Charles Handy, seorang
ekonom dari Inggris pernah mengenalkan teori kue donat terbalik (inverted doughnut theory) untuk dunia
pendidikan. Kita tentu tahu bentuk kue
donat, yang mirip gelang. Sebuah
bundaran dengan tengahnya berlubang.
Nah, maunya Charles Handy yang isi justru bagian tengah dari kue donat itu. Mungkin kita sulit membayangkan seperti apa
bentuknya. Jadinya ya, mirip bentuk kue
biasa yaitu bentuk kue bundar degan ketebalan sekitar 1 cm.
Charles Handy membayangkan
bagian tengah itu yang merupakan inti, core
atau bagian paling mendasar. Sementara
bagian pinggir itu adalah periperal, kembangan atau orang Jawa menyebutnya
sebagai emperan. Ibarat rumah, mungkin
bagian pokok itu termasuk kamar tidur, dapar dan kamar mandi, yaitu bagian
rumah yang harus ada agar rumah dapat
berfungsi sebagai tempat tinggal.
Yang termasuk bagian periperal itu mungkin teras, gudang dan halaman
yang memang dapat menambar cantik rumah tetapi dalam keadaan kepepet dapat
dihilangkan atau ditunda pembangunannya.
Nah, menurut Charles
Handy, diskusi atau bahkan kebijakan pendidikan seringkali hanya “menyentuh”
atau “mengotak-atik” bagian periperal dan tidak sampai menelaah bagian ini. Orang kampung saya bilang, yang dibahas itu
hanya kembangannya dan bukan pokok permasalahannya. Akhirnya perbaikan yang
dilakukan tidak sampai menyelesaikan permasalahan mendasar pendidikan. Yang terjadi tambal sulam, karena tidak
menyentuh hakekat dibalik masalah yang terjadi.
Apakah sinyalemen
Charles Handy juga terjadi di Indonesia?
Apakah fullday school yang kapan hari rame itu inti atau periperal? Apakah UN yang sempat menunjukkan
ketidakkompakan Kabinet itu inti atau periperal? Apakah revitalisasi pendidikan vokasi itu
inti atau periperal? Apakah pemindahan
kewenangan pendidikan menengah dari kabupeten/kota ke propinsi yang sempat
membuat Pemkot Surabaya dan Pemprov Jawa Timur “umek” itu inti atau periperal?
Untuk menjawab itu,
ada baiknya kita mencermati fenomena berikut ini. Beberapa bulan lalu, saya terlibat dalam satu
diskusi di BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang dihadiri oleh utusan
dari Astra dan Carefour sebagai wakil DUDI (dunia usaha dan dunia industri)
untuk menggali kompetensi yang diperlukan DUDI.
Dua orang utusan DUDI itu sama-sama menyebutkan bahwa yang paling utama
bagi DUDI adalah karakter. Dari 100%
prasyarat, minimal 60% itu terkait dengan karakter, 25% kemampuan berpikir
logis dan belajar dan 15% terkail dengan keterampilan. Ungkapan itu sangat mirip dengan apa yang
disampaikan seorang teman HRD dari sebuah perusahaan raksasa di Bontang. Teman tadi mengatakan, kalau soal
keterampilan, perusahaan dapat melatih dengan cepat. Namun kelakuan dan kemampuan bernalar harus
sudah dimiliki ketika seseorang mulai bekerja.
Tanggal 13 Desember lalu,
Reinald Kasali menyajikan tulisannya di Jawa Pos, kalau tidak salam berjudul “Job
on Demand”. Tulisan itu menunjukkan
perubahan yang sangat besar di dunia kerja dan ternyata itu tidak mampu diikuti
oleh sekolah/universitas. Ketika saya
mendiskusikan tulisan itu dengan beberapa kawan, Pak Shakib dari Al Hikmah
bercerita kalau anaknya yang lulusan Teknik Elektro di ITS, saat mengikuti
Manajemen Trainee di sebuah perusahaan besar justru diarahkan menekuni bidang
marketing. Manajemen trainee selama
sekitar 1 tahun itu ternyata digunakan oleh perusahaan untuk menemukan potensi
peserta dan kemudian mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Sering sekali, calon karyawan itu justru
didorong untuk menekuni bidang yang jauh dari ijasah S1nya.
Fenomena seperti itu
mungkin yang meyebabkan Tony Wagner komplain melalui bukunya “The Global
Achievement Gap” yang intinya mengatakan sekolah-sekolah terbaikpun tidak dapat
menyiapkan lulusannya untuk memiliki kompetensi yang diperlukan oleh DUDI.
Akibatnta DUDI harus melakukan pelatihan yang mahal. Mungkin fenomena itu yang merisaukan Jorgen
Moller, dalam bukunya “How Asia Can Shape the World”. Dalam buku itu Moller secara khusus membedah
pendidikan di Asia dan mengatakan pendidikan dapat menjadi kartu as tetapi juga
dapat menjadi kartu mati (aces or duds) ketika Asia akan menjadi lokomotif
perkembangan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar