Saya menulis tentang
pluralisme bukan karena merasa ahli tentang konsep itu. Sebaliknya justru merasa kurang faham,
sehingga ingin mengkonfirmasi apakah pemahaman saya betul atau keliru sehingga
perlu diluruskan. Hal itu sangat
penting, karena saya seorang pendidik jangan sampai salah mengarahkan anak
didik saya.
Menurut saya
pluralisme itu sebuah faham yang menyadari bahwa kehidupan yang plural
merupakan sebuah keniscayaan. Berarti dalam setiap komunitas akan selalu
terdapat perbedaan antar orang dari berbagai aspek. Perbedaan itu bukan hanya dilihat dari suku,
ras dan agama, tetapi juga dari aspek lain, misalnya budaya, kemampuan ekonomi
dan sebagainya.
Dalam satu agamapun
terdapat perbedaan sudut pandang.
Seperti kita ketahui, dalam Agama Islam terdapat beberapa mazab yang
masing-masing memiliki sudut padang yang berbeda. Di keluarga saya saja misalnya, ada saudara
yang memahami berjenggot itu sunah tetapi juga ada yang memahami itu budaya
Arab. Kita juga tahu kalau ada yang
sholat subuh dengan membaca Qunut dan ada yang tidak. Saya tidak tahu apakah pada agama lain
(Katholik, Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu), namun saya menduga juga ada
“semacam mazab” di dalamnya.
Dalam konteks budaya,
dalam satu budaya juga terdapat berbagai “sub-budaya” yang juga memiliki
pebedaan antara satu dengan lainnnya.
Misalnya pada budaya Jawa, menurut kawan yang mendalami masalah
kebudayaan juga terdapat banyak “sub-budaya”, Jawa Pesisir, Jawa Mentaraman,
Jawa Mendalungan dan sebagainya.
Masing-masing “sub-kultur” tentu memiliki ciri khasnya. Saya yang berasal dari keluarga Jawa
Mentaraman dan menikah dengan isteri yang berasal dari keluarga Jawa Pesisiran
juga memiliki sudut pandang yang berbeda.
Saya menduga
pluralitas seperti itu terjadi pada semua aspek kehidupan. Kalau menengok bidang lain, misalnya dalam
keilmuan setiap pakar memiliki sudut padang yang tidak tapat satu dengan
lainnya. Orang seringkali menyebut sebagai school
of thought. Misalnya dalam bidang
pendidikan, ada yang berfaham beharis, kognitif, kontruktivis dan
sebagainya. Bahkan beberapa waktu lalu,
ketika ada diskusi tentang standar kompetensi guru, rekan-rekan yang
berlatarbelakang pendidikan relatif sama, yaitu bidang kependidikan juga memiliki
pandangan yang berbeda-beda.
Pemahaman saya,
pluraisme memaknai kita harus saling menghargai dan menghormati adanya
pandangan atau keyakinan yang berbeda itu.
Kita boleh tidak setuju dengan orang lain yang memiliki keyakinan dan
pandangan yang berbeda, akibat perbedaan suku, ras, agama, budaya, dan
sebab-sebab lain, tetapi harus menghormati keyakinan atau pandangan orang lain
itu.
Dalam bidang keilmuan
yang relatif dalam diuji secara empirikpun kita harus tetap menghargai orang
yang punya pandangan yang berbeda.
Lebih-lebih lagi untuk aspek keyakinan, yang konon sulit dibuktikan
secara empirik, kita harus lebih toleran dan memahami perbedaan.
Beberapa hari lalu,
ketika sholat Jum’at di Masjid Raya Bintaro Tangerang Selatan, saya sangat bergembira
ketika Khotib menjelaskan dan mengharapkan jama’ah yang meyakini berjenggot itu
sunah harus dihargai dan sebaliknya juga menghargai jama’ah yang meyakini itu
bukan sunah melainkan budaya Arab. Jama’ah
yang meyakini bercelana di atas mata kaki itu sunah juga harus dihargai dan
sebaliknya juga menghargai jama’ah yang meyakini itu bukan sunah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar