Buku Pendidikan yang Berkebudayaan adalah karya Yudi Latif ketiga yang pernah say abaca. Buku pertama yang berjudul Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Buku kedua berjudul Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan. Dari ketiga buku tersebut saya mendapat kesan Yudi Latif menulis buku secara serius dengan alur akademik yang konsisten. Rasanya tidak banyak intelektual seperti itu, apalagi dia masih muda dan sangat produktif menulis.
Alur akademik yang saya maksud adalah setiap tulisan dimulai dengan kajian historis yang kemudian ditelaah secara lintas kultural dan transdisiplin sehingga dapat mengungkap apa dibalik fenomena yang Nampak. Baru setelah itu diajukan pemikiran solutif terhadap problem yang telah dianalisis tersebut. Ibarat dokter, Yudi Latif tidak puas dengan melihat simpton tetapi menelaah histori kesehatan pasien dan hasil laboratorium sehingga diagnose dapat dilakukan secara komprehenif dan baru setelah itu memberikan terapi.
Menurut saya begitulah seharusnya seorang akademisi dan seorang profesional bekerja. Memang, seperti sering dibahas dalam buku-buku analisis kebijakan, alur kerja yang dilakukan Yudi Latif itu memakan waktu panjang dan para pengambil kebijakan tidak dapat menunggunya. Mereka berlindung pada adagium kebijakan belum sempurna tetapi tepat waktu lebih baik dibanding kebijakan yang sempurna tetapi waktunya sudah lewat.
Namun demikian, untuk hal-hal yang mendasar alur akademik Yudi Latif sebaiknya ditiru. Beberapa waktu lalu, ketika orang banyak memperbicangkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang tidak memuat matapelajaran Pancasila dan Bahasa Indonesia, saya mencoba mencari naskah akademik (NA) dari PP tersebut. Asumsi saya dalam NA tersebut mestinya dapat ditemukan argumentasi mengapa itu terjadi. Apakah hanya “kelupaan” atau memang ada argumentasi tertentu. Sayangnya sampai menulis artikel pendek ini ditulis, saya belum mendapatkan NA tersebut. Bahkan teman di Jakarta mengatakan memang tidak ada NA-nya. Dengan demikian saya tidak berani banyak berkomentar tentang PP tersebut karena belum menemukan alur akademik yang melandasinya.
Jujur saya ragu kalau tidak ada NA yang menjadi landasan PP 57/2021. Walaupun konon, menurut teman yang faham persyarata penyusunan peraturan, memang NA tidak dipersyaratkan dalam penyusunan PP, tetapi menurut saya membuat kebijakan nasional setingkat PP tanpa ada NA-ya sulit dimengerti. Namanya tidak harus naskah akademik, tetapi kajian mendalam mengapa PP itu harus disusun, mengapa susunannya seperti itu, harus punya landasan yang kukuh. Dan itu mestinya ada di NA atau sebutan lain.
Ketika Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) ingin melakukan perubahan pola akreditasi, saya termasuk orang yang ngotot harus ada NA-nya dan NA itu harus memuat apa argumentasi pola akreditasi perlu diubah atau disempurnakan dan mengapa penyempurnaan seperti itu. Memang NA tidak harus tebal, juga tidak harus canggih, yang penting memuat rasional mengapa harus diubah atau disusun dan mengapa disusun atau dibuah seperti itu. Argumen yang diajukan harus dapat dipertanggungjawabkan secara akademik (namanya saja naskah akademik) dan siap jika da pihak yang mempertanyakan ini dan itu.
Ketika LAM Kependidikan menyusun instrumen akreditasi juga disusun NA yang melandasinya. Berbagai problem yang terjadi dalam akreditasi selama ini, trend baru akreditasi di berbagai negara dan banyak referensi kami baca untuk menyusun NA tersebut, sehingga memang memerlukan waktu cukup lama. Bahkan NA tersebut beberapa kali mengalamani revisi. Kami dari LAM Kependidikan berterima kasih kepada Prof Pratiwi dari Majelis Akreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (MA BAN PT) yang mereview NA tersebut. Namun dengan NA itu, kami dari LAM Kependidikan merasa yakin instrument yang disusun memiliki basis yang kokoh. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar