Pagi
ini saya mendapat forward wa dari seorang teman lama. Berikut ini wa-nya:
Pada awal
bulan Syawwal ini, tdk ada orang yg merasa benar, semua mengaku salah dan tanpa
malu meminta maaf, betapa damainya negeri ini bila "roh" Idul Fitri
selalu menjadi marwah dlm kehidupan sehari-hari baik di rumah maupun di
lingkungan pergaulan bahkan pekerjaan, mari kita biasakan menjadi orang yg
berani mengakui salah, bukan orang yg selalu merasa benar atau hebat.
Walaupun setiap Idul Fitri, kita
meminta maaf kepada keluarga dan handai taulan, namun jujur saya terhenyak
mendapat wa tersebut di atas. Apa yang
telah saya lakukan secara rutin setiap idul fitri, tampaknya tidak saya
internalisasi dengan baik. Buktinya saya terhenyak dengan wa tersebut. Yang saya (sekali lagi saya) ucapkan atau
tuliskan itu tampaknya hanya berhenti di bibir atas guresan tulisan, tetapi
tidak masuk ke hati apalagi dalam tindakan.
Meminjam istilah Lickona, apa yang saya lakukan tidak sampai pada moral
feeling apalagi sampai moral action.
Merenungkan
itu, saya jadi teringat kata-kata Pak Nuh (Prof Muhammad Nuh, mantan
Mendikbud). Sekian tahun lalu Pak Nuh
mengatakan, jika kita jujur yang salah mengaku salah, maka pengadilan sangat
efisien karena sidang tidak perlu lama-lama, bahkan tidak perlu sidang. Hukuman
menjadi lebih ringan karena terdakwa mengakui kesalahannya dan seterusnya. Mungkin Pak Nuh mengungkapkan itu karena
melihat sidang pengadilan yang membuat kepala pusing, karena jaksa dan
pengacara saling mengadu strategi. Sampai
kadang-kadang saya yang awam ini bingung, mana yang benar.
Mengapa ya, mengakui kesalahan itu
tidak mudah? Jujur saya tidak tahu
jawabnya dan jujur saya sendiri juga melakukan.
Walaupun setelah merenung lama jadi sadar bahwa salah, tetapi saat awal tidak
merasa salah. Dan bahkan setelah
sadarpun sulit untuk mengatakan secara terbuka bahwa salah. Yang sering terjadi, justru mencari alibi
mengapa kesalahan itu terjadi dan mencari orang lain yang dianggap menyebabkan. Apakah ini yang dalam ungkapan disebut “semut
di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuk mata tidak tampak”? Atau pepatah Jawa yang mengatakan “sing
paling angel itu ndelok gitoke dewe (yang paling sulit itu melihat tengkuk
sendiri)”.
Apakah itu budaya kita atau perilaku
universal? Apakah itu hasil pendidikan
kita? Saya jadi teringat cerita teman yang membawa anaknya ketika melanjutkan
kuliah di luar negeri. Teman tadi
mengatakan kebiasaan orang di negara tersebut kalau tabrakan atau mengalami
kejadian bersama orang lain, akan selalu bertanya “are you ok?” atau dalam
bahasa kita “kamu tidak apa-apa?”. Dan
ternyata itu diajarkan kepada anak-anak baik di rumah maupun di sekolah. Cerita teman itu mengambarkan mendahulukan kepentingan
orang lain yang sama-sama mengalami sesuatu dengan kita. Teman tadi juga mengatakan dua kata paling
sering diucapkan orang di negara itu adalah “sorry” dan “thank you” (maaf dan
terima kasih), seakan menggambarkan mudahnya mengakui kesalahan dan mengucapkan
terima kasih.
Atau karena kita merasa punya posisi “lebih
tinggi” sehingga seharusnya selalu benar?
Mirip dengan guru/dosen yang sulit mengakui kalau pendapatkan keliru di
depan murid. Saya jadi teringat
pengalaman beberapa tahun lalu. Ketika mengajar (tatap muka) ada mahasiswa yang
sibuk melihat HP, pada hal saya sedang menjelaskan suatu teori yang menurut
saya tidak mudah difahami. Setengah
ndongkol mahasiswa tersebut saya tegur dan secara mengejutkan dia mengatakan
sedang membaca sanggahan terhadap teori yang sedang saya bahas. Tulisan siapa dan di web mana, tanya saya yang
mungkin ketus. Dia menyebutkan link-nya
dan saya cek di laptop link itu memang ada.
Akhirnya saya persilahkan mahasiswa tersebut meneruskan membaca dengan
janji setelah selesai dapat menjelaskan di depan kelas.
Di akhir kuliah saya tanya mahasiswa
tersebut apakah sudah selesai membacanya dan menjawab sudah tetapi masih perlu
mendalami dan berjanji akan memaparkan pada kuliah berikutnya. Selesai kuliah dan kembali ke ruang dosen,
saya membuka link yang tadi ditunjukkan mahasiswa dan mencoba membacanya dengan
cermat. Diam-diam saya kagum pada
mahasiswa tersebut, bagaimana menemukan link itu dan bagaimana dia berusaha
memahami tulisan di dalamnya yang menurut saya sangat rumit.
Seperti dijanjikan, di awal kuliah
minggu berikutnya saya minta mahasiswa menjelaskan apa yang dibacanya dan
walaupun dengan terbata-bata dia dapat menjelaskan dengan lumayan baik. Tentu dengan kesalahan-kesalahan kecil karena
dia tidak membaca dalam konteks yang lebih luas. Dalam hati saya memuji yang bersangkutan dan
merasakan kalau seperti itu dia layak mendapat nilai A plus, karena melampaui
target pemamahan yang saya harapkan.
Diam-diam saya berharap dia akan menjadi “jagoan di bidang itu”. Toh saya tetap sulit untuk secara terbuka meminta
maaf karena menegur dan juga sulit mengakui bahwa mahasiswa itu yang lebih
benar pendapatnya.
Mungkin kita (paling tidak saya) masih harus belajar bagaimana mengakui kesalahan yang kita perbuat dan mengakui kalau orang lain pendapatnya lebih benar. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar