Akhir bulan November
2017 saya mendapatkan kesempatan mengunjungi 3 sekolah di Kota Sabang Aceh
yaitu SMPN 1, SMAN 2 dan SMP-SMA Al Mujaddid. Kunjungan beralngsung dalam waktu yang sangat
singkat, karena hanya setengah hari untuk tiga sekolah. Fokus kunjungan juga sangat kecil yaitu
mengetahui kondisi guru di Sabang.
Apalagi hari itu hujan turun terus, sehingga kunjungan terfokus di dalam
ruangan.
Rombongan yang
berkunjung ke Sabang sangat lengkap, mulai Direktur yang membidangi pembinaan
guru Sekolah Menengah (Ir Renani Pantjastuti, MPA), beberapa kasubdit (a.l.
Dra. Santi Ambarrukmi, MEd) dan staf.
Kunjungan tersebut dirangkai dengan dengan kegiatan FGD tentang
sosialisasi PPG dan juga adanya pernikahan putri Drs. Anas M. Adam, MPd.
(Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Dasar).
Juga dikaitkan dengan monitoring Pretest calon peserta PPG tahun 2018.
Mengunjungi tiga
sekolah tesebut, khususnya sekolah negeri (SMPN1 Sabang dan SMAN 2 Sabang) saya
mendapatkan informasi sangat menarik dan sangat berbeda dengan daerah
lain. Kota Sabang mengalami kelebihan
guru. Pada hal umumnya, sekolah di daerah terpencil selalu kekurangan
guru. Pengalaman mengunjungi sekolah di
daerah 3 T, bahkan akan sekolah (SD) yang hanya memiliki seorang guru, yang
merangkat sebagai kepala sekolah, tata usaha, tukang kebon dan sebagainya.
Mengapa? Apakah Sabang memiliki karateristik
khusus? Kota Sabang terletak di Pulau
Weh, bagian paling barat dari Indonesia.
Lagu “Dari Sabang Sampai Merauke” menggambarkan kalau Sabang berada di
ujung barat dan Merauke berada di ujung timur.
Namun, walaupun berada di ujung barat, kondisi pulau Weh sangat
baik. Jalan-jalan berasal halus dan
rapi. Kondisi rumah di kanan-kiri jalan
umumnya juga cukup baik. Kondisi fisik
sekolah yang kami kunjungi juga sangat baik.
Kota Sabang hanya
terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sukajaya dan Kecamatan
Sukakarya. Saya kurang tahu, apakah ada
keistimewaan pulau itu, sehingga pemerintah daerahnya disebut “kota” dan bukan
“kabupaten”. Dan itupun hanya terdiri
dari dua kecamatan. Apakah karena berada
di Daerah Istimewa Aceh (Nangroe Aceh Darussalam/NAD). Sebagaimana diketahui
Propinsi NAD memiliki beberapa ciri
khusus, misalya menerapakan hukum Islam, DPRD disebut DPRA (DPR Aceh) dan
sebagainya.
Ketika mengunjungi
SMPN 1 Sabang, kami mendapat informasi kelebihan guu cukup besar. Misalnya untuk matapelajaran IPA sudah
memiliki guru PNS cukup bahkan berlebih, sehingga tidak semua guru mendapatkan
alokasi jam mengajar minimal 24 jam/minggu (syarat mendapatkan tunjangan
profesi), namun juga memiliki guru honorer.
Fenomena seperti itu sudah terjadi lama, sehingga kepada sekolah saat
ini tidak dapat menjelaskan mengapa itu terjadi.
Kondisi guru di SMAN 2
Sabang juga tidak jauh berbeda. Karena
guru-guru tidak mendapatkan jam mengajar sebanyak 24 jam/minggu, mereka
“mengatur jadwal” agar secara bergilir
sehingga ada guru yang mendapat jam mengajar 24 jam/minggu, sehingga memperoleh
tunjangan profesi. Tunjangan profesi itu
kemudian dibagi bersama. Menurut kepada
SMPN 1 Sabang dan SMAN 2 Sabang, pola itu cara terbaik, sehingga tidak terjadi
kecemburuan diantara para guru.
Bagaimana dengan guru
honorer? Ternyata mereka lapang dada
menerima honor “seadanya”. Karena jam
mengajar yang tersedia hanya sedikit atau bahkan sebenarnya tidak ada. Kalau toh diberi itu karena guru PNS yang ada
“rela”. Kedua sekolah itu juga hanya
mengandalkan dana BOSS untuk memberi honor, karena tidak ada pungutan dari
siswa maupun dana dari Pemerintah Kota Sabang.
Konon guru honor hanya menerima honor sekitar 300 ribu. Bahkan di SMAN 2 Sabang ada guru yang rela
tidak merima honor sama sekali, walaupun mengajar 2 jam/minggu. Bagi mereka yang penting namanya tercacat
sebagai guru, sehingga memiliki NUPTK (nomr unik pendidik dan tenaga
kependidikan).
Sungguh fenomena
menarik. Daerah “di ujung” tetapi
kelebihan guru. Guru PNS sudah berlebih,
tetapi masih memiliki guru honorer. Kalau
mereka itu ibu rumah tangga dan suaminya PNS atau TNI atau wiraswasta suskes, mungkin
dapat difahami, tetapi ternyata ada diantara mereka yang sebagai penopang
kehidupan rumah tangga. Apakah karena
mereka berharap dapat tunjangan yang konon akan diberikan oleh pemerintah
daerah? Apakah karena mereka berharap
punya NUPTK, sehingga dapat ikut PLPG atau PPG?
Atau masih ada alasan lain?
Diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk mengungkap fenomena menarik
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar