut pandang.  Seperti kita ketahui, dalam Agama Islam terdapat beberapa mazab yang masing-masing memiliki sudut padang yang berbeda.  Di keluarga saya saja misalnya, ada saudara yang memahami berjenggot itu sunah tetapi juga ada yang memahami itu budaya Arab.   Kita juga tahu kalau ada yang sholat subuh dengan membaca Qunut dan ada yang tidak.  Saya tidak tahu apakah pada agama lain (Katholik, Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu), namun saya menduga juga ada “semacam mazab” di dalamnya.

Dalam konteks budaya, dalam satu budaya juga terdapat berbagai “sub-budaya” yang juga memiliki pebedaan antara satu dengan lainnnya.  Misalnya pada budaya Jawa, menurut kawan yang mendalami masalah kebudayaan juga terdapat banyak “sub-budaya”, Jawa Pesisir, Jawa Mentaraman, Jawa Mendalungan dan sebagainya.  Masing-masing “sub-kultur” tentu memiliki ciri khasnya.  Saya yang berasal dari keluarga Jawa Mentaraman dan menikah dengan isteri yang berasal dari keluarga Jawa Pesisiran juga memiliki sudut pandang yang berbeda.

Saya menduga pluralitas seperti itu terjadi pada semua aspek kehidupan.  Kalau menengok bidang lain, misalnya dalam keilmuan setiap pakar memiliki sudut padang yang tidak tapat satu dengan lainnya. Orang seringkali menyebut sebagai school of thought.  Misalnya dalam bidang pendidikan, ada yang berfaham beharis, kognitif, kontruktivis dan sebagainya.  Bahkan beberapa waktu lalu, ketika ada diskusi tentang standar kompetensi guru, rekan-rekan yang berlatarbelakang pendidikan relatif sama, yaitu bidang kependidikan juga memiliki pandangan yang berbeda-beda.

Pemahaman saya, pluraisme memaknai kita harus saling menghargai dan menghormati adanya pandangan atau keyakinan yang berbeda itu.  Kita boleh tidak setuju dengan orang lain yang memiliki keyakinan dan pandangan yang berbeda, akibat perbedaan suku, ras, agama, budaya, dan sebab-sebab lain, tetapi harus menghormati keyakinan atau pandangan orang lain itu.

Dalam bidang keilmuan yang relatif dalam diuji secara empirikpun kita harus tetap menghargai orang yang punya pandangan yang berbeda.  Lebih-lebih lagi untuk aspek keyakinan, yang konon sulit dibuktikan secara empirik, kita harus lebih toleran dan memahami perbedaan.

Beberapa hari lalu, ketika sholat Jum’at di Masjid Raya Bintaro Tangerang Selatan, saya sangat bergembira ketika Khotib menjelaskan dan mengharapkan jama’ah yang meyakini berjenggot itu sunah harus dihargai dan sebaliknya juga menghargai jama’ah yang meyakini itu bukan sunah melainkan budaya Arab.  Jama’ah yang meyakini bercelana di atas mata kaki itu sunah juga harus dihargai dan sebaliknya juga menghargai jama’ah yang meyakini itu bukan sunah.

Lebih sensitif lagi, ketika kita berkawan dan berkomunitas dengan orang yang berbeda agama. Orang yang beragama Islam harus menghargai orang yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu dan sebagainya.  Sebaliknya juga begitu.  Itulah pemahaman saya, mohon pembaca memberi pencerahan.

Tidak ada komentar: