Sambil nyopir kemarin
malam saya mendengarkan Radio Suara Muslim.
Saya tidak tahu nama acaranya, tetapi yang menjadi narasumber Ir.
Misbahul Huda, MBA, seorang pengusaha muda sukses yang juga seorang ustad. Jalanan sudah agak sepi, karena sudah pukul
21.30am, sehingga saya dapat mengemudi dengan santai sambil mendengarkan radio
dengan acara sangat inspiratif.
Topik yang dibahas,
sepertinya tentang spiritualitas dan ritualitas. Mas Huda mengatakan banyak masyarakat sangat
intens dalam ibadah ritual atau biasa disebut ibadah mahdhah, tetapi kurang
perhatian kepada hal-hal yang bersifat muamalah atau ibadah sosial. Mas Huda memberi contoh, banyak orang yang sangat
rajin sholat dan puasa, namun malas bekerja dan kurang memperhatikan lingkungan
sekitarnya. Pada hal bekerja keras
dengan niat ibadah tidak kurang maknanya.
Sambil “promosi”, Mas Huda menyebutkan kelima bukunya dimaksudkan untuk
mendorong pembaca menyeimbangkan antara ritual dan spiritual. Beliau menyebutkan buku pertama yang berjudul
‘Mission Possible” dimaksudkan sebagai contoh bagaimana spritualitas bekerja. Saya tidak ingat nama buku yang lain, yang
saya ingat Mas Huda mengatakan buku berikutnya dimaksudkan untuk berbagai
bagaimana spiritualitas dalam kepemimpinan dan dalam pendidikan.
Mencoba mencerna
uraian Mas Huda, saya jadi teringat apa yang disampaikan oleh Pak Roem Rowi,
guru besar UIN Sunan Ampel yang juga tokoh di masjid Al Akbar. Pak Roem bercerita ada orang yang
tergesa-gesa ingin sholat Jum’at. Oleh
karena itu, naik motor dengan ngebut meliuk-liuk, membunyikan klakson
berkali-kali. Yang penting dapat sampai
di masjid dengan cepat dan mendapat shaft paling depan, namun tidak peduli apakah
menyenggol kiri-kanan. Yang penting
dapat melaksanakan ibadah mahdhah dengan baik, namun seringkali meninggalkan
hal-hal yang bersifat muamalah. Pak Roem
sering bekelakar, kita cenderung ini masuk surga sendirian dan tidak ingin
mengajak teman lain.
Mungkin pendapat Pak
Roem cocok dengan keanehan di sekitar kita.
Banyak orang yang setiap tahun pergi umrah, namun kurang peduli terhadap
kemiskinan yang ada di sekitarnya. Seringkali saya juga berpikir, ketika masjid
sudah cukup banyak di sekitar kita, dan kita ingin beramal, apakah membangun mushola
atau masjid lagi atau kita membangun sekolah atau aktivitas yang bermanfaat
bagi masyarakat? Atau bahkan menyantuni
orang-orang yang kesulitan makan di pinggri jalan.
Pertanyaan yang
muncul, mengapa fenomena seperti itu banyak terjadi? Dikaitkan dengan pendidikan, saya teringat
sinyalemen Pak Kadir Baradja. Menurut
Pak Kadir, pendidikan agama yang selama ini berjalan di sekolah, cenderung
merupakan pendidikan pengetahuan agama dan belum sampai pendidikan beragama. Pendidikan agama cenderung mengarahkan untuk
faham hukum ini dan itu, tetapi kurang menyentuh pelaksanaanya dalam kehidupan
sehari-hari. Ibadah yang ditekankan juga
ibadah ritual dan kurang menyentuh ibadah yang berdampak sosial.
Sepertinya pendapat
tiga tokoh tersebut saling terkait. Sepertinya
kita perlu memperbaiki pendidikan kita, baik pendidikan agama di sekolah, di
masjid/mushola, maupun di rumah tangga.
Kita juga perlu memperhatikan ibadah yang berdampak kepada masyarakat,
sehingga masyarakat merasakan manfaat dari keberagamaan kita. Bukankah kita diingatkan kalau tidak
memperhatikan orang miskin, jangan-jangan kita termasuk orang yang mendustakan
agama.
Nah ketika mencoba
memahami tausiah tiga tokoh itu, saya jadi teringat silang pendapat tentang
terplihnya Norwegia sebagai negara dengan penduduk paling bahagia di
dunia. Koran maupun radio memuat
bagaimana banyak pihak saling berbeda pandangan terhadap hasil penilaian badan
PBB itu. Sebagaimana kita ketahui,
Norwegia adalah negara di Skandinavia dan berada di “ujung utara” bumi. Konon negara yang masyarakatnya banyak yang “tidak
beragama”, tetapi mengapa mereka bahagia?
Sangat mungkin lembaga
yang melakukan penilaian itu hanya melihat aspek kebahagiaan duniawi. Misalnya dari pendapatan per kapita, jaminan
sosial, layanan pemerintah, keamanan dan sebagainya. Namun kalau direnungkan, pelaksanaan
aspek-aspek tersebut akan sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat dan
pelaksana pemerintahan. Artinya pelaksana pemerintahan dan masyarakat di
Norwegia sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Nah, bukankah hal seperti itu yang dirisaukan
oleh Pak Roem, Mas Huda dan Pak Kadir Baradja?
Jangan-jangan Indonesia belum masuk ke jajaran negara dengan penduduk
bahagia karena kita kurang memperhatikan ibadah sosial. Mari kita renungkan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar