Ketika awal Februasi
lalu menulis tentang Permen Ristek Dikti nomor 20 Tahun 2017, saya tidak
membayangkan akan seheboh ini jadinya.
Memang saya juga mempertanyakan apakah ketika menyusun permen itu,
teman-teman di Ristek Dikti sudah memikirkan kondisi perguruan tinggi di
Indonesia dan tidak sekedar membandingkan jumlah publikasi para dosen kita
dengan rekannya di negara lain. Bahkan
saya juga mencantumkan kekurangseimbangan ketersediaan jurnal nasional
terakreditasi dengan jumlah Lektor Kepala yang wajib memasukkan artikelnya ke
jurnal itu.
Namun sekarang heboh
bukan main. Dari beberapa pimpinan
perguruan tinggi yang saya temui, informasi heboh itu terjadi hampir di semua
perguruan tinggi. Ada yang mendukung,
misalnya rekan dari ITS melalui artikel opini di Jawa Pos. Namun sangat banyak
yang mempertanyakan rasionalnya. Bahkan
kemudian di viral muncul surat terbuka dari beberapa dosen PTN yang “menggugat”
permen itu. Terakhir muncul pernyataan
dari Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Bahan Hukum (PTN-BH), yang intinya
juga tidak setuju dengan permen itu.
Koran juga memuat komentar Komisi X DPR yang mempertanyakan Permen
Ristek Dikti tersebut.
Secara pribadi saya
memahami kerisaukan Menteri Ristek Dikti tentang rendahnya jumlah publikasi
para dosen dan peneliti kita. Bahkan hal
itu sudah sering didiskusikan sejak tahun 2010 ketika Pak Djoko Santosa menjadi
Dirjen Dikti. Hanya saja, ibarat dokter diagnosa
kita terhadap gejala rendahnya publikasi itu kurang komprehensif sehingga obat
yang disodorkan juga kurang tepat.
Betulkah rendahnya
publikasi itu karena dosen kita malas, sehingga harus dipaksa dengan ancaman
pemotongan tunjangan profesi bagi lektor kepala dan pemotongan tunjangan
kehormatan bagi guru besar? Apakah kita
menganut teori X dari McGregor yang menganggap semua orang itu malas, sehingga
harus diawasi dan diancam? Bukahkah para
pejabat di Kem Ristek Dikti banyak yang berasal dari perguruan tinggi yang
tentu faham kondisi perguruan tinggi kita?
Memang pada umumnya mereka itu berasal dari perguruan tinggi besar,
namun bukankah sudah sering berkunjung ke perguruan tinggi “kecil”, sehingga
dapat membayangkannya?
Saya ingin sedikit
berbagi pengalaman saya berdiskusi dengan beberapa teman di ITB-Bremen
University, ketika tahun lalu melaksanakan penelitian bersama selama 2 bulan di
sana. Teman dosen di Bremen yang
beberapa kali tinggal di Indonesia mengatakan, iklim penelitian di Indonesia
tidak tumbuh dengan baik, karena dosen harus sibuk mengajar, gajinya masih
kecil dan sarana laboratorium yang sangat terbatas. Oleh karena itu, dia senang
sekali ketika saya berkesempatan penelitian disana.
Mendapat ungkapan
seperti itu saya hanya dapat manggut-manggut.
Mau membatah? Dia tahu persis
kondisi dosen kita, karena sudah beberapa kali ke Indonesia dan bahkan pernah
hampir 1 tahun penuh menjadi dosen tamu.
Saya hanya dapat membayangkan bagaimana pontang-pantingnya dosen di
perguruan tinggi yang sarana penelitiannya sangat terbatas, referensi terbatas
dan dana penelitian juga terbatas harus menghasilkan publikasi di jurnal
nasional atau bahkan jurnal internasional bereputasi.
Bahwa akhir-akhir ini
jumlah publikasi kita meningkat tajam memang betul, tetapi tidak serta merta itu
dapat dijadikan dasar untuk “memaksa” dosen lektor kepala dan guru besar
menghasilkan publikasi berkualitas. Saya
tidak punya data, dosen dari mana saja yang saat ini sudah menghasilkan
publikasi di jurnal internasional bereputasi.
Namun saya menduga mereka itu, para dosen yang baru menyelesaikan S3
yang diwajibkan punya artikel di jurnal internasional dan dosen di perguruan
tinggi yang memiliki sarana penelitian memadai.
Apakah biaya
penelitian yang disediakan oleh Kem Ristekdikti dan perguruan tinggi setempat
belum cukup? Jujur saya tidak tahu
pasti. Namun kalau dihitung secara kasar,
kita punya sekitar 5.000 guru besar dan sekitar 31.000 lektor kepala, jadi
jumlah mereka yang mestinya melakukan penelitian dengan baik agar dapat menghasilkan
artikel berkualitas ada 36.000 orang.
Jika setiap orang memerlukan dana 100 juta/tahun, maka diperlukan
anggaran penelitian sebesar 36.000 x 100.000.000 = 3.600.000.000.000 atau 3,6
trilyun. Betulkah kita punya anggaran
itu? Pada hal untuk bidang tertentu,
dana 100 juta sering tidak cukup untuk penelitian yang bermutu baik. Oleh karena saya memahami ketika Senat PTN-BH
meminta pemerintah menyediakan anggaran penelitian cukup sebelum memaksa dosen
menghasilkan publikasi bermutu. Tentu
disamping itu, sarana penelitian perlu mendapat perhatian serius.
Lantas, apakah tidak
ada jalan untuk meningkatkan publikasi kita?
Tentu selalu ada jalan, namun “moto” Jawa Timur tampakya cocok untuk
digunakan sebagai pegangan, yaitu “jer basuki mowo bea”. Artinya untuk mencapai sesuatu yang baik
memang perlu biaya. Kerja keras, kerja
cerdas dan kerja ikhlas memang penting, tetapi jika fasilitas baru minimal
tentu sulit mendapatkan hasil yang sangat baik.
Konon di Surabaya sering digunakan ungkapan dalam bahasa Jawa “numpak
becak satus njaluk slamet” (naik becak dengan ongkos seratus rupiah minta
aman), itulah yang tergambar pada implementasi Permen Ristek Dikti no
20/2017. Semoga kita bijak dalam
menyikapinya.
2 komentar:
Assalamu'alaikum Bapak Muchlas Samani.
Saya Adri Yasper, Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Andalas.
Saya sangat berterimakasi dengan informasi yang ada di Blog Bapak, dan saya sangat tertarik dengan Credit Earning, terutama di luar negri.
Saya Ingin tau bagaimana cara agar bisa Credit Earning di luar negri pak, kiranya bapak bisa memberikan informasi.
Wasslam
Mudah mas, Mas Adri dapat bertanya ke Univ Andalas, perguruan tinggi mana yang diakui sbg tempat mengikuti credit earning. Misalnya univ A,B, C,......Z. Berikutnya dibuka web univ tersebut, mana yang membuka program unt international student, khususnya untuk non degre. Jika cocok, silahkan mulai melamar.
Semoga sukses ya.
wass
Posting Komentar