Antusiasme masyarakat
menyambut Raja Salman dari Saudi Arabia menjadi bukti empirik bahwa sepanjang
namanya manusia tidak akan dapat lepas dari perasaan. Saya yakin ribuas masyarakat yang menyambut
Raja Salman itu tidak mengenal beliau, bahkan sangat mungkin banyak yang tahu
kalau raja Arab Saudi bernama Salman bin Abdul Aziz al Saud yang ketika beliau
datang ke Indonesia. Masyarakat, termasuk saya, juga baru tahu wajah beliau
yang ketika fotonya dimuat di TV dan koran.
Lantas, mengapa ribuan
masyarakat menyambut dengan antusias?
Mengapa hujan yang turun cukup deras tidak membuat masyarakat mundur
berteduh? Mengapa sambutan masyarakat
jauh melebihi ketika Obama dan kepala negara lainnya datang ke Indonesia? Teman-teman psikologi sosial yang mungkin
dapat menjelaskan secara ilmiah. Kalau saya
hanya dapat menduga, karena masyarakat yang beragama Islam punya “perasaan”
bahwa Raja Salman adalah kepala negara dimana Islam diturunkan, dimana terletak
ka’bah kiblat orang Islam sedunia melaksanakan sholat, dimana orang Islam akan
pergi ketika menjalankan rukun Islam kelima yaitu haji.
Saya bertanya kepada
beberapa teman apakah antusias melihat TV atau membaca koran tentang kedatangan
Raja Salman? Ternyata sebagian besar menyatakan
“ya”. Apakah teman-teman (yang beragama
Islam) punya perasaan seperti yang saya sebutkan di atas, ternyata “ya”. Jadi tampaknya, keterkaitan Raja Salman
dengan agama Islam (dengan berbagai kaitannya dengan Saudi Arabia) yang dianut
masyarakat menjadi salah satu pendorong msyarakat antusias menyambut kedatangan
beliau.
Apakah fenomena
seperti itu yang disebut ikatan primordial?
Apakah ikatan emosi semacam itu baik atau kurang baik? Apakah perasaan semacam itu hanya berlaku
bagi masyarakat kurang terdidik atau juga berlaku bagi mereka yang terdidik? Apakah itu menunjukkan masyarakat yang kurang
rasional atau sebaliknya tidak ada kaitan dengan rasionalitas? Jujur pertanyaan seperti itu yang saat ini
mengganjal di benak saya.
Ketika kita sedang di
negara lain dan mendengar orang berbicara tentang Indonesia, segera saja kita
tertarik. Ketika orang itu mengatakan
Indonesia itu baik, kita merasa senang.
Sebaliknya ketika orang itu membicarakan kejelekan Indonesia, kita
merasa marah. Apakah perasaan sepert itu
hanya terjadi bagi masyarakat yang kurang terdidik? Rasanya tidak. Para mahasiswa yang sedang menempuh S3 juga
punya perasaan seperti itu. Oleh karena
itu, saya yakin “manusia itu punya perasaan” dan perasaan dapat dan bahkan
selalu terkait dengan hal-hal yang diyakini, hal-hal yang terkait dengan
dirinya.
Pemahaman seperti itu,
yang belum tentu benar namun saya yakini, yang saya sampaikan kepada adik-adik
yang lebih muda dan kepada mahasiswa.
Apalagi mulai banyak yang mengatakan bahwa semua urusan sekarang
dilakukan dengan “sistem”, sehingga unsur perasaan dapat dihilangkan. Bahwa memang semakin banyak urusan yang
dilaksanakan dengan sistem secara otomatis, itu benar. Namun, pasti masih ada urusan yang tidak
dapat diselesaikan dengan sistem seperti itu.
Dan sepanjang yang saya tahu, urusan seperti itu justru bagian yang
sangat penting dan sangat menentukan.
Studi The Economist
yang disponsori oleh Google menyimpulkan ada sederet kompetensi penting di masa
depan. Dua kompetensi penting di lima teratas, adalah komunikasi dan kerjasama. Nah, bukankah dua kompetensi ini sangat
dipengaruhi oleh “manusia yang punya perasaan” dan bukan sekedar
intelektualistas? Bukankah kata orang,
kesuksesan orang lebih banyak dipengaruhi oleh EQ dan bukan IQ?. Jadi, boleh dan bahkan haruslah kita
meningkatkan rasionalitas, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, tetapi tetap
saja jangan lupa bahwa kita ini manusia yang akan selalu bekerjasama dengan
manusia lain, sehingga unsur perasaan punya pengaruh yang tidak kecil. Menjaga
perasaan orang lain dan meunumbuhkan perasaan kebersamaan akan menentukan bagi
interaksi antar manusia. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar