Beberapa
hari lalu saya ditanya seorang saudara yang anaknya baru lulus S1. Beliau orang yang terdidik dan ekonomi
keluarganya sangat baik. Seorang anaknya
baru saja wisuda S1 dari perguruan tinggi ternama. Usia anak tersebut sekitar 22 tahun dan
menurut ibunya masih sangat muda.
Mendapat
pertanyaan itu, saya jadi teringat pengalaman tahun 2007an. Saat itu saya ditanya oleh Pak Nuh (waktu itu
menjabat Menteri Kominfo), Reza saat ini dimana? Anak saya, Reza memang mahasiswa dan
bimbingan Pak Nuh saat beliau menjadi Direktur PENS (Politeknik Elektronika
Negeri Surabaya). Saya jawab, sudah
lulus dan bekerja. Mendengar jawaban
itu, Pak Nuh berkomentas yang menurut saya ganjil. Kurang lebih komentarnya begini: “Gak sak-aken tak rek, arek cilik kongkon
njambut gawe” (Apa tidak kasihan, akan kecil disuruh bekerja).
Apa
hubungan antara pertanyaan teman di awal tulisan ini dengan komentar Pak Nuh
terhadap anak saya? Mengingat komentar
Pak Nuh, saya jadi ragu-ragu memberi saran atau jawaban terhadap pertanyaan
teman tadi. Saya kawatir jangan-jangan
komentar Pak Nuh tersebut benar, walaupun sebenarnya saya tidak
sependapat. Itu sebabnya saya ragu-ragu,
menjawab sesuai dengan nalar saya atau mengajukan pemikiran Pak Nuh tadi.
Walaupun
dari usia Pak Nuh lebih muda dibanding saya, seringkali pemikiran Pak Nuh
melampaui usianya. Saya kenal beliau
sejak tahun 1990an, ketika sama-sama aktif di ICMI Jawa Timur. Kami sering terlibat dalam berbagai
kegiatan. Apalagi kemudian, beberapa
teman termasuk di dalamnya Pak Nuh dan saya membentuk Nara Qualita Ahsana,
sehingga kami sering ketemu dan berdiskusi. Dan sejak itu saya menangkap
pemikiran beliau, yang kadang-kadang “beyond” rasional saya.
Karena
ragu, akhirnya saya bercerita saja pendapat saya dan komentar Pak Nuh yang
tidak sama dengan pemikiran saya.
Silahkan teman tadi yangmengambil kesimpulan. Saya sampaikan bahwa menurut saya anak yang
lulus S1 perlu segera mendapat pengalaman menerapkan ilmunya dalam kehidupan di
dunia kerja dan di masyarakat. Situasi
pendidikan di sekolah/universitas berbeda dengan situasi di masyarakat. Di sekolah/universitas, semua serba
disederhanakan agar siswa/mahasiswa mudah memahami masalah. Semua serba dibatasi agar masalah tidak terlalu
kompleks. Bahkan seringkali, bidang ilmu “memisahkan diri” seakan-akan berdiri
sendiri dan tidak terkait dengan bidang lainnya. Sementara itu, dalam kehidupan nyata di
masyarakat, termasuk di pekerjaan, masalah selalu kait mengakit dengan
lainnya. Kemampuan memahami kerterkaitan
masalah yang satu dengan lainnya seringkali menentukan apa tindakan atau
langkah pemecahannya.
Cara
kerja yang biasa dilakukan di sekolah/universitas juga sangat berbeda dengan
kehidupan nyata di masyarakat. Kerja
sendirian biasa dilakukan di sekolah/universitas, baik dalam mengerjakan
tugas-tugas maupun ujian. Sementara itu
hampir setiap pekerjaan di masyarakat dikerjakan oleh tim. Oleh karena itu kemampuan bekerjasama menjadi
sangat penting.
Itulah
sebabnya saya meyakini sebaiknya anak yang lulus S1 segera bekerja. Bekerja dalam arti luas. Tidak harus bekerja di kantor atau
perusahaan. Dapat saja bekerja di
lembaga sosial atau bahkan berdiri sendiri merintis usaha mandiri. Yang penting mendapat kesempatan untuk mengaplikasikan
ilmunya dalam kehidupan berkerja dan bermasyarakat.
Saya
mengajukan bukti empiris, bahwa banyak orang sukses ternyata sudah nyambi
bekerja atau aktivitas sosial kemasyarakatan ketika sekolah/kuliah. Mengapa?
Karena saat kuliah sudah dapat memadukan teori yang diperoleh di kuliah
dengan praktek di dunia kerja atau kegiatan sosial. Dengan demikian, saat lulus yang bersangkutan
telah punya pengalaman lengkap untuk melaju di kehidupan bermasyarakat.
Lantas
bagaimana dengan komentar Pak Nuh? Demikian
kira-kira pertanyaan lanjutan teman tadi.
Sejujurnya saya menjawab tidak tahu.
Saya hanya menduga Pak Nuh berpendapat tantangan kehidupan ke depan
lebih berat, sehingga bekal S1 dianggap belum cukup. Dan perkembangan seperti itu memang wajar. Seperti
zaman dahulu bekal SMA sudah dianggap sudah bagus, tetapi kemudian sesuai
dengan perkembangan tidak lagi memadai dan memerlukan bekal S1. Pada masa lalu untuk menjadi guru SD cukup
berpendidikan SGB yang “hanya” setingkat SMP.
Kemudian ditingkatkan menjadi SGA, setingkat SMA. Berikutnya ditingkatkan lagi menjadi D2 dan
sekarang harus S1. Bahkan sesuai dengan
Undang-undang tetang Guru dan Dosen, S1 masih harus ditambah dengan Pendidikan
Profesi Guru (PPG). Jadi komentar Pak
Nuh juga ada dasarnya.
Saya
menambahkan jika dugaan tersebut benar, saya menyarankan kalau anaknya yang
sudah lulus S1 akan langsung melanjutkan ke S2, sebaiknya juga didorong untuk
nyambi bekerja. Dengan begitu akan
menjadi jalan tengah antara pentingnya pengalaman kerja dan penting penambahan
bekal pendidikan. Mendapatkan bekal (teoritis)
tambahan tetapi juga memperoleh pengalaman menerapkan dalam kehidupan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar