Sudah setahun ini saya
bingung dengan media kita, baik televisi maupun koran. Saya tidak merasa memiliki kapasitas untuk
menilai pemberitaan media dan bahkan seringkali saya tidak faham tentang
bagaimana media mengelola pemberitaannya.
Namun ijinkan sebagai guru saya berkeluh kesah.
Saya tidak ingat lagi,
mulai kapan media kita partisan. Apakah akhir-akhir ini atau sejak dahulu. Namun saya merasa akhir-akhir ini
keberpihakan itu sangat kental dan bahkan fulgar. Apalagi dalam urusan politik. Kalau saya menonton berita pada televisi “A”
sudah dapat ditebak apa isinya, menonjolkan sesuatu dan bahkan menjelekan
sesuatu yang lain. Demikian pula
televisi “B”. Seakan-akan kita sudah
tahu, kalau ingin mendapat berita yang condong ke kiri tontonlah televisi “A”
dan sebaliknya jika ingin mendapat berita yang ke kana, tontolah televisi “B”,
kalau ingin mendapat berita yang condong ke depan tontonlah televisi “C” dan
seterusnya.
Bagaimana dengan
koran? Tidak jauh berbeda. Bahkan gambar
pada halaman depanpun sudah dapat ditebak.
Ketika ada suatu peristiwa, perbedaan gambar yang ditampilkan sangat
mencolok. Koran “X” menampilkan gambar
sisi positifnya, sedangkan koran “B” menampilkan gambar sisi negatifnya. Bahkan koran yang dahulu “netral” sekarang
terasa partisannya. Memang cara pemberitaannya relatif lebih sopan. Namun masih terasa ketidakseimbangannya. Berita yang kepentingannya ditonjolkan,
sementara berita imbangannya sangat sedikit.
Ketika naik pesawat dan di pintu masuk disediakan beberapa jenis koran,
saya seringkali mengambil dua buah dan keberpihakannya berbeda. Dan segera menermukan perbedaan itu.
Mengapa begitu
ya? Mohon para ahli menganalisis. Mungkin bagus juga untuk sebuah
penelitian. Apakah karena di negeri ini
terjadi polarisasi yang hebat, sehingga semua orang terbawa? Apakah karena bos koran dan televisi banyak
yang terjun ke politik? Apakah itu kepentingan bisnis? Apakah media dikooptasi
oleh pihak-pihak tertentu? Mengapa? Mengapa?
Merenungkan itu, saya
teringat pengalaman pada tahun 1980an.
Saat ini sebagai dosen muda, saya diminta menjadi asisten dalam sebuah
pelatihan. Ketika dosen tamu dari FSU
sudah selesai memberikan kuliah, saya diminta untuk menjelaskan beberapa
bagian. Salah satu bagian yang harus
saya jelaskan adalah posisi ilmu pengetahuan dalam sosial kemasyarakatan. Dengan semangat menjelaskan bahwa posisi ilmu
pengetahuan haruslah netral, sehingga dapat menjelaskan fenomena yang ada dan
sekaligus memecahkan masalah yang terjadi.
Seorang dosen muda yang lebih senior dari saya dan kebetulan ikut
pelatihan mengingatkan, kenetralan seperti itu hanya ada di teori. Ilmu
pengetahuan memang netral, tetapi “si pengguna” tidak netral, karena memiliki
kepentingan.
Apakah seperti itu
yang terjadi saat ini? Media yang
seharusnya netral ternyata berpihak, karena di pengelola media punya
kepentingan. Saya juga teringat ada
seorang teman aktivis yang mengritik temannya sesama aktvitas yang kemudian mengelola
sebuah koran. Teman aktivis itu mengatakan
temannya berubah ketika menjadi pengelola sebuah koran. Setelah mengelola koran, sifat aktivisnya
luntur dan menjadi orientasi bisnis.
Teman aktivis itu mengatakan kalau otak temannya sekarang dipenuhi oleh
pikiran bisnis yang hanya memikirkan uang.
Apakah sinyalemen
teman aktivis dan pendapat kawan dosen tahun 1980an itu dapat menjelaskan
fenomena pemberiataan di media saat ini?
Jujur saya tidak tahu. Namun sungguh
saya risau, karena dari media itulah masyarakat luas mendapatkan berita. Bukan tidak mungkin pendapat masyarakat
terbentuk oleh berita di media. Nah, jika demikian sangat kasihan masyarakat
yang “dicekoki” berita partisan dan akhirnya secara tidak disadari menjadi
partisan. Atau memang itu yang diharapkan
oleh di pembuat berita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar