Minggu lalu, tanggal
24-25 Februari 2018 saya menyaksikan para guru di Kabupaten Bojonegoro dan
Tuban mempresentasikan hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang mereka
lakukan. Mereka sudah melakukan PTK selama tahun 2017 dengan didampinggi
beberapa teman yang umumnya dosen Unesa dan alumni Unesa yang punya kaitan
dengan dua kabupaten tersebut.
Dari hampir 200 orang
yang tahun 2017 ikut dalam kegiatan pelatihan PTK ternyata hanya sekitar
seperempat yang menyampaikan laporannya dalam seminar dua hari ini. Pada hal sejak awal pelatihan telah
didiskusikan panjang lebar dan semua peserta memahami bahwa melakukan PTK
adalah pekerjaan keseharian yang dilakukan oleh guru. Persis apa yang dilakukan oleh petani mangga
saat berupaya agar pohon mangga yang dimiliki berbuah bagus dan mirip peternak
ayam telor agar ayamnya bertelor banyak. Jadi PTK seharusnya bukanlah pekerjaan
tambahan bagi guru, karena sudah dilakukan sehari-hari. Yang baru adalah melakukannya dengan sistematis
dan membuat laporannya secara baik.
Mencermati presentasi
dan mendengarkan cerita teman-teman yang memandu presentasi tampaknya yang
paling lemah adalah inovasi para guru.
Pembalajaran yang dilakukan berputar-putar dari itu ke itu dan hampir
tidak ada yang “berani” melakukan terobosan yang mendasar. Itulah yang mengganggu saya. Mereka banyak yang sudah bertahun-tahun
mengajar matapelajaran itu dan di sekolah
itu, sehingga tentu mereka faham apa masalah mendasar yang dihadapi,
seperti apa kondisi siswa dan sekolahnya.
Kesan tambah sulam juga kuat sekali.
Maksudnya menambah ini dan itu dan bukan melakukan pembaharuan yang
mendasar.
Mengapa demikian? Apakah para guru itu tidak punya konsep
tentang pembelajaran yang baik? Rasanya
tidak juga. Semua guru lulusan S1 dan
bahkan beberapa lulusan S2 Mereka punya
pengalaman panjang dalam mengajar.
Beberapa bahkan sudah menjadi wakil kepala sekolah dan instruktur di
daerahnya. Ada beberapa guru juga sudah beberapa kali melakukan PTK sebelum
ikut pelatihan.
Saya khawatir guru
kita, paling tidak peserta pelatihan PTK yang dua kabupaten itu terjebak dalam teaching-learning trap yang selama ini
ada. Saya jadi ingat suatu saat saya
melakukan monev pelaksanaan PLPG di daerah Sulawesi dan waktu itu masuk kelas yang
pesertanya guru TK dan waktuya peer teaching.
Yang menarik mereka mengajar dengan menggunakan plastisin dan kertas
gambar yang relatif mahal. Ketika saya
tanya mengapa menggunakan plastisin, mereka menjawab meniru apa yang dijelaskan
oleh buku paket yang dibaca. Ketika saya
tanya apakah di TK tempat mereka mengajar ada lempung, mereka menyatakan
punya. Tampak sekali bahwa guru kita
bekerja dengan meniru saja apa yang mereka baca di buku paket.
Mengapa mereka tidak
melakukan inovasi dengan memanfaatkan apa yang ada di lingkungan sekolah? Saya jadi teringat pendapat Aboe Dohuo yang
mengatakan inovasi pembelajaran memerlukan dua syarat, yaitu kemampuan guru dan
kebebasan guru untuk melakukan hal-hal yang tidak ada di aturan atau panduan
kerja. Nah, yang saya khawatirkan adalah
syarat kedua. Selama ini guru terpaku
pada buku paket, panduan ini dan itu yang seakan-akan buku suci yang setiap
kata di dalamnya harus diikuti. Itulah
yang saya sebut dengan teaching-learning
trap yang menjebak guru kita.
Sudah waktunya para
guru diberikan ruang kebebasan yang cukup dan mendorong mereka untuk
melaksanakan pembelajaran yang kontekstual yang lingkungan sekolah maupun pola
pikir siswanya. Guru juga perlu didorong
untuk berani melakukan “eksperimen” untuk menemukan model pembelajaran yang
cocok untuk kelasnya. Tentu dengan
pesan, boleh keliru tetapi jangan “terantuk batu untuk kedua kalinya”. Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar