Pagi ini saya membaca
artikel yang diposting di wa group dimana saya ikut di dalamnya. Artikel berjudul “Menteri terbaik dunia:
Mengapa Sri Mulyani layak mendapatkan predikat itu?” ditulis oleh M. Chatib Basri yang juga pernah menjadi
menteri keuangan 2013-2014 menggantikan Sri Mulyani.
Jujur saya tidak mampu
memahami secara detail tentang artikel itu karena menyangkut ekonomi makro yang
di luar bidang saya. Saya hanya mampu
meraba-raba secara umum. Menurut Chatib Basri
penghargaan itu tidak hanya tepat tetapi terlambat, karena kebijakan yang
dijadikan alasan pemberian penghargaan itu sudah dilakukan sejak tahun Sri
Mulyani menjadi menteri keuangan pada tahun 2009-2013. Menurut tulisan itu, bahkan Indonesia pernah
dijadikan kajian di forum G20 dan Presiden SBY (waktu itu) diminta untuk
menyampaikan di forum G20 di Washington.
Apa yang dilakukan Sri
Mulyani? Menurut Chatib Basri, Sri
Mulyani berani melakukan 2 kebijakan yang tidak populer di Indonesia tetapi
diapresiasi oleh dunia dan kemudian menjadi penopang ekonomi Indonesia.
Pertama, memotong subsis bahan bakar dan mengalihkan dananya untuk kegiatan
produktif. Kedua, merestrukturisasi
birokrasi Kementerian Keuangan agar lebih lincah dalam bekerja.
Sekali lagi, saya
tidak memahami substansi kedua kebijakan yang menurut Chatib Basri sangat
tepat. Yang ingin saya diskusikan adalah
mengapa Sri Mulyani melakukan itu.
Menurut saya Sri Mulyani melakukan itu, karena beliau memahami
substansinya dengan baik dan berani melakukannya walaupun tidak populer. Penguasaan konsep dari bidang pekerjaan yang
ditangani tampaknya menjadi pilar penting bagi Sri Mulyani. Mencoba memahami (sekali lagi saya mencoba
dan belum tentu benar), Chatib Basri berpendapat Sri Mulyani faham betul
kondisi perekonomian di Indonesia dan tahu apa yang harus dilakukan.
Memang menteri adalah
jabatan politik, sehingga memungkinkan seseorang diangkat menjadi menteri bukan
karena keahliannya. Toh ada eselon 1
(sekjen, dirjen, staf ahli) yang merupakan orang profesional untuk memberi
masukan. Namun mencontoh fenomena di
atas, saya meyakini Sri Mulyani berani
mengambil kebijakan yang tidak populer dan bahkan ditentang para politisi dan aktifis
tertentu, karena yang bersangkutan faham benar substansinya. Saya yakin Sri Mulyani bukan sekedar
pemberani tanpa dukungan konsep yang matang, tetapi berani mengambil risiko
karena memahami substansinya dengan baik.
Bukankah seorang
pejabat, apalagi setingkat menteri, dapat membentuk tim untuk melakukan
analisis kebijakan, sehingga sang pejabat tinggal memilih berbagai alternatif
yang dihasilkan? Hal itu memang betul
dan saya menduga cara itu juga dilakukan oleh Sri Mulyani. Namun ketika harus memilih atau bahkan mengoreksi
kebijakan yang diusulkan oleh staf, tentu seorang pejabat harus memiliki konsep
tentang masalah yang ditangani. Nah,
disinilah kelebihan seorang Sri Mulyani.
Apakah semua orang
yang menguasai bidang pekerjaan berani mengambil risiko seperti itu. Belum tentu. Banyak juga orang yang faham
substansinya tetapi takut mengambil risiko tidak populer, risiko dibenci teman
dan sebagainya. Jadi antara penguasaan
konsep dan keberanian mengambil kebijakan bukan “ini atau itu” tetapi “ini dan
itu”. Artinya, seorang pejabat sebaiknya
menguasai substansi pekerjaan yang ditangani sekaligus juga berani mengambil
risiko.
Bukankah banyak
pejabat yang latar belakang pendidikannya berbeda dengan pekerjaan yang
ditangani dan ternyata juga sukses?
Bukankah ada direktur perusahaan X yang sukses dan kemudian pindah
menangani perusahaan Y yang sangat berbeda bidangnya juga sukses? Dalam konteks seperti itu, saya menduga yang
dikuasi adalah strategic management dalam pengelolaan perusahaan dan kemampuan
belajar dengan cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar