Assalamu ‘alaikum wr.wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita
semua.
Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah
Konsitusi, pertama saya menyampaikan terima kasih atas kesempatan untuk
menyampaikan pandangan, terkait dengan gugatan terhadap pasal 13 ayat (1), pasal; 14 ayat (1) huruf a. dan pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Sebagai Guru Besar
bidang pendidikan yang menekuni bidang keguruan dan juga cukup lama menjadi Guru, saya ingin
menyampaikan pandangan dari sisi keahlian saya. Kepada hadirin, khususnya
rekan-rekan pendidik saya ingin mengajak merenungkan makna profesi Guru secara
utuh.
Yang Mulia Ketua dan
Anggota Majelis Hakim, istilah Guru berasal dari bahasa Sansekerta yang
bermakna seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan kearifan serta kewenangan
yang kemudian menggunakannya untuk membimbing orang lain. Itulah sebabnya banyak orang mengatakan Guru
bukanlah pekerjaan biasa, karena dengan kemampuan dan kewenangan itu, yang
besangkutan rela mendarmabaktikan hidupnya untuk membimbing anak didik. Mungkin
itu yang menjadi inspirasi Pak Sartono, penggubah Himne Guru, menyebut Guru
adalah patriot pahlawan bangsa – tanpa tanda jasa. Pahlawan dalam menyiapkan generasi penerus,
tanpa tanda jasa karena yang bersangkutan melaksanakan tugas dengan tulus tanpa
pamrih.
Bahwa Guru itu komponen sangat penting dalam proses
pendidikan tidak terbantahkan. Apapun
kebijakan yang dibuat, ujungnya Gurulah yang melaksanakan di sekolah. Penelitian Mourshed, Chijioke & Barber (2010)
di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa 53% hasil belajar siswa ditentukan oleh Guru. Sementara penelitian John Hattie (2008) di
New Zeland menyebut kontribusi Guru terhadap hasil belajar siswa sebesar 58%. Di
Indonesia, penelitian Pujiastuti, Raharjo dan Widodo (2012) menyebutkan bahkan
kompetensi profesional Guru berkontribusi 54,5% terhadap hasil belajar siswa. Masih ada beberapa penelitan lain, tetapi
semuanya memiliki angka kontribusi Guru terhadap hasil belajar siswa di atas
50% (Samani, Cholik dan Buditjahjanto, 2015).
Artinya jika di sekolah tersedia Guru yang kompeten dan bekerja dengan
baik, maka lebih separuh masalah pendidikan di sekolah dapat
terselesaikan.
Uraian Abu-Duhou (1999) dapat menjelaskan dengan baik
bagaimana pengaruh Guru terhadap hasil belajar siswa. Intensitas proses belajar
siswa ditentukan oleh inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh Guru. Pola pembelajaran yang baik dapat memudahkan
siswa dalam memahami materi ajar dan menumbuhkan motivasi belajar siswa,
sehingga hasilnya akan optimal.
Kajian Thomas Friedman (2013) terhadap pendidikan di
Shanghai menyimpulkan bahwa pendidikan di Sanghai meningkat dengan cepat karena
lima faktor, yaitu: (1) komitmen yang sangat tinggi terhadap pendidikan Guru,
(2) pengembangan keprofesionalan Guru yang sangat sistematis, (3) pelibatan
orangtua dalam proses belajar anak-anaknya, (4) dorongan dari pimpinan sekolah
untuk memegang standar hasil belajar yang tinggi, dan (5) budaya menghargai
pendidikan dan menghormati Guru. Jadi
peningkatan mutu pendidikan di Sanghai juga sangat digantungkan kepada Guru.
Oleh karena itu
wajar jika beberapa negara, misalnya Finlandia dan Jepang sangat memperhatikan
faktor Guru dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Ketika
kalah dalam Perang Dunia Kedua, yang ditanyakan oleh Kaisar Jepang bukan berapa
tentara yang masih dimiliki, tetapi berapa Guru yang tersisa. Tampaknya Kaisar
meyakini untuk membangun kembali Jepang, yang segera perlu dilakukan adalah
mengejot pendidikan dan untuk itu yang paling diperlukan adalah Guru.
Finlandia melakukan reformasi pendidikan dengan
menempatkan profesi Guru pada posisi yang sangat tinggi setara dengan profesi
dokter (Sahlberg, 2011). Hanya lulusan
SLTA yang bagus yang boleh menjadi Guru.
Melalui cara itu Finlandia dapat menggantungkan proses
pendidikan kepada Guru, tanpa dirisaukan oleh kurikulum. Sekarang pendidikan di Finlandia bermutu
sangat bagus dan menjadi salah saru rujukan dunia.
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara (2004)
yang mengenalkan pendidikan dengan sistem among
juga menempatkan Guru sebagai kunci utama dalam pendidikan. Guru ditempatkan sebagai pamong (pengasuh)
yang mendampingi siswa dalam proses belajar, yang tentu saja harus memahami
karateristik anak yang diasuh, kemana arah pengembangannya dan bagaimana metoda
pengasuhan yang paling tepat. Untuk
itulah Ki Hajar mengenalkan konsep “ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Maksudnya dalam mengemong atau mengasuh siswa,
Guru harus memberi teladan ketika berada di depan siswanya, menumbuhkan
prakarsa ketika berada di tengah-tengah mereka, dan memberi motivasi bahkan
mendo’akan ketika berada di belakang siswanya.
Hanya dengan cara itu, siswa dapat belajar secara maksimal.
Peran Guru menjadi semakin sentral, ketika Indonesia
mengarusutamakan pendidikan karakter.
Banyak pakar mengatakan bahwa karakter atau akhlak atau budi pekerti
harus ditumbuhkembangkan melalui keteladanan. Karakter tidak dapat diajarkan tetapi dapat
ditularkan (Samani dan Haryanto, 2011). Sekali lagi Gurulah yang menjadi teladan utama bagi
siswa di sekolah.
Dalam budaya Jawa istilah Guru sering dimaknai “digugu
dan ditiru” atau dipercaya dan diteladani.
Guru akan dipercaya kalau menguasai bidang ilmu yang diajarkan dan mampu
mengajarkan dengan baik. Guru akan
diteladani jika perilaku kesehariannya baik dan sesuai dengan norma-norma
masyarakat dimana yang berangkutan tinggal. Sekali lagi Guru dimaknai sebagai sosok
istimewa karena memiliki kompetensi hebat dan perilaku mulia. Dengan kata lain, Guru haruslah seorang
profesional.
Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim, menurut pandangan saya, Indonesia juga menempatkan Guru
sebagai profesi yang bergengsi. UU No.
14 Tahun 2005 memaknai Guru sebagai pendidik
profesional. Seorang disebut profesional
jika memiliki pendidikan yang baik (well
educated), berkineja tinggi (highly
performance) dan bergaji bagus (well
paid). Tiga indikator itu sudah
terumuskan dengan baik dalam UU 14 Tahun 2005. Pasal 7 secara rinci menyebutkan ciri-ciri Guru
profesional, mulai dari bakat, minat dan panggilan jiwa sampai dengan memiliki
organisasi profesi. Pasal 9 dan 10
menyebutkan kalau Guru tidak cukup berpendidikan S1 tetapi harus menempuh
pendidikan profesi yang sekarang disebut Pendidikan Profesi Guru (PPG), sehingga
mendapatkan sertifikat pendidik. Bahkan
pasal 23 ayat (1) mengamanatkan pendidikan Guru berikatan dinas dan berasrama
untuk menjamin mutu pendidikan calon Guru.
Terkait dengan arahan agar Guru berkinerja tinggi,
pasal 20 menjelaskan apa yang perlu dilakukan Guru untuk meningkatkan keprofesionalannya,
antara lain merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu,
meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan, bertindak obyektif dan tidak diskriminatif, menjunjung tinggi
peraturan perundang-undangan, hukum dan kodel etik Guru, serta memelihara dan
memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 35 ayat (2) menyebutkan
beban kerja Guru sekurang-kurang 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya
40 jam tatap muka dalam satu minggu.
Terkait dengan penghasilan Guru yang baik, pasal 15
dan 16 mengamanatkan agar pemerintah memberikan tunjangan profesi sebesar satu
kali gaji bagi yang memiliki sertifikat pendidik. Di samping itu Guru juga berhak mendapatkan
tunjangan fungsional. Bahkan pasal 18 ayat
(2) dan (3) menyebutkan Guru yang bertugas di daerah khusus berhak mendapatkan
tunjangan khusus dan rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Jadi Undang-undang Nomer 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen, yang menempatkan Guru sebagai pendidik profesional telah menjabarkan
prinsip-prinsip profesional secara komprehensif.
Yang Mulia Majelis Hakim serta hadiran yang saya
hormati, Istilah Guru tetap dan Guru tidak tetap tidak dikenal dalam UU No. 14
Tahun 2005. Pasal 15 ayat (2) dan (3)
hanya menyebut Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah, dan Guru yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Namun dalam sehari-hari dikenal istilah: (1) Guru PNS
yang ditugaskan di sekolah negeri, (2) Guru PNS di tugaskan di sekolah
swasta yang biasa disebut Guru DPK, dan
(3) Guru yang diangkat sebagai Guru Tetap
oleh Yayasan untuk sekolah dibawahnya dan
biasa disebut dengan GTY, (4) Guru Honor Daerah atau yang sering disebut guru
Honda, (5) Guru Bantu, dan (6) Guru Tidak Tetap.
Biasanya tiga kelompok pertama disebu guru tetap,
sedangkah tiga kelompok terakhir disebut guru tidak tetap. Guru tetap terikat oleh aturan-aturan baku
sebagai guru tetap dari yang mengangkat, sedangkan guru tidak tetap terikat
dengan aturan sebagai guru tidak tetap.
Membandingkan keduanya, biasanya hak dan kuwajiban dua kelompok itu juga
berbeda.
Yang Mulia Majelis Hakim, demikian pendapat saya. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan dan
terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum ww.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar