Seperti
yang disebutkan pada tulisan tentang Diskusi di SBO TV, salah satu masalah yang
mengganjal pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia adalah pembagian
tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang kurang jelas. Bahkan pengertian desentralisasi pendidikan
yang diterapkan juga belum dirumuskan dengan jelas. Akibatnya setiap orang menafsirkan
sendiri-sendiri dan ketika mereka itu dalam posisi yang dapat menentukan
kebijakan, akan menentukan kebijakan sesuai dengan tafsirnya. Demikian pula yang dalam posisi melaksanakan,
akan melakasanakan desentralisasi sesuai dengan tafsirnya.
Pada
awal era reformasi, ketika Indonesia memutuskan untuk melakukan desentralisasi
berbagai urusan, pendidikan termasuk urusan yang didesentralisasikan. Saat itu banyak orang, termasuk saya,
membayangkan Depdiknas akan menjadi semacam “Badan Litbang + Inspektorat”, yang
tugasnya merumuskan kebijakan, membuat standar, melakukan inovasi dan melakukan
pemantauan untuk memastikan bahwa pendidikan berjalan sesuai yang
diharapkan. Sedangkan pelaksanaan
pendidikan diserahkan pada lembaga di bawahnya. Pemikiran itu didasarkan pada pengalaman
negara maju yang sudah lebih dahulu melakukan desentralisasi pendidikan.
Oleh
karena itu, waktu itu mulai mucul kasak-kusuk seperti apa bentuk organisasi
Depdiknas dan berapa staf yang diperlukan.
Mulai banyak staf Depdiknas yang mikir-mikir pindah kemana. Dan benar, pada tahun 2000 ada beberapa staf
Depdiknas yang meminta pindah ke Dinas Pendidikan Propinsi atau Kab/Kota. Bahkan kemudian beberapa diantara mereka
menjadi Kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Ketika
PP No 25 Tahun 2000 terbit, ternyata dugaan tadi tidak jauh meleset. Dalam PP 25/200, pasal 2 ayat (3) butir 11,
disebutkan kewenangan pemerintah pusat adalah: (1) penetapan standar kompetensi
siswa dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil
belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, (2) penetapan standar
materi pelajaran pokok, (3) penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan
gelar akademik, (4) penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan,
(5) penetapan persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga
belajar dan mahasiswa, (6) penetapan persyaratan pemintakatan/zoning,
pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan
kepemilikan benda cagar budaya serta persyaratan penelitian arkeologi, (7)
pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum
nasional, galeri nasional, pemnfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang
diakui secara internasional, (8) penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam
belajar efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar biasa,
(9) pengaturan dan pengembangan pendidikann tinggi, pendidikan jarak jauh serta
pengaturan sekolah internasional, dan (10) pembinaan dan pengembangan bahasa
dan sastra Indonesia.
Kewengan
propinsi dimuat pada pasal 3 ayat (5) butir 10 yaitu: (1) penetapan kebijakan tentang
penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan atau
tidak mampu, (2) penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul
pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan luar sekolah, (3) mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan
tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi dan pengangkatan tenaga
akademis, (4) pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi, (5)
penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan atau penataran guru,
dan (6) penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan sejarah,
kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisional serta pengembangan bahasa
dan budaya daerah.
Apa
tugas dan kewenngan kabupaten/kota?
Dalam PP No 25/2000 tidak disebutkan.
Namun kita dapat memaknai, semua tugas dan kewenangan yang tidak
tercakup di pemerintah pusat dan propinsi tentunya menjadi tugas dan kewenangan
kabupaten/kota. Itulah yang mengokohkan
pendapat bahwa desentralisasi pendidikan di letakkan di kabupaten/kota. Dan itulah salah satu yang mengagetkan banyak
ahli pendidikan, karena pada umumnya desentralisasi pendidikan diletakkan di
negara bagian atau setingkat propinsi.
Tampaknya di Indonesia, disamakan dengan urusan lain yang diletakkan di
kabupaten/kota.
Kalau
kita cermati isi PP 25/2000, sebenarnya tugas dan kewenangan pemerintah pusat
“hanya menetapkan standar”, kewenangan poprinsi “membantu pemerintah pusat”,
sedangkan pelaksanaan urusan pendidikan sepenuhnya dilaksanakan oleh
Kabupaten/Kota. Namun, mengapa sampai
sekarang sepertinya pemerintah pusat begitu dominan dalam pelaksanaan kegiatan
pendidikan? Gedung sekolah rusak pemerintah
pusat yang sibuk. Pelatihan guru
pemerintah pusat yang sibuk. Dan
sebagainya.
Dugaan
saya itu semua disebabkan kurang jelasnya pembagian tugas antara pemerintah
pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Deskripsi yang dimuat dalam PP 25/2000
tampaknya belum jelas bagi ketiga level pemerintahan kita. Tumpang tindih kegiatan juga sering terjadi,
misalnya dalam pelatihan guru.
Pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota sama-sama melakukan
pelatihan yang kadang-kadang isinya hampir sama.
Mengapa
begitu? Tampaknya pemerintah pusat belum
siap untuk melepaskan tugas pelaksanaan pendidikan. Hal itu disebabkan sudah
menjadi kebiasaan, sehingga sulit diubah dan juga belum percaya kepada aparat
pada level propinsi/kabupaten/kota.
Sementara itu, aparat di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota juga belum
punya pengalaman untuk melaksanakan tugas yang begitu besar, sehingga sering
kedodoran.
Akibat
dari situasi tersebut struktur organisasi Depdiknas (sekarang menjadi Kemdibud)
yang dahulu dibayangkan akan “menyusut” tidak terjadi dan bahkan membesar. Demikian pula struktur Dinas Pendidikan di
Propinsi yang secara Undang-undang “hanya” bertugas membantu pemerintah pusat juga
tidak berubah strukturnya. Sementara itu
struktur Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota membesar. Saya belum punya data, tetapi dapat diduga
jumlah pegawai yang mengurusi pendidikan, kini meningkat dibanding sebelum era
desentralisasi.
Mungkin
kita bertanya, bagaimana untuk mengatasi situasi tersebut? Rasanya pembagian tugas perlu dilihat
kembali. Pembagian tugas sebaiknya lebih
jelas dan mudah dilihat, sehingga masyarakat mudah memahami. Kita juga perlu melihat substansi
persekolahan agar pembagian tugas/kewenangan tidak menimbulkan masalah di
lapangan.
Terkait
dengan hal di atas, sebaiknya pembagian tugas dalam pembinaan persekolahan
dibagi dalam jenjang. Pendidikan dasar
(SD dan SMP) menjadi tugas dan kewenangan kabupaten/kota, Pendidikan menengah
(SMA dan SMK) menjadi tugas dan kewenangan propinsi, sedangkan perguruan tinggi
menjadi tugas dan kewenangan pemerintah pusat.
Tentu pemerintah pusat masih punya tugas menentukan kebijakan umum, standar,
mengembangan inovasi dan melakukan pemantauan.
Dengan
cara itu setiap level pemerintahan punya tugas/kewenangan yang distingtif dan
mudah dilihat oleh masyarakat. Jika ada
permasalah dengan SD dan SMP tidak menunjuk pemerintah kabupaten/kota dan
propinsi serta pemerintah pusat tidak perlu ikut-ikut. Jika ada permasalahan dengan SMA dan SMK
tinggal menunjuk pemerintah propinsi, sehingga kabupayen/kota dan pemerintah
pusat tidak perlu ikut-ikut. Jika ada permasalah perguruan tinggi tinggal
menunjuk pemerintah pusat, sehingga pemerintah propinsi dan kabupaten/kota
tidak perlu ikut-ikut. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar