Saya baru mendapat kiriman dengan judul di atas dua hari lalu, sedang saya baca dan belum selesai. Buku yang ditulis oleh Directorate for Education and Skills OECD ini sebenarnya tidak memuat hal yang betul-betul baru. World Economis Forum (WEF) pernah menerbitkan buku dengan judul School of the Future yang memuat hal-hal yang mirip. Namun buku OECD ini ditulis dengan narasi yang lebih baik, lebih menggigit dan disertai dengan argument yang lebih akademik. Saya ingin berbagi dengan harapan dapat membuka diskusi untuk dikontektualisasikan di Indonesia.
Di halaman 9
buku itu menyatakan bahwa saat ini siswa diajar dengan pedagogi era abad 20
dalam organisasi sekolah era abad 19 (students are being taught by teachers
using 20th -century pedagogical practices in 19th -century
school organizations). Apakah itu benar? Mari kita buat perbandingan.
Coba kita perhatian situasi di luar pendidikan.
Cara memasak ibu-ibu saat ini jauh berbeda dengan 20 tahun lalu. Alat-alat di dapur saat ini juga sangat
berbeda dengan 20 tahun lalu. Kalau kita ingat bank. Tata cara pengurusan keuangan di bank saat
ini sangat berbeda dengan 10 tahun lalu.
Namun situasi kelas kita tidak jauh beda dengan 20 tahun lalu. Mengapa
demikian, memang pendidikan termasuk aktivitas yang lambat beradaptasi dengan
perkembangan
Menurut buku tersebut pendidikan saat ini dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan awal era indutri yang menekankan pada efisiensi, standarisasi dan semua dikerjakan secara masal. Oleh karena itu dibuatlah kurikulum standar yang berlaku untuk semua siswa, ruang kelas standar, rasio guru-siswa standar dan asesmen yang juga standar. Pokoknya semua distandarisasi dan efisiensi menjadi salah satu ukuran penting. Orientasi pendidikan diarahkan untuk memenuhi pekerjaan yang diperlukan era industri.
Pada abad 20 sebenarnya sudah terjadi pergeseran walaupun belum signifikan. Pendidikan tidak lagi sekedar diorientasikan untuk pekerjaan tetapi juga untuk untuk menumbuh-kembangkan bakat-minat siswa. Namun demikian kurikulum tetap statis dan segala sesuatu tetap distandarisasi. Kualitas lulusan menjadi tuntutan bagi sekolah. Konkwensinya guru dan sekolah berlomba untuk menghasilkan lulusan sesuai tuntutan kurikulum, tanpa mempertimbangkan keunikan siswa masing-masing.
Bagaimana dengan abad 21 yang ditandai dengan perubahan yang sangat cepat? Justru itu yang ditanyakan di awal buku tersebut. Agar tidak keliru saya kutip seutuhnya:
“How can we prepare students for jobs
that have not yet been created, to tackle societal challenges that we cannot
yet imagine, and to use technologies that have not yet been invented? How can
we equip them to thrive in an interconnected world where they need to understand
and appreciate different perspectives and worldviews, interact respectfully
with others, and take responsible action toward sustainability and collective
well-being?”
Pertanyaan tersebut dilandaskan pada fenomena era
disrupsi dengan perubahan yang sangat cepat dan penuh kejutan. Pekerjaan yang sekarang ada sangat mungkin
sudah hilang saat siswa lulus, sehingga harus menghadapi pekerjaan baru. Teknologi baru akan muncul dan belum pernah
dipelajari saat sekolah. Situasi sosial
di masyarakat juga sangat mungkin berubah total dan tidak terbayangkan saat
masih sekolah. Pertanyaannya, apa yang
harus dipelajari oleh siswa dan bagaimana pembelajaran yang seharusnya dilakukan.
Nah, jawaban dari pertanyaan itulah dibahas dalam buku tersebut. Tentu tidak mungkin saya membahasnya di blog
ini. Silah membacanya sendiri. Namun demikian saya ingin menampilan gambaran
yang dimuat di Tabel 2 berikut ini. Semoga
bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar