Suatu saat saya
ditanya siapa yang seharusnya memutuskan kurikulum mana yang digunakan di suatu
sekolah. Saat itu memang sedang ada
indikasi “pembangkangan” sekolah-sekolah di Propinsi Jawa Timur terhadap
kebijakan Mendikbud. Mendikbud
memutuskan sekolah yang baru satu semeser melaksanakan K-13 agar kembali ke
K-2004 (atau K-2006), sedangkan yang sudah melaksanakan selama 3 sementer,
diminta melanjutkan K-13. Saya tidak tahu
bagaimana prosesnya, tetapi koran memuat berita kalau Diknas Propinsi Jawa
Timur bersama-sama Diknas Kabupaten/Kota se Jawa Timur memutuskan kalau sekolah
di Jawa Timur akan melanjutkan K-13.
Setelah itu ada berita
kalau Mendikbud menyilahkan sekolah yang baru melaksanakan K-13 selama 1
semester dan ingin melanjutkannya, agar mengajukan permohonan kepada
Kemdikbud. Nanti Kemdikbud akan
memverifikasi apakah memang sekolah tersebut siap melaksanakan K-13. Saya tidak tahu apakah ada sekolah yang
mengajukan atau tidak. Jika ada apakah
ada verfikasi yang sungguh-sungguh atau tidak.
Yang saya baca di koran, semua sekolah di Jawa Timur yang baru
melaksanakan K-13 selama 1 semester kembali ke K-2004.
Nah, beberapa waktu
setelah itu saya bertemu dengan mantan Kepala SMA Swasta yang sangat terkenal
di Jawa Timur yang sekarang menjadi pengurus yayasannya. Bersama beliau ada
rombogan dan dua diantaranya “bule”. Nah”bule” yang pandai bahasa Indonesia itu
bertanya di Indonesia, siapa yang menentukan kurikulum mana yang harus
diterapkan di sebuah sekolah. Yang
bersangkutan melanjutkan pertanyaan, apakah betul Menteri yang menentukan?
Ternyata tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Secara substansial sebenarnya perbedaan K-13
dengan kurikulum sebelumnya tidak terlalu banyak. Saya sering mengatakan bahwa K-13 itu pada
pasarnya pelurusan dan penguatan kurikulum sebelumnya. Pelurusan itu tampak dari penekanan K-13 kepada
sikap yang dimuat dalam kompetensi ini (KI), KI-1 terkait dengan sikap
spiritual dan KI-2 terkait dengan sikap sosial.
Saya sebut pelurusan, karena pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan bahwa
tujuan pendidikan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Bukankah dari
delapan aspek tersebut, lima diantaranya merupakan sikap spiritual dan sikap
sosial.
Saya sebut penguatan, karena K-13 mengamanatkan agar pembelajaran
di SD menggunakan tematik dan proses pembelajaran untuk semua jenjang
mengggunakan pendekatan ilmiah. Pada
K-2006 pemerintah sudah mengintroduksi pola tematik pada SD Kelas 1 sampai
Kelas 3. Jadi kalau pada K-13 dilanjutkan sampau Kelas 6 tentu sudah didasarkan
atas evaluasi implementasi yang di Kelas 1 s.d 3. Saya termasuk yang mendukung pola tematik di
jenjang SD, karena berdasar pengalaman ikut merintis SAIMS (Sekolah Alam Insan
Mulia Surabaya) yang sejak berdiri (tahun 2000) menerapkan pola tematik,
ternyata pola itu sangat bagus.
Pendekatan ilmiah yang dikenal dengan 5 M (mengamati- menalar-mempertanyakan-
mencoba-mengkomuniasikan) sebenarnya hanyalah istilah baru dari Pendekatan
Keterampilan Proses (PKP) yang sudah diamanatkan sejak Kurikulum 1975. PKP yang isinya (observasi – klasifikasi – inferensi
– prediksi – mempertanyakan - merumuskan hipotesis-melaksa-nakan percobaan - menggunakan
alat - menerapkan konsep - berkomunikasi).
Kalau kita bandingkan pendekatan ilmiah dan PKP identik. Jadi penerapan pendekatan ilmiah pada K-13
sebenarya hanya penguatan dari PKP yang telah diamanatkan ole kurikulum
sebelumnya sejak 1975.
Nah, jika secara substansi K-13 tidak berbeda dengan K-2006
mengapa ada keharusan menerapkan K-2013 bagi sekolah tertentu dan K-2006 bagi
sekolah yang lain? Itulah yang justru
saya pikirkan. Kalau toh memang K-13
disebut sebagai penyempurnaan K-2006, bukankah sekolah, khususnya para guru
yang lebih dapat merasakan. Jika untuk
melaksanakan K-13 diperlukan kemampuan atau persyaratan tertentu, bukankah
sekolah dan pada guru yang lebih mengetahui kesiapan itu.
Tampaknya Kemdikbud belum dapat mempercayai sekolah dan guru
untuk menentukan kurikulum mana yang paling baik atau paling siap
dilaksanakan. Oleh karena itu
Kemdikbudlah yang menentukan.
Saya jadi teringat tulisan Ibtisan Abu-Duhou (1999) yang
mengatakan peningakatan hasil belajar siswa banyak ditentukan oleh inovasi
pembelajaran yang dilakukan guru. Dan guru
baru dapat melakukan inovasi jika diberi kepercayaan oleh atasanya. Bukankah pengakuan guru sebagai profesi
mengandung arti guru memiliki kemandirian bagaimana melaksanakan tugasnya dalam
mengelola pembelajaran.
Bukankah dalam pendidikan harus ditumbuhkan mempercayai
siswa, karena dengan diberi kepercayaan siswa akan bekerja dengan penuh percaya
diri, mengembangkan kreativitas dan pada ujungnya menumbuhkan kedewasaan dalam
mengambil keputusan. Tampaknya kita harus
segera menumbuhkan saling percaya antara pemerintah (pusat-propinsi-kab/kota)
dengan sekolah, antara kepada sekolah dengan guru, dan antara guru dengan
murid. Tanpa adanya saling percaya yang
terjadi adalah mengerdilkan sekolah menjadi “lembaga tukang”, artinya
sekolah/guru hanya sekedar mengerjakan sesuatu yang ditentukan bahkan dituntut
dari atas. Dan jika itu terus terjadi,
dapat difahami jika proses pedidikan tidak berjalan secara kreatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar