Tanggal
14 Mei 2013 pukul 19.30 saya diundang untuk ikut diskusi tentang pendidikan di
SBO TV. Sudah beberapa kali saya
diundang pada forum diskusi seperti itu, tetapi selalu tidak dapat hadir karena
waktunya bersamaan dengan acara lain.
Kali ini saya berusaha hadir, walaupun harus berkejaran waktu karena
sebelumnya bertemu dengan rombongan KONI Jatim.
Temanya
“Perlukah Desentralisasi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan”. Pesertanya cukup banyak, sekitar 25 orang,
antara lain Ketua DPRD Sidoarjo, Pak Sahudi-mantan Kadiknas Surabaya, Mas
Satria Darma-Ketua IGI, Pak Lis dari Dewan Pendidikan Jawa Timur, Mas Isa Ansyori
dari Dewan Pendidikan Surabaya, Pak Rosario Sudiro mantan Rektor Unsuri, Mas Totok
Aktivis KIP, ada pengacara, ada mahasiswa Unair dan para aktiivis pendidikan.
Pemandunya
anak muda tampan dan sering memandu acara di SBO. Katanya juga sering menjadi trainer untuk
public speaking, sehingga juga merasa sebagai praktisi pendidikan. Diskusi sangat hidup, dan hampir semua yang
diundang untuk menyampaikan pendapat berbicara dengan antusias. Bahkan di sesi terakhir, ketika pemandu
menawarkan siapa yang masih ingin menyampaikan unek-unek, banyak yang angkat
tangan. Menurut saya antusiasme peserta
itu sangat menggembirakan, karena menunjukkan bahwa pendidikan menjadi
kepedulian banyak pihak.
Yang
agak merisaukan adalah pemahaman tentang desentralisasi pendidikan yang sangat
beragam dan bahkan terkesan “kacau”.
Desentralisasi pendidikan dicampur-adukan dengan kurikulum, dengan
standar pendidikan, dengan ujian nasional, dengan guru yang gajinya kecil, guru
yang kurang bermutu, dengan transparansi anggaran sekolah dan sebagainya. Mencermati itu, saya jadi teringat sebuah
studi yang menyimpulkan kebanyakan desentralisasi pendidikan gagal kerana
ketidaksamaan pemahaman dari para stakeholder.
Akibatnya masing-masing memaknai desentralisasi pendidikan secara berbeda dan kemudian mengambil langkah
pelaksanaan yang berbeda. Nah, langkah
tersebut sering bertentangan atau paling tidak saling tarik menarik.
Karena
masing-masing menyampaikan gagasan dengan pemahaman yang beragam, saya jadi
teringat cerita orang buta yang berdiskusi tentang gajah. Ada yang memegang telinganya, sehingga dengan
menggebu mengatakan gajah itu seperti kipas yang terbuat dari kulit tebal dan
selalu bergerak. Ada yang memegang
ekornya, sehingga mengatakan gajah itu pengusir lalat yang digunakan anak
berkhitan di jaman dahulu. Ada yang
memegang kakinya, sehingga dengan antusian menjelaskan bahwa gajah itu seperti
batang bambu besar.
Begitulah
kira-kira gambaran diskusi tentang desentralisasi pendidikan di SBO TV. Sang pemandu juga tampak bingung, karena
sangat beragamnya pemahaman peserta dan semuanya antusias menyampaikan
pendapat. Saya membayangkan, kalau
peserta diskusi yang sebagian besar adalah orang-orang yang memiliki peran
mengambil kebijakan dan melaksanakan kebijakan pendidikan seperti itu
pemahamannya, pantas saja pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia
seperti pusaran air bah. Tampak berjalan
cepat dan ramai, tetapi tidak pidah tempat karena hanya berputar-putar. Yang disitu-situ saja tanpa ada kemajuan.
Desentralisasi
pendidikan kita memang sangat tergesa-gesa.
Begitu undang-undang dan Peraturan Pemerintah dikeluarkan saat itu juga
desentralisasi dilaksanakan. Sejauh yang
saya ketahui, tidak ada tahapan desentralisasi. Sosialisasi sepertinya juga
tidak menjangkau semua stakeholder. Itu terbukti tajamnya perbedaan penafsiran di
antara mereka. Akibatnya terjadi tarik
menarik antar stake holder.
Perbedaan
itu tidak hanya antara level lembaga, misalnya pemerintah pusat, propinsi,
kabupaten/kota dan sekolah, tetapi juga antara stakeholder dalam satu
level. Sebagai contoh adalah adanya perbedaan
antara Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah dan UUSPN. Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah, pendidikan termasuk urusan yang
didesentralisasikan. Dan karena
desentralisasi Indonesia diletakkan di kabupaten/kota, maka dalam PP-nya
pendidikan diurus oleh kabupaten/kota.
Sementara itu dalam UUSPN disebutkan bahwa pengelolaan pendidikan
menggunakan pola MBS. Perbedaan mendasar
inilah yang menjadi penyebab “perselisihan” antara Dinas Pendidikan Kab/Kota
dengan sekolah dalam pengambilan kebijakan.
Biasanya yang kalah sekolah, karena sekolah merupakan bawahan Dinas
Kab/Kota.
Ibarat orang tua dan anaknya yang beranjak
remaja, itulah fenomena pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Orangtua (analog unit level lebih tinggi)
belum percaya kalau anaknya (analog dengan unit level lebih rendah) mampu
melaksanakan tugas dan kuwajibannya.
Oleh karena itu orangtua (unit lebih tinggi) ingin membandu/mengajari,
sementara anak remaja (unit lebih rendah) merasa sudah mampu dan tidak ingin
dicampuri. Tarik menarik dan saling
kurang percaya mewarnai pelaksanaan desentralisasi, persis fenomena orang tua
yang anaknya sedang beranjak remaja.
Studi
terhadap pelaksanaan desentralisasi di berbagai negara menyimpulkan bahwa
negara yang sukses, memiliki masa transisi sampai 10 tahun sebelum menerapkan
desentralisasi secara penuh. Pada
periode itu pemahaman terhadap pembagian tugas-kewenangan-tanggung jawab
dilakukan dengan intensif dan dilaksanakan secara bertahap. Juga dibuat secara jelas pembagian
tugas-kewenangan-tanggung jawab antar level lembaga. Apa peran pemerintah pusat, apa peran
propinsi, apa peran kabupaten/kota dan apa peran sekolah. Pembagian tidak hanya secara umum, tetapi
juga dalam setiap komponen pendidikan.
Misalnya untuk komponen guru, apa peran lembaga-lembaga tersebut. Demikian pula, untuk proses pembelajaran,
sarana-prasarana dan sebagainya. Nah,
dalam periode transisi pembagian peran tersebut semua dicobakan.
Bahkan
ada negara yang “pernah gagal” melaksanakan desentralisasi pendidikan. Setelah merasa gagal, urusan pendidikan
disentralisasi lagi untuk beberapa tahun.
Kemudian dilakukan pentahapan desentralisasi “versi baru”, dilaksanakan
dan ternyata sekarang berhasil. Semoga
kita dapat belajar dari negara lain yang telah melakukan dengan sukses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar