Ada fakultas
kedokteran suatu perguruan tinggi di Surabaya yang mereview visi-misi dan
program pengembangannya. Saya diminta
untuk memberi pandangan, pada hal saya tidak mengerti masalah kesehatan,
apalagi urusan pendidikan dokter. Namun
mereka tetap meminta agar saya memberikan pandangan secara umum. Katanya, pandangan orang awam seringkali
memberikan inspirasi yang diluar bayangan orang yang sehari-hari menekuni.
Menurut saya ada dua point
penting yang mendapat perhatian saat suatu fakultas menyusun visi-misi-dan
program pengembangan. Pertama, jati diri. Setiap fakultas, termasuk Fakultas Kedokteran,
sebaiknya memiliki jati diri yang membedakan dengan fakultas sejenis di
perguruan tinggi lain dan bahkan membedakannya dengan fakultas lain di
universitas yang sama. Jati diri itu
sebaiknya menjadi ciri lulusan yang diyakini sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dan juga sesuai perkembangan ilmu kedokteran.
Jati diri tersebut
akan menjadi kekhasan program studi kedokteran yang bersangkutan, yang dikenal
masyarakat luas melalui karateristik lulusannya. Misalnya dokter alumni fakultas kedokteran
tertentu yang selalu memperhatikan dan mengusahakan agar masyarakat di
lingkungan tempat tinggal dan lingkungan tempat bekerja, menjaga kesehatan
diri, kesehatan keluarga dan kesehatan lingkungan. Mungkin dalam istilah kesehatan dokter
tersebut sangat memperhatikan masalah preventif dan bukan hanya kuratif dalam
bidang kesehatan.
Mengapa dokter
tersebut berperilaku seperti itu? Karena
memang hal itu mendapat penekanan yang kuat ketika yang bersangkutan kuliah dan
itu kemudian menjadi karakter yang bersangkutan ketika lulus. Jika perilaku positif seperti itu terjaga
pada saatnya kan menjadi kekuatan fakultas kedokteran yang bersangkutan.
Jika kekuatan itu
memang signifikan dan benar-benar sesuai dengan tuntutan zaman, pada akhirnya
akan menjadi keunggulan fakultas kedokteran tersebut. Katakankah, banyak rumah sakit atau daerah
atau masyarakat yang mencari dokter lulusan fakultas kedokteran itu, karena
memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh fakultas kedokteran lain.
Kedua, dokter itu berbeda dengan insinyur.
Untuk menjelaskan itu, saya menceritakan bahwa isteri saya belum lama
operasi tiroit, namun hanya mau dioperasi oleh dokter tertentu. Ketika saya tanya mengapa, ternyata bukan
menunjuk kepada keterampilan atau keahlian sang dokter. Isteri saya memilih dokter itu, karena enak
diajak ngomong dan mau menjelaskan ketika ditanya ini dan itu. Saya juga bercerita almarhum ibu saya, setiap
sakit minta diantar ke dokter tertentu.
Pada hal dokter tersebut dokter ahli paru-paru. Ibu saya merasa cocok dengan dokter itu
karena selalu memotivasi dengan kalimat “ibu tidak sakit, cuka tidak enak badan
sedikit, disuntik akan segera sembuh”.
Berangkat dari dua
cerita itu, sebagai orang awam saya menyampaikan pendapat bahwa dokter tidak
hanya dituntut ahli dalam bidang kesehatan tetapi juga memiliki kemampuan human
relation yang baik. Berbeda dengan insinyur
yang biasanya menangani benda mati-mesin, bangunan, generator dan sebagainya-,
dokter menangani pasien yaitu manusia.
Apalagi kata Prof. Djoko Santosa, dokter ahli penyakit dalam yang saat
ini menjadi Wakil Rektor Bidang Akademik Unair, hasil pengobatan sangat
diperngaruhi faktor psikologis pasien.
Saya tidak tahu,
apakah dua point yang saya saya sampaikan itu cocok dengan pendapat para dosen
dan pimpinan fakultas kedokteran tersebut.
Yang pasti, rektor yang memberi sambutan sesudah saya menyampaikan
pandangan menyetujui usulan saya. Namun
saya juga ragu, karena pak rektor itu profesor bidang robotik itu setuju karena
faham apa yang saya sampaikan atau karena juga awam terhadap bidang
kedokteran. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar