Sejak
beberapa bulan lalu Unesa membantu BKKBN.
Kepanjangan baru BKKBN adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional. Ketua BKKBN yang baru, Prof.
Fasli Jalal adalah mantan Wamendikbud dan mantan Dirjen Dikti. Setelah beliau dilantik menjadi Kepala BKKBN,
kami saling kontak dan sepakat Unesa akan membantu memikirkan pengembangan
program BKKBN.
Informasi
dari BKKBN Jawa Timur, tenaga penyuluh KB hanya 1 atau 2 orang untuk setiap
kecamatan. Jika 2 orang, satu
berpendidikan S1 dan yang lain biasanya lulusan SMA. Saya membayangkan betapa sulitnya melakukan
penyuluhan KB dengan tenaga 1 atau 2 orang untuk satu kecamatan. Apalagi katanya, program KB tidak lagi
menjadi program prioritas, sehingga tidak didukung dengan anggaran yang
memadai.
Dahulu
kepanjanan BKKBN adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Sekarang huruf “K” yang pertama bukan lagi “Koordinasi”
tetapi “Kependudukan”. Dan sebaiknya
kependudukan dalam konteks ini tidak hanya dimaknai sebagai jumlah, tetapi juga
kualitas. Jadi tugas BKKBN tidak hanya
mengendalikan jumlah penduduk, tetapi juga mengupayakan agar penduduk Indonesia
berkualitas.
Biasanya
penduduk yang berkualitas memiliki dua indikator utara, yaitu kesehatan dan
pendidikan. Jadi harus sehat dan terdidik.
Sehat menjadi urusan Kementerian
Kesehatan, sedang terdidik menjadi urusan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Lantas apa tugas BKKBN dalam
konteks penduduk yang berkualitas?
Saya
bukan dokter dan bukan ahli kesehatan masyarakat. Namun pengamatan saya, penyuluhan hidup sehat
belum banyak tersentuh. Sepertinya
Kementerian Kesehatan sudah sangat sibuk mengurus penduduk yang sakit. Oleh karena itu menyuluh penduduk agar tidak
sakit belum mendapatkan perhatian cukup.
Memang
BKKBN merupakan bagian dari Kemernterian Kesehatan. Namun, apakah BKKBN memiliki enersi untuk
menangani itu? Bukankah untuk menangani penyuluhan KB saja
sudah kerepotan? Itulah yang Unesa
mencoba mencari solusinya. Bagaimana
BKKBN dapat melakukan penyuluhan KB sekaligus penyuluhan hidup sehat kepada
masyarakat.
Sasaran
program KB terutama pasangan usia subur (PUS).
Saya yakin PUS yang menjadi target BKKBN memiliki anak di
PAUD/TK/SD/SMP/SMA. Jadi mereka punya
kaitan dengan sekolah-sekolah tersebut.
Mengapa penyuluhan KB tidak dilewatkan sekolah? Bukankah lebih mudah sampai pada sasaran?
Semua
desa memiliki SD, bahkan ada beberapa desa yang memiliki lebih dari satu
SD/MI. Hampir setiap kecamatan punya
SMP/MTs. Hampir setiap kampung punya
PAUD dan atau TK. Dengan menggunakan
sekolah sebagai ujung tombak penuluhan KB, maka hampir semua PUS
terjangkau.
Siapa
yang melakukan sosialisasi? Apakah guru PAUD/TK/SD/SMP/SMA mau dan mampu
melakukannya? Itulah yang perlu dirancang dan dipersiapkan
dengan baik. Hampir semua guru
berpendidikan S1. Di daerah pedesaan,
guru adalah tokoh dan sering menjadi panutan masyarakat. Dengan demikian, diyakini guru punya potensi
untuk melakukan penyuluhan KB. Apalagi
guru biasanya sudah melaksanakan KB.
Pelajaran IPS di SD/SMP/SMA tentu juga menyinggung masalah KB. Oleh karena itu saya yakin, tidak terlaku
sulit membekali guru agar mampu melakukan sosialisasi ke orangtua siswa.
Bagaimana
dengan penyuluhan kesehatan? Bukankah
sekolah punya UKS (Usaha Kesehatan Sekolah).
Saya yakin sekolah dan guru tidak kesulitan untuk melakukan penyuluhan
hidup sehat kepada orangtua siswa.
Apalagi kalau lingkungan sekolah dapat dijadikan contoh hidup sehat. Misalnya kantis sekolah, halaman sekolah,
toilet sekolah, sanitasi sekolah dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar