Tanggal
14 Mei 2013 pukul 15an, rombongan dari Koni Jatim, Koni Kota Surabaya dan Dinas
Dikpora Jatim datang ke Sport Science Center (SSC) Unesa. Rombongan dipimpin oleh Ir. Erlangga
Satriagung, Ketua Umum Koni Jatim.
Kebetulan beliau teman saya di banyak kegiatan sosial. Pertemuan menjadi sangat santai diselingi
kelakar segar, karena sudah saling mengenal.
Apalagi sebagian pengurus Koni sebenarnya juga dosen Unesa, yaitu dosen
Fakultas Ilmu Keolahragaan.
Pada
awalnya tujuan utama pertemuan adalah mendiskusikan peluang para atlet Jawa
Timur yang mendali PON untuk masuk ke Unesa.
Tahun 2012 sebenarnya hal itu sudah didiskusikan dan bahkan sudah
dilaksanakan. Namun baru dalam tahap uji
coba dan sekarang ingin diformalkan dengan MoU.
Namun karena Unesa memiliki sarana Lab Keolahragaan yang cukup baik,
sementara Koni Jatim ingin menerapkan iptek dalam pengembangan olahraga, maka
diskusi kemudian juga membahas bagaimana Koni Jatim dan Unesa dapat
bekerjasama.
Ketika
diminta memberi sambutan di awal diskusi, saya menyampaikan untuk urusan peraih
medali emas masuk ke Unesa itu mudah.
Bagi Unesa “ujian” untuk meraih medali eman di PON sudah dapat
menggantikan tes masuk. Kompetisi di PON
itu ujian yang sesungguhnya, sedangkan SNMPTN dan SBMPTN untuk bidang olahraga
itu sekedar prediksi. Tentu prediksi
tidak akan seakurat yang sesungguhnya.
Jadi Unesa siap menerima peraih medali emas di PON.
Tentang
penggunaan peralatan, saya sampaikan bahwa semua peralatan di SSC Unesa adalah
milik negara, Koni adalah organ negara, dan para atlet adalah petugas
negara. Jadi mari kita gunakan semua
peralatan yang ada untuk pembinaan atlet, mari semua peralatan kita operasional
bersama dan juga kita pelihara bersama.
Pak
Erlangga menyambut baik “uluran tangan” Unesa tersebut. Apalagi setelah Prof. Hari Setijono
memaparkan data kondisi atlet dan dikaitkan dengan peralatan yang dapat
mengetes kondisi atlet dan sekaligus juga dapat meningkatkannya. Data tersebut semakin meyakinkan perlunya
menggunakan iptek (baca: peralatan di SSC) untuk memperbaiki kondisi atlet dan
sekaligus meningkatkan prestasinya.
Setelah
diskusi, rombongan meninjau SSC untuk melihat alat apa saja yang dimiliki dan
apa kegunaannya. Saya sendiri belum
pernah melihat alat-alat yang dimiliki SSC secara detail, sehingga saya juga
ikut rombongan melihat-lihat sampai di lantai atas. Satu persatu perlatan dilihat dan dijelaskan
apa gunanya dan bagaimana mengoperasikannya.
Termasuk apa sarana pendukung yang diperlukan agar penggunaan peralatan
tersebut dapat optimal.
Mendapat
penjelasan Prof Hari Setijono dan juga petugas yang menangani peralatan
tersebut, rombongan termasuk saya “terkagum-kagum”. Ternyata peralatan yang dimiliki sungguh
sangat bagus dan mahal harganya. Konon
ada satu alat yang harganya 3 M. Pada
hal peralatannya cukup banyak. Juga ada
peralatan untuk uji renang yang arus airnya dapat diatur baik arah dan
kecepatannya. Dengan cara itu, penerang
dapat berlatih di air dengan arus deras.
Konon alat tersebut juga untuk terapi bagi orang yang cedera tulang
belakang. Konon, ahli olahraga dari
Autralia yang diundang untuk mendampingi Koni Jatim juga heran Unesa memiliki
peralatan tersebut. Australia Barat-pun
belum memiliki beberapa peralatan canggih seperti yang dimiliki Unesa.
Nah,
ketika dijelaskan apa sarana pendukung yang diperlukan agar peralatan tersebut
dapat berfungsi maksimal, saya jadi tertegun.
Ada alat yang untuk mengoperasikan memerlukan daya 30 KVA, sehingga
untuk itu diperlukan genset, karena daya listrik SSC tidak mencukupi. Alat uji renang baru digunakan sekali, yaitu
waktu uji coba saat serah terima dari pemborong. Setelah itu belum pernah digunakan karena
untuk mengoperasikan diperlukan daya listrik lebih besar lagi.
Melihat
kondisi itu, saya jadi teringat kelakar yang sering saya munculkan kalau
kebetulan lewat di depan rumah mewah, misalnya di Citraland Surabaya dan Pondok
Indah Jakarta. “Saya diberi rumah mewah
itu tidak mau, karena takut tidak dapat membiayai pemeliharaannya”. Bayangkan berapa untuk membayar listrik dan
berapa untuk menggaji pembantu yang merawat rumah sebesar itu. Saya takut Unesa juga tidak mampu memelihara
peralatan itu, karena besarnya biaya operasional.
Sambil
jalan saya berseloroh kepada teman-teman Koni, “ini ibarat si pembalap tidak
punya mobil balap, sementara yang punya mobil tidak dapat menjalankan”. Maksud saya, Unesa memiliki peralatan canggih
tetapi tidak mampu menggunakan secara maksimal karena tidak memiliki anggaran,
sementara Koni Jatim memerlukan peralatan tersebut dan punya anggaran tetapi
tidak memiliki alat. Nah, sangat bagus
kalau bersinergi. Kita gunakan bersama peralatan
tersebut dan Koni dapat mendukung anggaran untuk mengoperasikan serta
memeliharanya.
Pagi
ini, tanggal 21 Mei 2013 saya diundang sarapan pagi oleh Dr. Hallam Pereira,
International Project Director dari Department of Sport and Recreation
Australia Barat. Dr. Harllam ditemani
oleh Mbak Ririn, staf Koni Jawa Timur.
Seloroh di atas saya sampaikan ke beliau dan beliau mengatakan itu
metaphora yang pas dan harus dipecahkan.
Sebagai orang yang menekuni pengembangan olahraga di negara maju, Dr.
Harllam menyakinkan saya akan pentingnya menerapkan iptek dalam olaharaga. Dia mencotohkan, bagaimana Australia negara “muda
usia” dengan penduduk sedikit mampu bertengger di urutan atas dalam
olimpiade. Sementara negara yang sudah “tua”
dengan penduduk besar seperti India, Mesin dan Indonesia dikalahkan. Jawabannya karena Australia menerapkan iptek
dalam pengembangan olahraga. Dia
memberikan banyak contoh.
Diskusi
mengarah kepada satu pertanyaan, bagaimana cara meyakinkan pihak pengambil
kebijakan, seperti Koni Jawa Timur, Dispora Jatim, dan Unesa untuk meniru pola
tersebut. Dalam taraf retorika sangat
mudah. Bahkan Gubernur Jawa Timur sudah
menyebutkan hal itu pada pelatikan pengurus Koni Jatim tahun lalu. Namun
implementasinya ternyata tidak mudah. Saya usulkan dibuat program riset yang
sederhana tentang penerapan iptek dalam pengembangan olahraga, tetapi yang segera
tampak hasilnya. Cara itu akan dapat
meyakinkan pihak pengambil kebijakan.
Dan mengingat kita masih “silau” dengan “bule”, maka program riset
tersebut saya usulkan berupa kolaborasi antara Dispora Jatim, Koni Jatim, Unesa
dan Departmen of Sport and Recreation Australia Barat. Jika perlu beberapa orang dari ketiga lembaga
di Jatim tersebut melihat contoh yang sudah berjalan di Autralia Barat. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar