Tanggal 21-25 Mei 2015
untuk pertama kalinya saya berkunjung ke Iran.
Begitu mendapat informasi kalau konferensi internasional Asaihl
dilaksanakan di Iran, saya berusaha untuk dapat berangkat. Bukan karena konferensinya, tetapi sangat
ingin tahu seperti apa negara Iran.
Negara yang diembargo dunia Barat tetapi tidak bergeming dan bahkan
sekarang justru Amerika Serikat yang tampaknya ingin berbaik-baik dengan Iran. Negara yang “tertutup” tetapi teknologinya
cukup maju, sehingga ditakuti akan mampu mengembangkan senjata nuklir. Negara yang sering disebut negara para
mullah, tetapi sepanjang yang saya kenal melalui pertemuan di forum
internasiona, orangnya sangat intelek.
Intinya saya sangat penasaran untuk ingin melihat negara Iran.
Oleh karena itu, saya
berusaha mengirim makalah sebagai modal dapat berangkat ke Iran. Alhamdulillah, makalah yang berjudul Local
Wisdon as a Basis of Character Education diterima, sehingga saya dapat
berangkat ke Iran. Makalah itu saya susun berdasarkan penelitian Pemetaan
Karakter yang dilaksanakan pada tahun 2013 dengan biaya Balitbang Dikbud. Jujur saya harus berterima kasih kepada Dr
Yuni Sri Rahayu (sekarang sebagai PR 1 Unesa) dan Mas Haryanto, MS (pensiunan
karyawan Unesa), karena sepanjang pengetahuan saya kedua orang itu yang paling
banyak berkutat menyelesaikan penelitian tersebut.
Saya berangkat ke Iran
bersama Pak Rektor Unesa (Prof Warsono) dan Pak PR 4 (Pak Djodjok), menggunakan
penerbangan Emirat dan transit di Dubai.
Kami tiba di bandara Imam Komaini Teheran pukul 3.30 pagi. Betepatan
dengan adzan subuh saat kami antre pengecekan paspor. Pengecekan paspor dan pengambilan begasi
lancar.
Sambil antre
pengecekan paspor saya mengamati penumpang yang antre di jalur Iranian yang
berarti mereka itu warga negara Iran.
Pakaian mereka biasa saja, tidak seperti yang saya bayangkan. Yang laki-laki pakai celana, kaos atau baju,
jas atau jaket. Yang perempuan memakai
kerudung yang diubetkan sekenanya, sehingga sebagian rambutnya kelihatan. Saat pesawat landing saya melihat, penumpang
yang semula tidak berkerudung, mengambil kerudung dari tas dan mengenakan
sekenanya saja. Bahkan saat antre saya
melihat seorang ibu yang ketika transit di Dubai mengenakan kaos oblong
sekarang memakai jaket dengan kerudung sekenanya. Saya hafal, karena dia mengajar 2 orang
anaknya yang masih kecil-kecil dan selalu lari-lari. Simpulan saya cara berpakaian orang Iran
biasa saja, mirip orang Turki. Cara
berkerudung justru lebih “rapat atau rapi” orang Indonesia. Di dalam bandara saya tidak bertemu dengan
pria Iran yang memakai jubah dan baru ketemu ketika keluar dari bandara.
Panitia dari Islamic Azad
University sangat baik. Kami dijemput di
bandara dan diminta istirahat di hotek Axis sambil sarapan pagi serta menunggu
rombongan yang lain. Karena belum sholat
subuh, begitu masuk hotel saya bertanya kepada panitia dimana dapat sholat
subuh. Setelah dikomunikasikan dengan front office, kami disediakan 1 kamar
untuk sholat. Saya tidak tahu apakah hotel tidak punya mushola, sehingga kami
diminita sholat di kamar.
Menu sarapan juga sama
dengan hotel ditempat lain. Ada roti,
ada salat, ada buah, ada smacam bubur, ada craker dengan susu dan sebagainya. Yang saya kaget ada daging tipis-tipis dan
disebelahnya ada tulisan HAM. Saya tidak berani bertanya apakah itu dagung babi
atau daging sapi. Juga tidak tampak
makanan gaya Arab, seperti nasi birani dan daging yang dimasak khas itu. Apakah makanan Iran memang tidak seperti
makanan Arab, saya tidak berani bertanya.
Namun dengan melihat cara berpakaian, cara berkomunikasi dan makanan,
saya menduga memang budaya Iran tidak sama dengan budya Arab.
Sekitar pukul 7 waktu
setempat kami berangkat ke Isafahan dengan naik bis yang disediakan oleh
panitia. Bisnya cukup bagus, dengan 3
kursi dalam satu baris. Satu kursi di
bagian kiri dan 2 kursi dibagian kanan.
Kursi juga dapat dicondongkan ke belakang dan punya sandaran kaki. Pokoknya bus ekskutif, walaupun tidak baru
kondisinya. Ada 2 orang panitia yang
ikut di bus. Keduanya masih muda dan mungkin mahasiswa. Satu laki-laki mengenakan jas tanpa dasi
seperti gaya orang Iran. Satu wanita
mengenakan celama jin, baju hitam berbunga-bunga dengan kerudung yang separug
rambut bagian depan kelihatan. Keduanya
tampan dan cantik.
Sepanjang perjalanan
saya dibuat heran. Kiri-kana jalan raya
berupa tanah kosong mirip padang pasir.
Sangat jarang ada tumbuhan.
Sedikit keluar kota kiri kanan jalan berupa gurung pasir yang
menampaknya tanda kalau hujan tidak banyak.
Memang kadang-kadang ada petak tanah yang ada tumbuhan, mirip padi
tetapi sangat sedikit dan saya melihat ada pipa di sekitarnya. Mungkin itu selang/pipa untuk menyiram
tumbuhan tadi. Memang ada lokasi yang
ditanami cemara setinggi kira-kira 3 meter dan tampaknya untuk daerah
wisata. Buktinya banyak orang yang
duduk-duduk di bawah pohon cemara itu dan ada yang menggelar semacam tikar
untuk duduk.
Melihta kondisi itu
saya jadi teringat tanah air yang selalu tampak hijau penuh dengan tumbuhan.
Rasa syukur segera muncul, karena dengan karunia hujan dan tanah yang subur itu
perjuangan hidup tidak harus sekeras orang Iran. Ketika itu saya sampaikan kepadi rekan dari
Medan, beliau nyeletuk, namun dengan kondisi itu orang kita jadi pemalas dan
tidak punya jiwa kerja keras. Betul juga
ya. Pertanyaannya, bagaimana menumbuhkan
semangat kerja keras agar kita mampu mengiola sumberdaya alam yang melimpah di
tanah air. Mungkin tugas penting kita
semua. Kondiri keterpaksaan semu mungkin
perlu diciptakan untuk mnumbuhkan daya juang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar