Tanggal 28-29 April 2015 saya diundang oleh USAID Prioritas
untuk ikut workshop LPTK sebagai sevice provider bidang pendidikan. Workshop tersebut diikuti oleh 16 LPTK Negeri,
9 LPTK di bawah Kemdikbud (sekarang Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi, konon disingkat Kemritting) dan 7 LPTK di bawah Kementerian Agama.
Ada sesi yang meminta setiap LPTK menyampaikan layanan apa
saja yang sudah dilaksanakan selama ini.
Sungguh menarik ada LPTK yang memiliki bisnis hotel, mall, gedung
pertemuan, pengadaan barang dan sebagainya.
Kalau LPTK memberikan jasa pelatihan guru, pendampingan sekolah,
pengembangan sekolah ungguh atau sekolah dengan ciri khusus, penyusunan grand
design pendidikan dan sejenis itu, rasanya wajar. Namun jika LPTK merambah ke
bisnis hotel, mall, gedung pertemuan dan pengadaan barang saya bertanya-tanya. Apakah itu memang tepat.
Di benak saya, LPTK atau universitas pada umumnya bukanlah
lembaga bisnis tetapi lembaga pendidikan tinggi. LPTK adalah lembaga pendidikan tinggi yang
bertugas menghasilkan guru dan mengembangkan ilmu pendidikan. Memang idealnya sebagai universitas LPTK Negeri
harus self support dan tidak hanya menggantungkan kepada dana yang diberikan
oleh pemerintah berupa DIPA. Apalagi ke
depan, universitas-termasuk LTPK Negeri harus menjadi lembaga yang mandiri (PTN
BH), namun tidak tepat jika kemudian LPTK bermetamorfona menjadi entitas
bisnis.
Memang ada dilema, di satu sisi sebagai perguruan tinggi LPTK
harus menekuni tugas pokoknya, yaitu menghasilkan guru yang bagus dan
mengembangkan ilmu pendidikan. Di sisi
lain, LPTK tidak dapat mengandalkan anggaran dari pemerintah saja, sehingga
harus dapat menggali sumber-sumber dana dari luar. Tarik menarik dua kepentingan itulah yang
harus dicarikan solusi yang inovatif.
Terlalu idealis dan hanya mengandalkan anggaran dari pemerintah LPTK
tidak akan berkembang, sebaliknya terlalu bersemangat menggali dana
kemana-mana, LPTK dapat kehilangan arah.
Saya pernah bertanya kepada teman rektor yang memiliki gedung
pertemuan, apakah ekonomi menguntungkan.
Jawaban yang saya dapat, gedung pertemuan membuat universitas bangga dan
mudah jika mengadakan suatu acara, namun secara ekonomi rugi. Biaya yang diperoleh dari uang sewa tidak
sepadan dengan biaya pemeliharaan dan renovasi yang harus dilakukan suatu saat
ada kerusakan. Teman saya yang menjadi
pimpinan sebuah bank mengatakan, kalangan perbankan sekarang sudah tidak mau
punya gedung dan mobil sendiri. Lebih baik menyewa karena secara ekonomi lebih
menguntungkan.
Lantar mengapa apa peruahaan yang membangun gedung pertemuan
dan menyewakan mobil? Ternyata mereka
itu sudah menghitung secara profesional.
Jika hanya untuk pernikahan, paling dalam satu tahun hanya terpakai
sekutar 100 kali, maka gedung harus dirancang untuk berbagai keperluan,
misalnya untuk rapat-rapat, pameran, seminar dan seterusnya. Intinya dikelola secara profesional dan itu
dirancang sejal awal.
Saya menduga, sekali lagi menduga, kalangan kampus memang bukankah kalangan profesional dalam
mengelola gedung pertemuan atau mall, sehingga sangat mungkin tidak
berpengalaman bagaimana sejak awal merancang segalanya.
Pertanyaan saya berikutnya, apakah kepemilikan gedung
pertemuan dan mall itu dapat menjadi wahana belajar bagi mahasiswa LPTK. Katakanlah, apalah pengelolaan gedung
pertemuan dan mall itu dapat difungsikan sebagau bagian dari praktikum
mahasiswa. Pertanyaan itu muncul, karena
sangat ideal kalau “bisnis” yang dilaksanakan oleh LPTK terkait dengan
aktivitas akademik bidangnya, sehingga antara kegiatan akademik dan bisnis
dapat disinergikan.
Saya jadi teringat bagaimana beberapa dosen muda yang sedang
menemuh S2 dan S3 di Australia dan terlibat dalam pembuatan robot pertanian.
Sang profesor mendapat proyek merancang robot pertanian dan untuk itu
melibatkan mahasiswa S2 dan S3. Saya
juga teringat ketika seorang profesor di Utah State University yang kebetulan
berasal dari Surabaya mendapat research grant untuk penelitian yang terkait
dengan Engineering Education. Beliau
kemudian mencari dosen dari Indonesia yang mau menempuh S3 di bidang itu dan
akan ditanggung beasiswanya. Seingat
saya, yang berangkat teman dari Fasilkom UI.
Nah, mungkinkah kegiatan penggalian dana di LPTK lebih
diarahkan kepada hal-hal seperti itu?
Rasanya lebih cocok, dibanding membangun gedung pertemuan, hotel maupun
mall. Mungkin ada yang mengkajinya lebih
jauh. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar