Pagi ini, sekitar
pukul 04.45 saya mengatar anak laki-laki ke terminal bus Purabaya. Dia mau ke Malang menjemput isterinya yang
sudah beberapa hari berlibur di Malang.
Mumpung long weekend, jadi berangkat Sabtu dan akan kembali ke Surabaya
Senin mendatang. Sepagi itu belum ada
angkot atau bus kota yang lewat, sementara mau naik taksi mahal. Jadinya, yaa terpaksa sebagai ayah saya
mengantarkan.
Sesampai di terminal
banyak sekali mobil yang mengantar.
Sayangnya ada beberapa mobil pegantar yang parkir seenaknya sehingga
mengganggu mobil yang datang, termasuk mobil kami. Sepertinya sang sopir dan kerabatnya ngobrol
di depan mobil sambil merokok. Anak laki-laki nggerundel “dasar nggak punya
otak, tidak merasa mengganggu orang lain”.
Saya diam saja, karena sudah tahu perilaku keseharian dia. Mungkin terlalu lama dia tinggal di
Auatralia, sehingga terbiasa berkehidupan teratur. Kalau menyopir dia sangat taat aturan, tidak
pernah menggunakan bahu jalan saat di jalan tol, tidak pernah nyerobot lampu
lalu lintas, tidak pernah parkir di tempat yang dilarang dan kalau akan parkir
selalu nengok kanan-kiri untuk melihat apakah mengganggu orang lain.
Sambil nyopir pulang,
saya berpikir siapa yang lebih individualis, orang Barat atau kita? Apa ya definisi individualis itu? Orang yang tadi parkir mobil sembarangan itu
karena induvialis atau kurang mengerti aturan?
Kita seringkali mengatakan orang Barat itu individualis, sedangkan orang
Indonesia tidak gotong royong. Apakah
itu betul ya?
Jika indivialis itu
dimaknai ketidakmuan urusan pribadi diganggu atau bahkan diketahui orang lain,
memang orang Barat itu individualis.
Jangan menanyakan umur kepada orang Barat. Jangan menanyakan isteri atau suami kepada
orang Barat. Kecuali kita sudah akrab atau dia bercerita lebih dahulu. Mengapa?
Mereka menganggap itu urusan pribadi.
Kalau kita menanyakan dan dia merasa terganggu dengan pertanyaan kita,
dia akan menjawab “that’s not your business” (itu bukan urusanmu). Bahkan nilai ujian itu dimaknai sebagai
urusan pribadi, sehingga hanya yang bersangkutan yang boleh tahu.
Jika individualis
dimaknai sebagai ketidakmuan hak pribadinya diganggu, maka orang Barat
tergolong individualis. Jangan menyerbot
antrean di Barat, karena itu dianggap mengganggu hak pribadi orang lain. Jangan merokok di sembarang tempat, karena
itu dianggap mengganggu hak oarng yang tidak mau terganggu kita merokok. Jangan berbicara keras di dalam bus umum atau
tram umum, karena dianggap mengganggu mereka yang ingin membaca atau tidur.
Tetapi cobalah minta
bantuan kepada orang Barat, mereka akan senang hati membantu. Tentu yang ringan-ringan, misalnya menanyakan
alamat, membantu memegangkan barang ketika kita akan menggendong anak, membantu
ketika kita turun bus atau kereta dan sebagainya. Hanya saja kita harus minta tolong, karena
jika kita tidak minta tolong mereka tidak akan membantu, takut dianggap
menganggap kita tidak mampu.
Itulah sedikit gambaran
perilaku orang Barat yang saya ketahui dan terkait dengan individualis atau
bukan. Nah bagaimana dengan perilaku
orang Indonesia pada umumnya? Kita merasa
senang kalau dibantu ketika kerepotan. Apalagi jika ada orang yang langsung membantu
tanpa kita minta. Kita merasa orang
seperti itu orang yang perhatian kepada orang lain. Kita juga senang jika ada orang yang
menanyakan keadaan keluarga, anak dan isteri kita. Kita tidak merasa terganggu oleh pertanyaan
seperti itu. Jadi kita tidak merasa
punya urusan pribadi yang begitu “tertutup” seperti orang Barat.
Gambaran di atas
menunjukkan, sepertinya pemisahan domain privat (urusan pribadi) dengan domain
publik (urusan umum) tidak terlaku ketat bagi orang Indonesia. Dan itu mungkin merembet ke hal-hal
lain. Misalnya banyak orang Indonesia
enak saja merokok di lingkungan orang banyak. Kita juga sering menyaksikan
adanya orang nerombol antrean. Kita
hampir setiap hari mendengar Radio SS yang menyiarkan adanya mobil yang
menggunakan bahu jalan tol. Kita juga
menyaksikan banyaknya mobil berhenti pada tempat yang ada larangan berhenti
(tanda S disilang).
Apakah itu karena
mereka tidak tahu aturan harus antre?
Apakah itu karena tidak tahu dilarang berhenti di lokasi dengan tada
huruf S disilang? Saya menduga mereka
tahu, tetapi tidak merasa harus mematuhinya.
Mungkin juga merasa itu harus dilakukan demi ini dan itu. Dan merasa itu wilayah publik yang dia juga
punya hak. Tampaknya dan ini dugaan
saya, indivualis atau tidak ternyata terkait dengan bagaimana pemahaman yang
bersangkutan tentang hak dan kuwajiban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar