Tanggal 29 Nopember
ini saya berkesempatan mengunjungi teman-teman guru TK yang mengikuti PLPG di
UNM Makasar. Hari itu kegiatannya peer
teaching. Jadi para guru itu sedang mencoba
menerapkan bekal yang diberikan para instruktur untuk mengajar dan kali itu
mengajar teman-temannya sesama peserta PLPG.
Jadi ada yang beperan sebagai guru dan lainnya berperan sebagai murid.
Yang tampil sebagai
guru, seorang guru TK dari sebah TK Swasta dari Kabupaten Gowa. Beliau mengajari muridnya menggunting gambar
mobil, gambar bunga dan beberapa gambar lain.
Setelah itu ditempelkan pada bulatan di sebuah kertas. Guru yang berperan sebagai murid, ya
menggunting gambar yang dibagikan dan menempelkan pada kertas, sebagaimana
diminta oleh gurunya. Saya amati, semua
kertas itu fotocopi-an, menempel dengan lem glue.
Setelah selesai, saya
bertanya kepada ibu yang berperan sebagai guru, tentang apa KD (kompetensi
dasar) yang ingin dicapai melalui kegiatan tersebut. Beliau dengan tegas menyebutkan untuk
mengembangkan motorik halus dan koordinasi antara mata dengan tangan. Teman-temannya yang berperan sebagai murid
serempak mengamininya. Dalam hati, saya gembira karena guru faham KD yang ingin dikembangkan.
Setelah itu saya bertanya, apakah kegiatan seperti itu
juga dilakukan di TK tempat para peserta mengajar. Hampir serempak, para guru itu
mengiyakan. Sata bertanya lagi, jika di
lokasi TK itu tidak mudah mendapatkan gambar, lantas apa yang dilakukan? Nah, tampaknya guru-guru itu ragu-ragu untuk
menjawab. Setelah menunggu
beberapa saat, saya bertanya lagi, apakah ada cara lain untuk mengembangkan
motorik halus murid TK? Dapatkan yang
digunting bukan gambar, tetapi daun pisang?
Dapatkan bukan menggunting, tetapi melipat-lipat? Apakah jika siswa diminta membuat mainan dari
daun singkong juga dapat mengembangkan motorik halusnya?
Serentetan pertanyaan
itu sengaja saya luncurkan, dengan maksud menggugah pikiran teman-teman guru
bahwa di sekitar kita banyak bahan yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
motorik halus anak-anak. Bahan semacam
itu dikenal baik oleh anak-anak pedesaan.
Bahkan dengan memanfaatkan benda-benda itu, mungkin dapat merangsang
pikiran murid untuk melakukan di rumah untuk membuat mainan.
Selesai mengunjungi
rekan-rekan guru TK itu, saya jadi teringat fenomena banyak teman-teman kita
yang sangat senang, bahkan terlihat bangga ketika makan buah kalengan. Ketika ada arisan di keluarga “kelas atas”
seringkali buah kalengan menjadi suguhan yang selalu muncul. Saya juga sering mengamati anak-anak muda
yang nongkrong di McDonald atau KFC.
Apa itu salah? Tentu tidak.
Namun, orang-orang Barat makan buah kalengan karena sulit mendapatkan
buah itu dalam bentuk segar di sana.
Coba kita lihat, yang dijadikan buah kalengan pada umumnya buah-buahan
dari daerah tropis,yang tidak tumbuh di daerah dingin. Lha, kita yang punya buah segar malah makan
buah kalengan.
Orang Barat makan
McDonald, misalnya burger, biasanya sambil tergesa-gesa. Oleh karena itu, sudah menjadi pemandangan
sehari-hari jika ada orang makan burger sambil naik kereta, tram atau bus. Atau bahkan sambil berjalan. Di stasiun kereta atau tram banyak penjual
burger yang “take away” karena pembeli akan makan itu sambil naik kereta atau
tram. Namanya juga fast food, jadi ya
disajikan dengan cepat dan dimakan dengan cepat. Lha, di Indonesia kita makan burger sambil
nongkrong.
Lantas, apa
hubungannya denga guru TK yang mengajari siswanya menggunting gambar ntuk
mengebangkan motorik halus siswa? Seringkali
kita pengin tampil seperti “bule”, pakai celana jin, pakai jaket yang ada
penutup kepala, makan burger, makan buah kalengan, menggunting kertas, pada hal
itu dilakukan dengan tujuan tertentu atau karena kondisi disana. Kondisi kita jauh berbeda, tetapi kita toh
meniru tanpa mencerna kenapa itu dilakukan.
Guru TK di Barat tidak
punya daun pisang, tidak punya daun singkong, tidak punya endut (tanah liat
yang lunak). Oleh karena itu, mereka
menggunakan kertas untuk digunting dan dilipat-lipat, menggunakan plastisin
untuk membuat berbagai bentuk dan sebagainya.
Nah, kita punya semuanya tetapi meniru “bule” yang tidak punya apa-apa.
Meniru boleh-boleh
saja, tetapi sebaiknya tahu apa tujuannya.
Jika tahu tujuannya dan itu diyakini baik, mungkin kita dapat melakukan
dengan cara lain, yang sesuai dengan kondisi lingkungan kita. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar