Hari ini, tanggal 22 April 2015 saya ke Pandaan
sendirian. Menjelang pukul 11 acara
selesai dan saya segera balik ke Surabaya, karena punya janji dengan
teman-teman di Yarsis pukul 12.
Alhamdulillah perjalanan dari Pandaan sampai Apolo lancar. Pada hal paginya, perjalanan dari Apolo
sampai patung sapi Pandaan merambat karena ada demo buruh.
Sampai di Apolo kendaraan merambat, tetapi saya merasa itu
hal wajar karena Apolo sampai pertigaan jalan ke Mojosari itu selalu padat. Maklum ruas jalan itu selalu penuh kendaraan
truk besar-besar dari arah Pasuruan bertemu kendaraan dari arah Malang dan juga
truk-truk besar pengangkut tanah urug yang keluar dari arah Barat di dekat
Apolo.
Namun yang justru membuat saya akan kaget justru padatnya
kendaraan di jalan tol. Mulai arteri
Gempol dan di jalan tol Porong sampai Waru sangat padat. Saya lihat spedo meter mobil hanya berjalan
sekitar 30 km/jam. Saya bertanya-tanya
ada apa ya? Kenapa dua jalur di jalan
tolol penuh dan jalannya mobil sangat lambat?
Apa ada kecelakaan?
Saya dengarkan radio SS dan hanya disiarkan kalau tol
Porong-Waru padat merambat karena volume saja.
Karena sendirian dan menyopir sendiri, saya mencoba mencermati lalu
lintas. Saya melihat truk-truk besar
pengangkut tanah urug dan juga truk besar lainnya berjalan di lajur kiri dan
juga kanan. Mengapa demikian? Bukankah biasanya atau seharus berjalan di
lajur kiri?
Setelah mengamati cukup lama, sampai keluar di exit Waru baru
saya menemukan jawabnya. Ternyata
truk-truk besar yang berjalan di lajur kiri itu lajunya hanya sekitar 30
km/jam. Beberapa truk besar yang lajunya
sedikit lebih dari itu, misalnya 40 atau 50 km/jam tidak mau di lajur kiri,
tetapi mendahului dengan mengambil lajur kanan.
Akibatnya ya, lajur kananpun kecepatan kendaraan hanya sekitar 40
km/jam.
Saya jadi teringat diskusi saya dengan anak nomor dua
beberapa waktu lalu. Saat itu saya juga
ke Pandaan berdua, dan anak saya yang menyopir.
Saya bertanya apa maksud rambu di jalan tolon yang memuat angka 60
dengan wanra biru muda dan 100 dengan warna merah. Anak saya menjelaskan itu artinya kendaraan
di jalan tolon minimal harus melaju 60 m/jam dan maksimal 100 km/jam.
Saya bertanya, untuk apa kecepatan minimal dibatasi? Bukankah banyak hal yang menyebabkan
kendaraan berjalan lambat? Anka saya
menjelaskan panjang lebar, yang intinya jala tol itu semestinya free way atau
jalan bebas hambatan. Kalau ada kendaraan berjalan sangat lambat nanti dapat
mengganggu kendaraan yang ingin berjalan cepat.
Hari ini saya baru memahami tertang penjalasan tersebut. Truk-truk yang berjalan sangat lambat
ternyata menyebabkan truk lain ingin menyalip.
Repotnya yang mau nyalip itu lajunya juga hanya sedikit lebih
cepat. Akibatnya proses menyalipnya
sangat lama. Akibatnya lajur kiri maupun
kanan diisi oleh kendaraan yang berjalan lambat dan kendaraan lain yang ingi
cepat tidak dapat menyalip.
Mereka yang tidak sabar kemudian mengambil bahu jalan di
sebelah kiri. Nah di dekat exit Sidoarjo adan Polisi dan tampaknya menilang
orang yang menggunakan bahu jalan. Saya
tidak tahun apakah Pak Polisi itu memahami mengapa orang sampai menggunakan
bahu jalan. Apakah Pak Polisi memahami
kalau sumber penyebabnya truk-truk yang berjalan sangat lambat di tol. Saya juga tidak tahu apakah kendaraan yang
berjalan dengan kecepakatan di bawah 60 km/jam, oleh Pak Polisi dianggap
melanggar lalu lintas.
Saya hanya berpikir, kalau kondisi seperti itu berlangsung 6
jam per hari. Dalam jumlah kendaraan
yang terkena akibat itu sebanyak 1.000 mobil/jam. Setiap mobil memboroskan 5 liter bahan bakar, maka setiap hari ada
30.000 liter solar/bensin yang “hilang” .
Jika dianggap salam satu tahun persitiwa seperti itu terjadi 200 hari,
berarti dalam 1 tahun ada 6.000.000 liter bahan bakar yang hilang. Banyak juga ya. Pada hal itu hanya di tol Porong-Waru, belum
yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar