Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) merupakan istilah yang sangat populer di kalangan guru. Ketika ada pelatihan guru, PTK selalu menjadi
salah matalatih. Saat PLPG (Pendidikan
dan Pelatihan Profesi Guru) PTK juga menjadi salah satu mata pelajaran. Dalam PPG (Pendidikan Profesi Guru), PTK juga
menjadi satu topik. Oleh karena itu saya yakin sebagian besar guru kita
mengenal dan bahkan pernah melakukannya.
Saya termasuk orang
yang mendorong guru melakukan PTK sebagai bagian dari kegiatan
sehari-hari. PTK yang terdiri dari
tahapan desain-pelaksanaan-refleksi dan diulang menjadi
redesain-pelaksanaan-refleksi dan seterusnya, merupakan upaya secara terus
menerus dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Jika itu dilaksanakan secara terus menerus
dan secara sungguh-sungguh saya yakin kualitas pembelajaran akan semakin baik.
Sayangnya seringkali
PTK direduksi menjadi proyek penelitian untuk mendapatkan kredit point atau
sekedar untuk mendapatkan dana penelitian.
Akibatnya PTK kehilangan esensi pokoknya, yaitu menjadi upaya terus
menerus memperbaiki mutu pembelajaran.
Bahkan seringkali tahapan refleksi yang menjadi tahapan sangat penting
kurang mendapatkan perhatian. Tahapan
redesain (perencanaan ulang pada tahap berikutnya) seringkali tidak didasarkan
analisis yang mendalam. Ibarat dalam
dunia kedokteran, seringkali pemberian obat (analogi dari redesain) tidak
didasarkan atas diagnosa (analogi refleksi) yang baik.
Banyak teman bertanya,
berapa siklus sebaiknya PTK dilakukan.
Menurut saya, jika PTK difahami sebagai upaya terus menerus untuk
memperbaiki mutu pembelajaran (continous
improvement), maka jumlah siklus tidak terbatas. Mengapa?
Karena situasi belajar selalu berubah.
Topik yang dipelajari berubah dan situasi kelas juga selalu berubah. Oleh karena itu sangat wajar kalau akan
selalu ada yang perlu disempurnakan dari waktu ke waktu. Bukan berarti tidak dapat ditemukan pola
pembelajaran yang ideal, tetapi pastilah selalu diperlukan penyesuaian karena
situasi dan topiknya berbeda.
Kalau begitu kapan PTK
selesai. Idealnya PTK tidak pernah
selesai. Namun kita harus juga faham
kalau diperlukan juga sebuah laporan dari suatu penelitian. Kalau keperluannya itu maka dapat diambil
beberapa siklus tertentu dan disusun laporannya. Siklus mana yang diambil dan berapa jumlah
siklusnya tentu mereka yang melakukan yang paling tahu. Mungkin diambil siklus yang aling signifikan
temuannya.
Keluhan yang juga
sering diungkap oleh teman-teman guru adalah format laporan yang dianggap
terlalu ruwet, sehingga menyita waktu banyak untuk membuatnya. Bahkan ada yang mengatakan aspek
administrasnya justru lebih banyak dibanding substansinya, sehingga membuat
para guru kehilangan waktu untuk menunaikan tugas pokoknya yaitu melaksanakan
pembelajaran.
Untuk itu mungkin
dapat dipertimbangkan model Catatan Guru (CG) untuk kegiatan sehari-hari. CG atau Teacher Note sudah dilakukan di
beberapa sekolah/daerah. CG merupakan
catatan guru dalam mengajar sehari-hari.
Guru punya buku catatan yang mencatan singkat apa yang dilakukan saat
mengajar, bagaimana respons siswa dan bagaimana hasil belajarnya. Mungkin berupa tulisan tangan dan hanya ¼ halaman
buku tulis biasa. Namun kalau itu selalu
dilakukan selesai mengajar dan kemudian dilakuka refleksi mendalam “mengapa itu
terjadi” untuk menemukan ide perbaikan untuk diterapkan minggu berikutnya, maka
CG tidak jauh berbeda secara esensial dengan PTK. Bedanya CG tidak telalu dibebani format yang “rumit”,
sehingga dapat dilakukan dengan lebih mudah.
Jika catatan dalam CG
itu kemudian dibahas dengan rekan guru lain maka refleksi akan menjadi lebih
bagus. Di sekolah/daerah lain, CG itu
menjadi bahasan dalam MGMP/KKG tingkat sekolah yang dilakukan setiap
minggu. Dengan demikian, setiap guru
menerima masukan dari teman guru lain, sehingga refleksi menjadi lebih
mendalam. Konon para dokter itu selalu
mendapat second opinion dari
melakukan tindakan peting terhadap pasien.
Bukankah guru sebaiknya seperti itu bagi teman guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar