Beberapa hari lalu saya diwawancari via telepon oleh sebuah
stasiun radio tetang program Literasi yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan
Surabaya. Pada prinsipnya saya mendukung
program tersebut, karena memang penting.
Membaca merupakan salah satu pintu pengetahuan, dengan membaca kita akan
mendapatkan pengetahuan dan juga menyerap pengalaman orang lain.
Namun saya memberikan beberapa catatan tentang program
tersebut. Pertama, membaca itu bukan sekedar membunyikan huruf, tetapi
memahami apa yang terkandung dalam bacaan tersebut. Saya punya pengalaman
terkait dengan prinsip tersebut. Sekitar
awal tahun 2000-an, ketika mengembangkan pembelajaran kontekstual (contextual larning), saya mengunjungi
sebuah SMP Negeri di Bali. Iseng-iseng
saya membawa segebok koran lokal. Koran
saya bagikan kepada siswa SMP Kelas 1 dan meminta membaca berita tentang daerah
Bali. Setelah sekitar 20 menit saya
meminta mereka menuliskan ringkasan berita tersebut. Satu persatu mereka saya
minta membaca ringkasan tersebut dan tidak sampai separuh yang dapat
membuatnya.
Tidak percaya dengan apa yang saya dengar, saya mencoba
mendekati beberapa siswa dan saya tanya apa isi berita tersebut. Ternyata banyak dari mereka yang tidak
faham. Pada hal itu berita daerahnya dan
berita tentang keseharian masyarakat Bali. Saya minta mereka membaca berita itu dan
ternyata bisa. Jadi mereka dapat membaca
dalam arti membunyikan huruf tetapi tidak memahami isi berita tersebut.
Menurut saya, dapat membaca tetapi tidak memahami isi bacaan
itu tidak banyak manfaatnya. Membaca
itu bentuk belajar, sehingga cirinya ada perubahan pengetahuan dan atau
perubahan perilaku. Kalau dapat membaca
tetapi tidak ada perubahan pengetahuan berarti tidak terjadi proses
belajar. Lebih baik membaca 1 halaman
tetapi faham isi bacaan dibanding membaca 2 halaman tetapi tidak mengerti apa
yang dibaca.
Oleh karena itu, kita harus mengajarkan membaca dengan
memaknai apa yang dibaca. Menceritakan
kembali apa yang dibaca, membuat rangkuman sederhana adalah cara untuk sederhana
ke arah itu. Mungkin pada saatnya
anak-anak diajak mendiskusikan hasil bacaan atau bahkan membuat kritik terhadap
suatu bacaan.
Kedua, membaca tidak hanya terbatas pada
tulisan. Mencermati suatu gambar atau
lukisan juga termasuk membaca. Menurut
saya mencermati fenomena alam, mencermati suatu mesin, mercermati suatu proses
kerja termasuk membaca. Kemampuan
“membaca” yang terakhir ini sangat penting dan belum mendapat perhatian dalam
pendidikan kita. Pada hal, banyak yang
dapat dipelajari dari “membaca” fenomena alam atau lingkungan sekitar.
Proses inkuiri atau proses berpikir induktif sebenarnya banya
memerlukan “membaca” lingkungan. Jika
anak-anak mengamati warna air sungai sehabis hujan, akan mendorong pemahaman
adanya proses erosi. Jika anak-anak
mengamati kemacetan lalu lintas akan mendorong mempertanyakan berapa pemborosan
bahan bakar akibat kemacetan itu. Jika
anak-anak mengamati sumbangan dari uang kembalian di mini market akan mendorong
betapa besar potensi donasi orang belanja.
Di beberapa negara maju yang pernah saya kunjungi, observasi
(membaca lingkungan) dilatihan sejak dini.
Di TK anak-anak diajari mengamati tumbuhan dan binatang yang ada di
sekolah. Mereka juga belajar mengamati
tinggi badan, baju yang dipakai serta hal-hal lain pada teman-temannya. Dari observasi itu dilakukan pengelompokan
dan seterusnya.
Dalam teori belajar kita mengenal Pendekatan Keterampilan
Proses (PKP) yang menjelaskan observasi adalah tahapan awal yang harus
dipelajari anak. Pengamatan itulah yang
pada saatnya memunculkan rasa keingintahuan bahkan kepenasaran. Bukankah anak kecil selalu mempertanyakan apa
yang di lihat.
Ketiga, membaca itu keterampilan, sehingga
harus dilatih. Jika kita terbiasa
membaca, apalagi membuat catatan kecil hasil bacaan, kita akan lancar membaca
dan cepat memahami isi bacaan.
Sebaliknya jika kita agak lama berhenti membaca dan memulai lagi,
biasanya kita agal “gratul-gratul”, tidak selancar dulu. Juga lebih lambat dalam memahami isi
bacaan. Oleh karena itu membiasakan membaca
dapat menjadi salah satu kunci program literasi.
Pernah ada sekolah yang punya program yang disebut DEAR (drop
every things and read). Pada jam
tertentu (biasanya 07.00) ada bel yang menandakan semua orang di sekolah itu
(kepala sekolah, guru, TU, siswa dan satpam) berhenti mengerjakan apapun dan
mulai membaca. Mereka sudah membawa bahan bacaan, sehingga begitu bel berbunyi,
mengambil bacaan tersebut dan mulai membaca.
Waktunya hanya 15 menit, tetapi dilakukan setiap hari, sehingga menjadi
kebiasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar