Akhir-akhir ini
diskursus tentang kemana arah pendidikan kembali marak. Sampai-sampai Balitbang Dikbud, sebagai
lembaga pemikir bidang pendidikan dan kebudayaan menyelenggarakan serangkaian
diskusi untuk membahasnya. Banyak
kalangan pendidikan, baik dari para akademisi maupun praktisi terlibat di
dalamnya. Prof Satryo Soemantri
Brodjonegoro, dosen ITB dan jga mantan Dirjen Pendidikan Tinggi, yang kini
menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan ditunjuk untuk mengomandani aktivitas
itu.
Seperti biasanya
diskusi berlangsung secara terbuka dan bahkan disambung secara virtual melalui
WA Group. Sungguh menarik
mengikutinya. Karena yang terlibat dalam
diskusi itu memiliki latar belakang sangat beragam, maka sudut pandang, pola pikir
dan cara berargumentasipun juga sangat beragam. Kemandirian masing-masing
peserta juga sangat terasa, sehingga forum itu menjadi ajang mengekspresikan
gagasan tanpa dibatasi ras ewuh-pakewuh.
Mengikuti diskusi
virtual itu, saya teringat tahapan berpikir yang diajukan pada pakar, dari
disciplinary mind - synthesizing mind - creative mind-respectiveful mind - ethical
mind. Pemikiran matang dalam bidang yang
ditekuni (disciplinary mind) itu penting tetapi tidak cukup, karena masalah
kehidupan sangat kompleks sehingga tidak dapat difahami dan dipecahkan dengan
hanya menggunakan satu disiplin ilmu.
Oleh karena itu diperlukan pola pikir multi disiplin, inter displine dan
transdisiplin, sehingga kita dapat mensintesikan berbagai disiplin ilmu untuk
memahami dan memecahkan masalah.
Synthesizing mind
bukan sekedar memandang masalah dengan dua atau lebih keahlian, bukan pula
sekedar menggabungkan dua atau ilmu bidang keahlian tetapi mensintesakan dua
atau lebih bidang keahlian sehingga menjadi suatu keutuhan pandangan dalam memahami
masalah. Dalam konteks inilah diperlukan
keterbukaan berpikir untuk menerima kerangka pikir bidang keahlian lain, yang
mungkin sangat berbeda bahkan berseberangan dengan bidang keahlian kita.
Apa synthesizing mind
cukup? Ternyata tidak. Untuk dapat
memecahkan masalah kehidupan dengan baik, diperlukan berpikir kreatif (creative
problem solving). Semakin kompleks
persoalan semakin perlu kreativitas untuk dapat menyelesaikannya. Tentu kreativitas yang telah didasari oleh
pemehaman yang baik terhadap permasalahan yang terjadi. Itulah sebabnya, creative thinking selalu
dibarengi dengan critical thinking.
Dalam konteksi ini creative thinking tidak selalu merupakan out of the
box, tetapi juga sangat mungkin in-side the box, sebagaimana dicontohkan oleh Drew
Boyd.
Berpikir kreatif
artinya berpikir non linier, sehingga setiap orang memiliki kreativitas yang
berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan
kemauan dan kemampuan untuk menghargai pendapat orang lain yang berbeda dan
mungkin bertolak belakang dengan pendapat kita.
Itulah yang disebut respectiveful mind, yaitu pola pikir yang menghargai
perbedaan.
Jika di satu sisi kita
dituntut memiliki respectiveful mind, di lain pihak bagi yang mengeluarkan
gagasan dan kreativitas diperlukan etika agar daya kreatif yang terjadi tidak
bertentangan dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku. Itulah yang disebut ethical mind. Di era
keterbukaan yang memberi peluang luas kepada setiap orang untuk mengekspresikan
pendapatnya, maka ethical mind semakin penting.
Saya sangat gembira,
karena kelima jenjang pola pikir itu terasa berimbang selama terjadi diskusi
baik pada forum tatap muka, maupun virtual.
Mungkin karena mereka yang terliba relatif “sudah matang”. Moga-moga itu gambaran personal kita, paling
tidak mereka yang menekuni atau perhatian pada bidang pendidikan. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar