Pagi tanggal 20 Mei
2015 saya menonton wawancara Pak Hatta Radjasa, mantan Ketua Umum PAN dan
mantan Sekneg, di TV Kompas. Saya tidak
dapat menonton secara utuh, karena harus mandi dan lain-lainnya. Bagian yang paling menarik adalah saat Pak
Hatta ditanya apa kiatnya dapat menjalani aktivitas sebagai politisi dan
birokrat yang panjang tanpa masalah yang berarti. Jawabannya sungguh menarik, filosofis dan
penuh makna: “sebagai politisi dan birokrat itu yang sulit bukan memulai tetapi
mengakhiri dengan hati damai”.
Mendengar itu, saya
teringat pertanyaan para mahasiswa S3 Prodi Manajemen Pendidikan di Unesa, bagaimana
caranya agar tidak post power sindrom saat lengser dari jabatan. Memang sebagian besar mahasiswa S2 Prodi MP
adalah pejabat, misalnya kepala dinas, kepala sekolah, rektor PTS dan pembantu
direktur politeknik dan sebagainya. Saya
juga pernah mengatakan dengan kelakar, seharusnya setelah besuk lulus S3 mereka
promosi karena kemampuannya naik, yang kepala sekolah menjadi kepala dinas,
yang kepala dinas menjadi sekda, yang pembantu direktur menjadi direktur. Namun juga saya ingatkan jabatan itu tidak pernah
kekal, sehingga pada saatnya harus mengakhiri.
Moga-moga banyak
pejabat, termasuk mahasiswa S3 Prodi MP Unesa, melihat wawancara Pak Hatta
sehingga dapat belajar bagaimana dapat mengakhiri jabatannya. Saya menangkap uraian Pak Hatta sangat baik
dan perlu dijadikan panduan bagi mereka.
Ibarat orang naik bis, tentu tidak perlu semua menjadi sopir. Yang lebih
penting bukan siapa yang menjadi sopir adalah bis sampai pada tujuan dengan
selamat. Oleh karena itu, baik sopir
maupun penumpang harus memerankan diri sesuai dengan posisinya. Yang menyopir harus konsentrasi mengemudikan
bis, sedangkan yang menjadi penumpang harus tenang dan tidak mengrecoki sopir.
Mungkin filosofi
pendidikan dari Ki Hajar Dewantara “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso,
tut wuri handayani” tampaknya cocok juga sebagai pegangan. Artinya orang harus menyesuaikan dengan
posisinya, ketika di depan (mungkin sebagai pemimpin) haruslah menjadi teladan,
ketika ditengah-tengah (sebagai anggota/masyarakat biasa) harus mampu menumbuhkan
kemauan, dan jika di belakang (sebagai senior yang sudah selesai menjadi
pimpinan) harus mampu mendorong dan memotivasi orang lain. Berarti setelah lengser dari jabatannya,
pemimpin harus menempatkan diri pendamping dan pemotivasi yuniornya yang sedang
memimpin maupun yang sebagai anggota/masyarakat biasa.
Jabatan apapun pada
saatnya akan kita estafetkan pada pengganti.
Bukan karena adanya aturan yang membatasi masa jabatan, seperti presiden
selama 5 tahun dan maksimal 2 kali masa jabatan, tetapi juga karena kondisi
kita yang semakin tua. Direktur
perusahaan sendiripun pada saatnya harus mengestafetkan kepada orang lain,
karena ketika usia semaki tua tentu kita kita lagi cocok memegang jabatan itu.
Ketika seseorang tidak
lagi memegang jabatan tentu tidak akan mendapatkan fasilitas dan “penghormatan”
seperti ketika masih menjabat. Inilah
yang konon berat untuk diterima mantan pejabat.
Ketika masih menjadi pejabat, setiap datang akan dijemput oleh satpam,
pintu mobil dibukakan, tas dibawakan dan seterusnya. Ketika sudah lengser, saat datang tidak lagi
dilayani lagi. Bahkan sangat mungkin
staf yang baru tidak mengenal dan tidak menyapanya. Inilah yang harus diterima secara ikhlas
karena memang harus begitu secara alamiah dan kitapun pernah melakukan kepada
pejabat yang lebih senior.
Bagaimana menyiapkan
perasaan itu? Mungkin inilah yang tidak
terungkap dalam wawancara Pak Hatta. Namun rasanya dapat dipikirkan bagaimana
menyiasatinya. Salah satu cara adalah
menyadari dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari bahwa jabatan itu terkait
dengan tugas/pekerjaan, sementara sebagai manusia kita sama dengan yang
lainnya. Oleh karena itu sedapat
mungkin, walaupun sedang menjabat tetap berinteraksi dengan staf dan teman di
luar jabatan/pekerjaan. Di kampung kita
dapat berinteraksi dengan tetangga sebagai sesama warga kampung. Di kantor kita dapat ikut olahraga sebagai
sesama warga kantor, perlu makan bersama-sama dengan warga kantor tanpa membawa
jabatan, dan sebagainya. Dengan begitu
selama menjabat, kita memiliki kesempatan membiasakan diri berinteraksi dengan
teman sebagai manusia biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar