Di hari Pendidikan Nasional, rasanya sangat tepat bagi kalangan pendidik untuk melakukan refleksi diri. Apakah pendidikan kita sudah tepat arah. Apakah kita sudah mencurahkan enersi kita untuk mengarahkan pendidikan ke tujuan yang sebenarnya. Apakah kita sudah melakukan dengan tulus tanpa pamrih. Apakah kita sudah bergandengan tangan dengan sesama pendidik.
Untuk
memulainya, ada baiknya kita bertanya “apa tujuan pendidikan itu”. Untuk menjawabnya jangan kita mendasarkan pada
undang-undang atau peraturan lain, tetapi kita renungkan sendiri. Bagi yang
punya anak, kita perlu bertanya kepada diri sendiri “apa yang kita impikan
ketika mendidik anak kita dan menyekolahkan anak kita”. Ibarat orang bepergian, dipastikan dulu kota
atau tempat yang dituju, baru setelah itu didiskusikan naik apa jam berapa dan
sebagainya.
Saya pernah
bertanya tentang hal di atas ke beberapa orang dan jawabannya mirip-mirip, pada
hal profesi mereka berbeda-beda. Jawaban
yang muncul antara lain: (1) biar ibadahnya baik, (2) biar akhlaknya baik, (3)
biar pandai, (4) biar punya pekerjaan yang bagus, (5) biar hidupkan sukses, (6)
biar bisa hidup bahagia. Anda juga bisa
menambahkan di luar enam tersebut.
Seorang teman
mengomentari cara berpikir di atas sebagai kehidupan sebagai individu, belum
menggambarkan posisi manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai warga
masyarakat serta warga negara. Teman
tersebut menambahkan dari kacamata beliau, anak dididik agar: (1) menjadi orang
yang mandiri dan mampu menopang kehidupannya sendiri sehingga tidak menjadi
beban orang lain, (2) menjadi warga masyarakat yang punya empati bahkan dengan
tulus membantu orang lain, (3) menjadi orang yang peduli dan menjaga
lingkungan, (4) menjadi warga masyarakat dan warga negara yang dapat
berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat dan negara dimana dia berada.
Walaupun
menggunakan cara pandang yang berbeda, sebenarnya kedua jawaban di atas saling
terkait dan saling melengkapi. Akhlak tertunya terkait dengan kuwajiban orang
terhadap lingkungan, baik itu lingkungan sosial maupun lingkungan fisik dimana
yang bersangkutan berada. Pandai tentu sebagai modal untuk dapat sukses dalam
pekerjaannya. Jika punya akhlak yang
baik dan punya kemampuan yang baik pula, dapat diharapkan yang bersangkutan
dapat berkontribuasi terhadap kemajuan masyarakat dan negara.
Orang Jawa
seringkali berkata anak harus dididik agar punya bekal untuk berkehidupan dan
punya bekal untuk mencari penghidupan.
Ungkapan itu mirip dengan education for life dan education for earning a
living. Belajar kehidupan artinya
belajar tentang nilai-nilai, norma-norma yang berlaku dalam kehidupan dan
menjadikannya pegangan hidup untuk berperilaku.
Sedangkan mencari penghidupan artinya memiliki pekerjaan guna memenuhi
kebutuhan hidupnya. Tentu saja
nilai-nilai kehidupan tersebut menjadi ruh dan mengimplementasikan cara mencari
penghidupan.
Ada beberapa
catatan untuk memahami prinsip tersebut. Pertama, penumbuhkembangan
nilai-nilai dan norma-norma tersebut tidak berhenti pada pengetahuan, tetapi
harus sampai tindakan. Menggunakan
istilah Thomas Likcona, tidak berhenti pada knowing, tidak berhenti pada feeling
tetapi harus sampai pada action. Tahu
saja tidak cukup, internalisasi saja tidak cukup, tetapi harus terwujud dalam
perilaku sehari-hari. Karena masyarakat Indonesia sangat heterogen, tentu
nilai-nilai dan norma-norma tersebut harus dikaitkan dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku di masyarakat setempat. Tentu juga memuat nilai-nilai universal yang
berlaku di Indonesia.
Kedua, kondisi
heterogenitas di Indonesia termasuk sumberdaya alam dan kemajuan
teknologi. Walaupun ada masyarakat Indonesia
yang kata orang sudah menjadi digital society atau society 5.0 tetapi juga ada
yang masih “di belakang”. Sebaiknya penumbuhkembangan
kemampuan mencari penghidupan dikaitkan dengan potensi daerah dan teknologi
yang cocok untuk mengembangkannya, termasuk teknologi yang dapat dikuasai oleh
masyarakat setempat. Bukan berarti orang tidak boleh belajar teknologi maju dan
atau teknologi yang terkait dengan lain, tetapi pendidikan tentu juga
dimaksudkan untuk memajukan daerah dimana orang berada. Pendidikan yang mengabaikan prinsip tersebut
akan mencerabut manusia dari lingkungannya dan mendorong terjadinya urbanisasi.
Ketiga, Perkembangan
iptek yang sangat cepat berimplikasi tumpukan pengetahuan semakin banyak. Hal itu harus disikapi dengan bijak. Apakah semua itu harus dipelajari anak
didik? Menurut saya tidak. Semua anak didik memang perlu belajar bagian-bagian
basik, sedang selebihnya sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhan hidup ke
depannya. Prinsip heutagogy bahwa anak
hanya perlu belajar yang diperlukan dapat menjadi rujukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar