Beberapa waktu lalu
saya diundang oleh KNIU (Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco). Dalam rapat selama 2 hari itu dibahas
bagaimana memasukkan EsfD (Education for Sustainable Development) dalam
pendidikan di Indonesia. Sebenarnya ini
bukan program baru, seingat saya pada tahun 2009an PR1 UGM yang kebetulan
isteri Mendiknas (Prof Bambang Sudibyo) pernah menyampaikan dalam sebuah forum
kajian di Jakarta. Mungkin pelaksanaan
EfSD dianggap kurang efektif, sehingga KNIU memikirkan bagaimana agar guru
faham akan pentingnya EfSD dan bahkan merasa harus memasukannya dalam
pembelajaran yang dia ampu. Bahkan KNIU
ingin agar LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/ penghasil guru)
memasukkan EfSD dalam pendidikannya, sehingga setiap calon guru sudah faham
tentang EfSD dan akan memasukan dalam pendidikan yang besuk dia bina. Nah, dalam diskusi itu muncul pikiranagar
EfSD menjadi matakuliah.
Mendengar usulan itu,
saya teringat serangkaian diskusi saya dengan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga
Berencana-saya lupa nama terbarunya) Jawa Timur sekitar 3 tahun lalu. Saat itu Prof Fasli Jalal menjadi Kepala
BKKBN Jakarta. Saya diminta untuk
membantu bagaimana “menghidupkan kembali” BKKBN yang “mati suri” dan untuk
memudahkan operasional saya diminta berkomunikasi dengan BKKBN Jawa Timur. Jadilah serangkaian diskusi dengan
teman-teman di BKKBN Jawa Timur. Nah,
dalam diskusi itu muncul keinginan bagaimana caranya agar KB menjadi matakuliah
atau bahkan menjadi program studi. Juga
diusulkan agar di Unesa ada UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) KB dan BKKBN Jawa
Timur akan membantu pendanaan UKM KB tersebut.
Itulah salah satu
gambaran paradoks kurikulum di Indonesia.
Di satu sisi banyak orang mengatakan kurikulum kita terlal berat, namun
di pihak lain banyak pihak yang ingin “menitipkan” program atau konsep yang
dianggap penting ke dalam pendidikan. Seingat saya tidak hanya EfSD dan KB yang
ingin masuk ke kurikulum, tetapi juga tentang bahaya narkoba, lalu lintas,
lingkungan hidup dan sebagainya. Jadi
jika ada program penting di tingkat nasional, pejabat yang bertanggung jawab
terhadap program tersebut ingin programnya masuk dalam pendidikan.
Pada universitas
bahkan lebih unik. Jika ada dosen yang
baru selesai menempuh program doktor dan penelitian disertasinya terkait dengan
bidang ilmu baru, maka setelah pulang yang bersangkutan ingin bidang kajian
tersebut menjadi matakuliah. Alasannya
bidang tersebut sangat penting dan akan berperan banyak di masa mendatang. Oleh karena itu kita tidak perlu kaget jika
seringkali di suatu program studi muncul matakuliah baru (biasanya matakuliah
pilihan).
Bahwa program nasional
atau bidang yang diteliti oleh calon doktor itu penting, rasanya kita dapat
mengerti dan bahkan menyetujui. Tidak
mungkin menjadi program nasional dan tidak mungkin menjadi topik penelitian
jika itu tidak penting. Tetapi apakah
itu harus masuk dalam kurikulum atau bahkan menjadi matapelajaran atau
matakuliah. Saya jadi teringat dialog
antara Direktur The Napa New High School di California dengan tamunya Mr. Zheng
dari China. Mr Zheng bertanya dimana
kreativitas dan inovasi diajarkan dalam kurikulum. Direktur sekolah tersebut (Mr.
Paul) menjawab, bahwa hal itu tidak ada dalam kurikulum. Tetapi kreativitas dan inovasi itu ada dalam
udara yang dihirup dan air yang diminum.
Dengan kata lain kreativitas dan inovasi menjadi budaya sekolah yang
diikuti dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh komponen sekolah.
Dengan demikian sebenarnya
program penting pemerintah dan bidang ilmu penting tersebut tidak harus menjadi
matapelajaran dan matakuliah, tetapi menjadi budaya sekolah. Apa budaya sekolah itu bagian dari
kurikulum? Dapat ya, dapat tidak. Jika kurikulum difahami sebagai daftar
matapelajaran atay daftar matakuliah tentu tidak. Tetapi jika kurikulum adalah skenario
pendidikan dilaksanakan, mulai apa kompetensi yang ingin dihasilkan (biasa
disebut dengan kompetesi lulusan, bagaimana kompetensi itu ditumbuhkembangkan
(biasa disebut proses pendidikan), apa yang perlu dipelajari oleh anak-anak
(biasa disebut matapelajaran/ makakuliah) dan bagaimana cara mengecek
ketercapaian kompetensi yang diharapkan (biasa disebut evaluasi hasil), maka
budaya sekolah termasuk kurikulum.
Bukankah proses
belajar terjadi kapan saja dan dimana saja?
Bukankah anak-anak justru lebih belajar dari apa yang dilihat dan apa
yang dirasakan? Jika sekolah itu bersih
dan tertib tentu siswa/mahasiswa baru akan terbawa untuk mengikutinya. Jika guru/dosen banyak menulis tentu
siswa/mahasiswa akan menyontohnya. Jika
setiap guru/dosen menyisipkan pemikiran EfSD dalam setiap aktivitasnya dan
sekolah/universitas menerapka prinsip EfSD dalam setiap programnya, tentu
siswa/mahasiswa mengiternalisasi EfSD walaupun tidak ada matakuliah EfSD. Jadi yang penting bukan menjadi matapelajaran
atau matakuliah, tetapi menjadi norma/prinsip kehidupan/budaya sekolah,
sehingga setiap aktvivitas di sekolah/kampus selalu memperhatikan itu. Lebih kerennya menjadi “ruh” setiap aktivitas
warga sekolaj/warga kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar