Sejak kemarin lusa sampai
pagi ini di WAB teman-teman Vokasi sedang ramai mendiskusikan KKM (kriteria
ketintasan minimal). Beberapa hari lalu
ada perdebatan seru ketika menentukan NBL (nilai batas kelulusan) suatu
pendidikan profesi. Seperti biasanya,
diskusi berjalan seru, bercampur antara argumentasi teoritik, praktik lapangan
dan pendapat pribadi.
Ada teman yang
membandingkan KKM dan NBL dengan alat ukur di dunia keteknikan. Mengapa kita tidak memiliki alat ukur dan
kriteria standar seperti di dunia keteknikan?
Di dunia keteknikan kita punya alat untuk mengukur panjang (meteran),
suhu (termoteter) dan sebagainya. Kita
juga punya kriteria penggunakan alat, misalnya untuk pelumas mesin sepeda motor
honda, diperlukan oli dengan kekentalan sekian.
Mengapa untk KKM dan
NBL seperti ruwet? Ya, karena: (1) kita tidak
atau belum memiliki alat ukur yang standardized seperti termometer, meteran
yang terkalibrasi, (2) kita tidak atau belum punya kriteria baku seperti apa
kinerja/kemampuan minimal siswa/mahasiswa yang dianggap menguasai bidang/sub
bidang keahlian tertentu.
Saya sering
membandingkan dengan dunia keteknikan yang relatif telah memiliki keduanya.
Kita memiliki termometer untuk mengukur suhu dan bahkan berbagai jenis
termometer yang masing-masing dirancang untuk mengukur suhu benda
tertentu. Kita punya timbangan untuk
mengukur berat dan bahkan banyak jenis timbangan yang masing-masing dirancang
untuk mengukur benda tertentu. Untuk
memastikan kelayakannya (masih standar), alat ukur tersebut dapat dikalibari
dan untuk itu ada lembaga yang bertugas melakukannya.
Pada mobil ada
indikator suhu, kecepatan dan putaran mesin.
Biasanya pada indikator tersebut ada garis atau batas berwarna merah
yang artinya jika suhu mencapai itu, putaran mesin mecapai itu, kecepatan mobil
mencapai itu, sudah melewati batas aman, sehingga harus dihindari. Batas aman itu menunjukkan mesin atau desain
mobil sudah tidak mampu menahan suhu/putaran/kecepatan itu.
Jadi untuk menentukan
KKM diperlukan dua tahapan penting. Pertama, tentu disusun tes yang
ditujukan untuk mengukur pencapaian kompetensinya. Kedua,
berdasarkan tes tersebut ditentukan just qualified candidate (JQC) yaitu kemampuan
minimal seseorang yang dianggap menguasai kompetensi yang diujikan. Proses seperti itu disebut proses standard
setting untuk menentukan NBL maupun KKM.
Beberapa hari lalu,
dilaksanakan standard setting untuk PPG (Pendidikan Profesi Guru), khususnya
uji teori. Untuk itu sejumlah pakar menyusun tes berdasarkan CP (capaian
pembelajaran) yang telah disusun oleh Tim Dikti. CP itu juga yang dijadikan dasar penyusunan
kurikulum PPG dan penyusunan bahan ajarnya.
Dengan demikian, apa yang dipelajari selama PPG dan apa yang diujikan
merupakan hal yang sama.
Setelah tes selesai
disusun, divalidasi, diujicoba dan disempunakan sehingga memenuhi standar tes,
selanjutnya dilaksanakan proses standard setting. Diundang sejumlah pakar bidang yang relevan. Ada pakar yang mewakili “kelas tinggi” yang
cenderung idealis dan biasanya minta standar tinggi, ada pakar yang mewakili “kelas
pragmatis” yang biasanya cenderung menentukan standar rendah, ada yang mewakili
pengguna lulusan dan sebagainya.
Pada tahap pertama,
para pakar tersebut menyepakati indikator apa yang menunjukkan kemampuan
minimal guru yang baik (JQC). JQC
bukanlah indikator guru ideal, tetapi kemampuan minimal guru yang layak
mengajar sesuai bidangnya. Tahap ini
ternyata memakan waktu cukup panjang, karena masing-masing pakar memiliki
pandangan yang berbeda. Nah setelah
diskusi cukup lama, baru mereka menyepakati.
Setelah JQC disepakati,
para pakar mencermati setiap butir tes.
Pada setiap butir tes, mereka memperkirakan probalilitas mahasiswa JQC
mampu menjawab benar. Secara sederhana
membayangkan jika ada 100 orang mahasiswa yang kemampuannya sama dengan JQC,
kemudian mereka diberikan butir soal tertentu, berapa orang yang mampu menjawab
benar. Setelah itu setiap pakar
menjelaskan mengapa memberi skor itu yang mungkin berbeda dengan pakar
lain. Catatannya setiap pakar tidak
harus mengikuti pendapat pakar lain. Seluruh
rangkaian mulai mencermati butir tes, memberi skornya dan menjelaskan alasan
pemberan skor tersebut disebut satu putaran.
Setelah putaran
pertama selesai, dimulai putaran yang kedua dengan cara yang sama. Setelah itu dilakukan putaran ketiga, tetapi
tanpa penjelasan alasan pemberian skor.
Skor dari masing-masing pakar anggota panel kemudian dirata-rata, dan
itulah yang disebut dengan cutting off atau NBL atau untuk keperluan lain
disebut KKM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar