Suatu saat saat saya pernah terlibat diskusi dengan
beberapa aktivis mahasiswa. Saat itu
sedang hangat gagasan untuk merapikan kantin di kampus. Saya menjelaskan kantin di kampus itu tidak
menyewa, tidak membayar air dan tidak membayar listrik. Jadi semuanya ditanggung oleh Unesa. Jadi
kantin tersebut sebenarnya disubsidi oleh Unesa. Jadi mahasiswa yang tidak ikut makan di
kantin ikut menyubsidi kantin itu. Di samping itu beberapa kantin juga tidak
rapi dan tidak bersih.
Terjadilah diskusi hangat. Wajar saja setiap orang kan punya pikiran
yang tidak tepat sama, sehingga tentu ada perbedaan cara memancang suatu
gagasan. Yang mengagetkan, beberapa
minggu berikutnya ada demo yang intinya tidak setuju dengan gagasan menertibkan
kantin di kampus. Nah, ketika diundang
diajak diskusi muncul pernyataan “kita harus berpikir kritis dan menolak
kebijakan penutupan kantin di fakultas”.
Kejadian seperti itu ternyata sering terjadi. Kesan saya berpikir kritis itu harus tidak
setuju atau berseberangan dengan pemikiran atau kebijakan yang sedang berjalan. Bahkan ada kesan mengkritisi suatu pemikiran
atau kebijakan itu artinya mencari kekeliruan atau mencari kesalahan. Jadi orang kritis selalu tidak setuju dengan
pemikiran yang ada dan tidak setuju dengan kebijakan yang ada. Apa memang begitu?
Secara teoritik berpikir kritis haruslah reasonable, reflective thinking that is
focused on deciding what to beleive or no. Ada yang mendefisikan critical thinking is mode of thinking about any subject, content
problem-in which the thinker improves the quality of his or her thinking by skillfully taking change of the
structure inherent in thinking and impossing intellectual standard upon them. Jadi berpikir kritis itu tidak harus menolak
pemikiran yang sedang berkembang.
Berpikir kritis tidak harus menjadikan seseorang “no man” yang selalu
menyatakan tidak setuju.
Bahwa berpikir kritis itu tidak begitu saja percaya
dengan pemikiran yang ada atau kebijakan yang ada sangat betul. Berangkat dari ketidakpercayaan itu kemudian
melakukan analisis, mencari data/pemikiran pembanding, sehingga akhirnya dapat
memutuskan apakah menyetujui atau tidak menyetujui terhadap pemikiran atau
kebijakan yang sedang ditelaah.
Beberapa ahli mengatakan bahwa berpikir kritis meliput
enam tahap, yaitu: (1) interprstasi, (2) analisis, (3) evaluasi, (4) inferensi,
(5) penyelasan, dan (6) regulasi diri.
Pada tahap interprestasi, seseorang melakukan pencermatan sampai
memahami betul makna sesungguhnya dari pemikiran atau kebijakan yang
dikritisi. Tahap ini antara lain dapat
mecakup kategorisasi, dekoding dan klarifikasi.
Pada tahap analisis, dilakukan analisis terhadap
landasan filosofis, yuridis, dan teoritis yang digunakan oleh pemikiran atau
kebijakan tersebut. Tahap inilah yang
paling pokok, agar simpulan dari analisis tidak bias oleh subyektivitas
tertentu.
Pada tahap evaluasi dilakukan pembandingan hasil
analisis tersebut dengan standar yang relevan.
Pemilihan standar harus utuh dan obyekif sehingga patokan yang digunakan
sebagai pengukur hasil analisis tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Pada tahap inferensi dilakukan kajian ulang terhadap
berbagai data. Dengan kata lain berbagai
data dan informasi dipertanyakan atau dicek lagi validitasnya. Dicek pula apakah masih ada alternatif lain
yang belum dipertimbangkan.
Pada tahap penjelasan disusun simpulan apakah kita
setuju atau tidak setuju atau setuju dengan catatan terhadap pemikiran atau
kebijakan yang sedang dikritisi.
Sedangkan tahap regulasi diri adalah penilaian atau pengedalia diri
sendiri setelah simpulan dihasilkan.
Kalau ke enam tahap dilakukan dengan baik, saya yakin
kita tidak akan menjadi “no man” atau menjadi “pokoknya beda” terhadap
pemikiran atau kebijakan yang dikritisi.
Sebaliknya kita juga tidak akan menjadi “yes man”. Jadi berpikir kritis itu tidak sama dengan berpikir negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar