Tanggal 14 April 2015 pertama kalinya saya mengikuti sidang
di Mahkamah Konstitusi, karena diminta menjadi saksi ahli oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Waktu itu
gugatan terhadap UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya pasal 13 ayat
(1), pasal 14 ayat (1) dan pasal 15 ayat (1) dan (2). Penggugatnya teman-teman guru dari
Banyuwangi.
Teman-teman guru itu bekerja sebagai guru tidak tetap (GTT)
di sekolah negeri dan intinya ingin agar sebagai GTT “disetarakan” dengan guru
tetap, sehingga dapat mengikuti sertifikasi dan mendapatkan gaji serta
tunjangan profesi, dan seterusnya.
Yang menjadi saksi ahli dari pihak pemerintah 4 orang, yatitu
Prof Udin dari UT, Pak Made dari Kementerian Keuangan, Dr. Dian dari Fakultas
Hukum UI dan saya sendiri. Sudah
diatur, agar saya dan Prof Udin menyampaikan tentang guru dalam kaitannya
dengan pendidikan, Dr. Dian membahasa aspek hukum dan Pak Made membahas tentang
gaji/honor dan sebagainya, pokoknya yang terkait dengan itu.
Uraian yang kami (4 saksi ahli dari pemerintah) sebenarnya
tidak ada yang istimewa. Semua sudah
sering kita dengan. Misalnya saya
menyampaikan pentingnya guru dalam proses pendidikan dan bahwa UU No 14/2005
sudah menempatkan guru dalam posisi yang bagus.
Guru difahami sebagai sebuah profesi dan untuk itu harus menempuh
pendidikan profesi. Sebagai imbalannya,
guru mendapatkan tunjangan profesi. Saya
juga menyampaikan bahwa istulah GTT tidak dikenal dengan UU No. 14/2005. Prof Udin menyampaikan filosofi pendidikan
dan dukungan guru terhadap konsep itu.
Pak Made menyampaikan landasan hukum/aturan yang digunakan untuk memberi
gaji, honor dan tunjangan kepada guru.
Dr. Dian tidak dapat hadir tetapi menyerahkan kesaksian secara tertulis
tentang acuan hukum yang terkait dengan keuangan untuk guru.
Yang lebih menarik adalah persiapan dan jalannya sidang. Untuk menyampaikan kesaksian yang
masing-masing hanya dialokasikan waktu 20 menit, termasuk tanya jawab,
diperlukan rapat dua kali. Kami juga harus menyampaikan naskah kesaksian, power
point yang akan ditayangkan, bahkan ada semacam “latihan”, yang dihadiri banyak
kolega dari Kemdikbud.
Karena belum pernah, saya membayangkan betapa sakralnya
sidang di Mahkamah Konstitusi. Apalagi ketika “latihan” diinformasikan, kalau
sidangnya sangat tertib, orang tidak boleh duduk dengan meyilangkan kaki dan
sebagainya. Bahkan setelah latihan,
salah seorang pejabat Kemdikbud memberi catatan kepada saya agar tidak terlalu
sabar. Harus lebih tegas agar tampak
meyakinkan dari aspek hukum. Bahkan saya
ditanya apakah daftar pustaka yang saya cantumkan di akhir kesaksian ada
kutipannya dalam uraian kesaksian. Kami
juga diingatkan tidak boleh mulai bicara, berdiri atau duduk kembali sebelum
diperintahkan hakim.
Pulang dari rapat dan sekaligus latihan, saya berpikir apakah
harus seperti itu ya. Bukankah sebagai
saksi ahli saya dan saksi ahli lain, tugasnya menyampaikan pandangan dari
keahlian masing-masing. Bukahkah pada
Hakim Konstitusi banyak yang “aslinya” dosen yang sudah terbiasa dengan iklim
akademik. Bukankah saya dan Prof Udin
ditugasi menjadi saksi ahli bidang pendidikan/keguruan, yang tentu harus
menampakkan sebagai guru yang semestinya “sabar” dalam menyampaikan pandangan.
Ketika masuk ke ruang sidang dan harus melewati pintu metal
detector dan apalagi diputarkan rekaman tentang tata tertib sidang, saya mulai
membenarkan pesan-pesan dari rekan-rekan Kemdikbud bahwa sidang di MK itu
sakral. Apalagi saat para hakim memasuki ruag sidang, hadirin diminta berdiri.
Namun semua itu menjadi hilang, saat saya mengamati Ketua
Sidang. Ternyata ketuanya Pak Arif
Hidayat dari Fakultas Hukum Undip. Kalau
tidak salah pernah menjadi dekan.
Apalagi ketika membaca nama Prof Udin menyebut sebagai teman yang
sama-sama menekuni nilai-nilai Pancasila.
Jalannya sidang sangat santai.
Memang tertib, tetapi suasana jauh dari banyangan menegangkan. Ketika meminta saya mulai memberikan
kesaksian, beliau dengan nada sedikit bercanda, agar dari mimbar sebelah kiri
biar imbang, karena Prof Udin menyampaikan dari mimbar sebelah kanan. Ketika tanya jawab, kami diijinkan menjawab
sambil duduk.
Simpulan saya, sidang di Mahkamah Konstitusi memang
tertib. Mulai dan selesainya relatif
tepat waktu. Suasana tertib, tidak ada
hadirin yang hilir mudik. Tidak ada yang ber-HP ria. Tidak ada yang bicara nyelonong. Tetapi suasana sidang sangat santai dan
bernuasa akademik. Bravo untuk Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar