Minggu lalu saya
terlibat dalam 3 kali diskusi dengan
topik yang hampir sama, yaitu rekonstruksi pendidikan. Dua kali, lebih tepatnya dua hari, di Balitbang Dikbud dan sekali di forum FGD
yang diadakan oleh NU Circle. Tampaknya,
menjelang kabinet baru banyak pihak yang ingin menyumbangkan pemikiran
bagaimana memperbaiki mutu pendidikan ke depan.
Niat yang baik. Walaupun ada juga
orang yang curiga, itu untuk kendaraan memperkenalkan diri ke pemegang
kekuasaan. Bagi saya, sudahlah biarkan
apa niatnya, yang penting sebagai komponen bangsa yang menekuni bidang
pendidikan dapat menyumbangkan pemikiran.
Mengikuti 3 kali
diskusi tersebut, kesan saya kita terbiasa menyampaikan symptom (meminjam
istilah bidang kedokteran) dan bukan penyakit di balik symptom itu. Kita biasa menyampaikan fenomena berupa
kasus-kasus yang teramati, dan kurang biasa menganalisis apa penyebab fenomena
itu terjadi. Mungkin itu yang
menyebabkan penyelesaian masalah pendidikan terkesan tambal sulam dan tidak
pernah tuntas.
Sepanjang saya pernah
belajar, setiap fenomena yang tampak itu terkait dengan berbagai hal yang
sangat mungkin tidak tampak. Dalam teori
system thinking, faktor tersebut saling mempengaruhi. Jika keterkaitan dan hubungan sebab akibat
antara berbagai faktor itu dapat ditemukan, maka dapat ditemukan fenomena yang
tampak itu akibat oleh apa. Ibarat orang
sakit panas, dapat diketahui apakah itu akibat demam atau tipus atau demam
berdarah. Jika penyebab itu diketahui
maka pengobatan dapat dilakukan dengan tuntas.
Teman-teman BAN SM
(Badan Akreditas Nasional Sekolah dan Madrasah) pernah menganalisis data-data
lebih dari 12 ribu sekolah dan menemukan hasil seperti gambar di samping. Jika dicermati dengan saksama, manajemen
sekolah merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kompetensi lulusan.
Memang tidak da pengaruh langsung, tetapi berpengaruh terhadap kinerja guru,
pengadaan sarana-prasarana, penyediaan anggaran. Sementara kinerja guru berpengaruh terhadap
proses pembelajaran, baik langsung maupun melalui pemilihan bahan ajar
(pelaksanaan kurikulum). Pada akhirnya
proses pembelajaran itulah yang menentukan kualitas lulusan.
Simpulan bahwa
manajemen sekolah sangat berpengaruh terhadap kinerja sekolah dapat
dikonfirmasi secara empirik, karena ketika sekolah berganti kepala sekolah
seringkali kondisi sekolah berubah signifikan.
Secara teoritik, sekolah disebut sebagai organisasi yang longgar
sistemnya, sehingga pimpinan memiliki kewenangan yang sangat luas, sehingga
kebijakan yang diambil dapat mengubah situasi sekolah secara signifikan.
Jika simpulan tersebut
digunakan sebagai dasar perbaikan mutu pendidikan dan kemudian dikaitkan dengan
konsep Pareto, maka manajemen sekolah menjadi faktor krusial yang memiliki
pengaruh berantai pada mutu sekolah.
Dengan demikian, jika energi terbatas, maka usaha peningkatan mutu
pendidikan sebaiknya dimulai dari perbaikan manajemen sekolah. Manajemen sekolah dapat berjalan dengan baik,
jika kepada sekolah memiliki kompetensi bagus dan mendapatkan kesempatan cukup
untuk melakukan inovasi. Oleh karena
itu, mendapatkan kepala sekolah yang baik dan memberikan ruang gerak yang cukup
agar yang bersangkutan berinovasi merupakan salah satu kunci peningkatan mutu
pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar