Pendidikan vokasi yang dimaksud pada tulisan ini bukan
mengacu pada UU Sisdiknas yang mendefinisikan pendidikan vokasi sebagai pendidikan tinggi yang
mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan
tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Berdasarkan definisi itu yang
dikategorikan pendidikan vokasi adalah program D1 s.d D4. Sedangkan yang dimaksud pendidikan vokasi pada
tulisan ini merupakan padanan VET (vocational education and training) di tataran
internasional, sehingga mencakup pogram diploma, SMK maupun kursus
keterampilan. Perluasan cakupan
pendidikan vokasi ini sesuai dengan penafsiran pendidikan vokasi yang saat ini
digencarkan oleh pemerintah Indonesia.
Pendidikan vokasi, apapun jenis
dan levelnya, dimaksudkan untuk menyiapkan peserta didik memasuki dunia kerja (Calhoun and Finch, 1982; Unesco, 2016). Oleh
karena itu kesesuaian apa yang dipelajari di pendidikan vokasi dengan tuntutan
dunia kerja menjadi acuan utama. Dalam
konteks ini, kesesuaian juga harus dikaitkan dengan kompetensi, jumlah maupun
lokus geografis. Ketidaksesuaian kompetensi akan mengakibatkan kesulitan
lulusan pendidikan vokasi menangani pekerjaan yang tersedia. Ketidaksesuaian lokus geografis akan
mendorong terjadinya migrasi, terutama urbanisasi. Ketidaksesuaian jumlah akan menyebabkan
terjadinya oversupply tenaga kerja. Pertanyaannya
bagaimana meng-empower pendidikan
vokasi yang saat ini ada agar mampu memenuhi ketiga amanah tersebut di atas.
Lebih dari ketiga prinsip di atas,
pendidikan vokasi seharusnya menjadi penopang petumbuhan industri dalam
pengertian luas. Ketika menganalisis
perkembangan ekonomi dunia, Jorgen
Moller (2011) mengingatkan, Asia akan menjadi lokomotif perekonomian dunia jika
pendidikannya mampu menghasilkan tenaga kerja yang produktif sesuai kebutuhan
setempat. Korea Selatan tampaknya
menjadi salah satu negara yang mengikuti jalan pikiran Moller, sehingga melalui
KRIVET (Korea Research Instititute for Vocational Education and Traning)
mereformasi pendidikan vokasi agar mampu menopang industrinya (Dit. PSMK, 2016).
Merancang pendidikan vokasi agar
menghasilkan lulusan dengan kompetensi sesuai tuntutan dunia kerja, semakin
tidak mudah. Cepatnya perkembangan iptek menyebabkan pola kerja berubah dengan
cepat. Nanotechnology, artificial
intelligence, robotics, 3D printing, quantum computing dan biotechnology akan menjadi pendorong
terjadikan perubahan fundamental pola kerja kita, sehingga para ahli memprediksi 35% core skills yang
saat ini ada akan hilang pada tahun 2020 (World Economic Forum, 2016).
Oleh karena itu, lulusan
pendidikan vokasi tidak cukup hanya terampil di bidangnya saja, tetapi harus
mampu berpikir kritis-analisis serta kreatif, karena harus berhadapan dengan
pola kerja yang scientific based. Mereka juga harus mampu belajar dengan cepat
agar mampu beradaptasi dan mengikuti perkembangan teknologi yang terkait dengan
bidang keahliannya atau bahkan “melompat” ke bidang lain. Dalam konteks inilah pentingnya perubahan
prinsip dari kompetensi (competence)
ke kapabilitas (capability) (Hase
& Davis, 1999; Lester, 2014). Hase
dan Davis mendefinisikan capable people and organisations are
those that can operate effectively in unknown contexts and with new problems. Sejalan dengan itu studi yang dilakukan oleh Majalah The Economist
(2015) menemukan lima modal kapabilitas yaitu problem solving, team working, communication, critical thinking and
creativity. Pertanyaannya, bagaimana pendidikan vokasi dapat menghasilkan
lulusan dengan kapabilitas itu.
Mengingat perubahan pola kerja
berjalan sangat cepat dan sangat sulit melakukan prediksi pola kerja di masa
depan, maka pendidikan vokasi yang terlalu spesifik perlu dipikirkan lagi. Keterampilan yang sangat spesifik cocok untuk
pelatihan singkat dan pelatihan lanjutan, yang sudah jelas peserta akan
mendapatkan pekerjaan itu. Namun menjadi
kurang tepat jika pekerjaan bagi pesertanya belum jelas dan menjadi tidak
efisien jika siswa/mahasiswa belajar bidang “X yang spesifik”, sementara
lulusannya bekerja di bidang “Y” (Lassnigg, 2017).
Sangat cepatnya perubahan pola
kerja, maka pendidikan vokasi harus dibuat fleksibel sehingga mudah
menyesuaikan diri. Prinsip MEMES (multi
entry-multi exit system) yang pernah digagas sekian tahun lalu sudah saatnya
dilaksanakan. Untuk itu kurikulum dengan pola modular akan sangat cocok. Dengan
pola itu impian Atwater (2015) dan Jagersma (2010), pada saatnya siswa yang
menentukan kurikulum yang ingin ditempuh dapat dirintis
Dengan prinsip MEMES yang didukung
oleh pola modular, maka pemisahan SMK dengan Kursus Keterampilan menjadi kurang
relevan. Dua jalur pendidikan itu dapat
dilebur, sehingga menjadi semacam training center yang didalamnya ada berbagai
pendidikan vokasi, mulai pelatihan jangka pendek untuk keterampilan
“sederhana”, sampai pendidikan yang memerlukan jangkan panjang. Dengan pola ini sekat antara SMK dan Diploma
juga menjadi longgar. Bukankah SMK 4 tahun pada hakekatnya menempelkan program
Diploma 1 pada bagian akhir. TAFE
(technical and further education) di Australia dapat merupakan bahan banding
yang baik dalam kajia pendidikan vokasi yang terintegrasi.
Kesuksesan pendidikan sebaiknya
diukur dari tingkat kebekerjaan lulusan dan bukan banyaknya lembaga dan
siswa. Bekerja dapat diartikan sebagai
karyawan ataupun berwiraswasta. Oleh
karena itu prinsip keseimbangan supply-demand harus dijaga. Agar jumlah, jenis
dan jenjang pendidikan vokasi seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia,
diperlukan kajian yang mendalam dan dilakukan secara periodik. Pendirian pendidikan vokasi, tanpa disertai
kajian mendalam tentang kebutuhan tenaga kerja akan menyebabkan terjadinya oversupply dan lulusannya menjadi
korban. Dari sisi manajemen kejadian seperti itu menyebabkan pendidikan vokasi menjadi
tidak efisien. Studi yang dilakukan oleh
Newhouse & Suryadarma (2009) tampaknya layak untuk pelajaran kita bersama
dalam mengembangkan pendidikan vokasi.
Agar pendidikan vokasi dapat
menopang pertumbuhan industri (dalam arti luas) dan sekaligus memudahkan kerjasama
antara lembaga penyelenggara dengan DUDI, maka keserasian jenis dan jenjang
pendidikan vokasi dengan potensi daerah perlu diperhatikan. Jika di suatu daerah yang memiliki potensi
perikanan laut dan memang dikembangkan menjadi daerah penghasil ikan, sebaiknya
dikembangkan pendidikan vokasi yang terkait dengan itu, dengan spesifikasi yang
sesuai. Jika suatu daerah memiliki
potensi pertanian dan diarahkan untuk dikembangkan menjadi lumbung pangan, maka
perlu dibangun pendidikan vokasi yang sesuai. Tentu dimungkinkan suatu daerah
memiliki berbagai jenis dan jenjang, tetapi yang pokok harus sesuai dengan
potensi daerah tersebut. Mungkin pola commodity
based vocational education and tranining development dalam menjadi
perenungan. Melalui KRIVET, Korea
Selatan tampak menerapkan pola tersebut.
Dalam pendidikan vokasi, kerjasama
antara sekolah/lembaga penyelenggara dengan DUDI menjadi salah satu pilar
penting. Kerjasama hanya dapat berlanjut
(sustain) jika kedua belah pihak mendapatkan manfaat nyata. Jika tidak akan berhenti atau mati suri. Dalam konteks prakerin, salah satu manfaat
nyata adalah keberadaan siswa dapat diperhitungkan sebagai bagian tenaga kerja
yang produktif. Artinya, di DUDI harus
ada siswa prakerin dalam jumlah yang kurang lebih sama sepanjang tahun. Mereka telah memiliki bekal yang memadai segera
menjadi bagian karyawan yang produkif.
Untuk itu setiap pendidikan vokasi idealnya memiliki partner DUDI yang
permanen. Pola sandwich dual system yang diterapkan di beberapa negara di Eropa
dapat menjadi bahan banding yang baik.
Daftar
Pustaka
Atwater,
Mark. (2015). Engineering Students Develop Their Own Curriculum. https://www.engineering.com/AdvancedManufacturing/ArticleID/9857/Engineering-Students-Develop-Their-Own-Curriculum.aspx. Diunduh pada 20
Januari 2018 pukul 06.40.
Calhoun, C.C. &
A.V.Finch. (1982). Vocational Education:
Concepts and Operations. California: Wadsworth Publishing Company.
Direktorat.
PSMK. (2016). Laporan
Studi Banding ke Korea Selatan.
Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Kemendikbud.
Hase, Stewart & L. Davis. (1999). From Comptence to Capability: The
Implications for Human Rsorces and Management. https://www.researchgate.net/publication/
37358999_From_competence_to_capability_the_implications_for_human_resource_development_and_management. Diunduh pada 2 Januari 2018 pukul 18.57.
Jagersma, John. (2010). Empowering Students as
Active Participants in Curriculum Design and Implementation. https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED514196.pdf.
Diunduh pada 20 Januari 2018 pukul
08.16
Lassnigg, Lorenz. (2017).
“Competence-based Education and Educational Effectiveness” dalam Marin
Mulder (Ed).(2017). Competence-based
Vocational and Proffesional Education: Bridging the Worlds of Work and
Education. Switzerland: Springer International Publishing.
Lester,Stan. (2014). Professional Standards,
Competence and Capability. http://devmts.org.uk/capstds.pdf. Diunduh pada 2 Januari 2018 pukul
19.28.
Moller,
Jorgen Orstrom. (2011). How Asia Can
Shape the World: From the Era of Plenty to the Era of Scarcities.
Singapore: ISEAS Publishing-Institute of Southeast Asian Studies.
Newhouse,
David & Daniel Suryadarma. (2009). The
Value of Vocational Education: High School Type and Labor Market Outcomes in
Indonesia. Washingtin DC: The World Bank-Human Development Network.
The
Economist (Intelligence Unit). (2015). Driving
the Skills Agenda: Preparing Students for the Future. London: The
Economist.
Unesco-Bangkok
(2016). http://www.unescobkk.org/education/tvet/. Diunduh
pada 20 Januari 2018. Pukul 08.56.
World
Economic Forum. (2016). The Fourth Industrial
Revolution: What It Means, How to Respond.https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-what-it-means-and-how-to. Diunduh pada 17 Mei
2017 pukul 06.42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar