Rabu, 20 November 2013

MERGER UNIVERSITAS

Tanggal 17-19 Oktober saya mengikuti konferensi antara Council of Rector of Indonesian State Universities dan Council of University Presidents of Thailand di Kendari.  Di sana bertemu dengan Prof. Roger Frutos, Deputy Vice President for International Relation, Universite Montpellier-2 Perancis. Dia memaparkan strategi pengembangan universitasnya sehingga menjadi universitas yang memiliki reputasi internasional.  Di akhir paparannya, dia mengagetkan banyak orang karena menginformasikan bahwa Universite Montpellier-2 dan Universite Montpellier-1 akan segera merger, menjadi Universite Montpellier.

Sinergi antar universitas merupakan hal biasa di Perancis.  Namun jika kemudian melakukan merger dan itu untuk universitas sekelas Montpellier-1 dan Montpellier-2 tetap merupakan suatu kejutan.  Bayangkan kalau Unair merger dengan ITS tentu menjadi berita besar di Indonesia.

Ketika saya ke Perancis tahun 2008,  beberapa universitas di Grenoble membentuk suatu konsorsium untuk membuka program studi tingkat doktoral.  Ada dua alasan mengapa itu dilakukan.  Pertama, agar lebih efisien karena dapat berbagi dosen dan laboratorium.  Kedua, agar mahasiswa doktoral dapat kuliah dan dibimbing oleh profesor yang benar-benar ahli di bidangnya.  Tampaknya pembentukan konsorsium masih dianggap belum cukup, sehingga kemudian ada dua universitas sekelas Montpellier 1 dan 2 melakukan merger.

Mengapa banyak orang kaget dengan informasi itu?  Karena di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya.  Politeknik yang semula berada didalam universitas dipisah menjadi institusi sendiri.  Universitas yang akan membuka program studi baru harus memiliki dosen sendiri secara lengkap.  Bahkan dosen program studi S1 dipisahkan dengan program studi S2/S3.  Jadi program S1 harus memiliki dosen sendiri dan program S2/S3 harus memiliki dosen sendiri, walaupun itu keduanya dalam satu jurusan.  Pada hal, idealnya dosen pengajar S2/S3 juga mengajar di S1.  Di negara maju banyak mahasiswa S3 yang menjadi teaching assistant di S1.  Dan itu hanya dapat terjadi jika profesornya juga mengajar di S1.

Kalau kita bandingkan apa yang terjadi di Perancis dan di Indonesia, tampak sekali berbeda argumennya.  Perancis lebih menekankan aspek efisiensi dan mutu.  Efisiensi dilakukan dengan berbagi dosen dan fasilitas.  Dengan cara itu, tidak perlu setiap jurusan atau perguruan tinggi memiliki dosen sendiri, jika dapat menggunakan dosen di universitas lain anggota konsorsium.  Yang harus dipastikan adalah dosen tersebut masih memiliki waktu untuk mengajar atau membimbing.  Universitas juga tidak harus memiliki laboratorium sendiri, jika ada universitas lain anggota konsorsium sudah memilikinya.  Yang harus dipastikan bahwa di laboratorium itu masih tersedia waktu untuk praktikum.

Jaminan mutu ditempuh agar mahasiswa bertemu dengan profesor yang benar-benar ahli di bidangnya.  Sebagaimana diketahui biasanya profesor memiliki keahlian spesifik.  Tidak mudah setiap universitas mendapatkan profesor semacam itu.  Dari pada mahasiswa dibimbing oleh profesor yang tidak pas bidangnya atau dibimbing oleh profesor yang “belum ahli”, lebih baik mahasiswa dikirim ke universitas lain anggota konsorsium yang punya profesor benar-benar pas bidang keahliannya.

Saya pernah menanyakan, apa tidak sulit mengatur manajemen dengan membuat konsorsium dengan anggota beberapa universitas?  Itu kan masalah manajemen.  Jika perusahaan dapat membuat konsorsium untuk menangani proyek besar, mengapa universitas tidak bisa.  Bukankah sudah ada program double degree, program sandwich dan credit earning yang juga melibatkan beberapa universitas.  Begitu jawaban ringan seorang pimpinan universitas di Grenoble saat itu.

Berbeda dengan Perancis, Indonesia  menjamin mutu dengan memastikan setiap program studi memiliki dosen yang cukup.  Dan bentuk perguruan tinggi sesuai dengan undang-undang.  Dalam konteks ini Indonesia masih dalam tahap kuantitas dan normatif.  Belum masuk ke aspek kualitas dan yang bersifat substantif.  Mungkin karena usia pendidikan tinggi kita masih muda.

Namun demikian tidak ada jeleknya kita mulai berpikir ke arah itu.  Bukankah kita juga sudah punya pengalaman serupa.  Guru SMK Pertanian dididik oleh IPB atau Akademi Pertanian bekerjasama dengan LPTK.  Bidang pertanian dibina oleh orang-orang ahli pertanian di IPB atau Akademi Pertanian, sedangkan bidang kependidikan dibina oleh orang-orang ahli pendidikan di LPTK.  Program serupa juga dilakukan ketika menghasilkan guru SMK Kesehatan.  Bukankah itu juga mirip dengan konsorsium.

Jika konsorsium itu dapat dirintis, kemudian kita bertanya apakah sudah tepat memisahkan politeknik dari universitas induknya.  Tentu acuannya bukan undang-undang, tetapi efisiensi.  Toh undang-undang juga tidak melarang adanya politeknik di dalam universitas.  Toh di negara lain itu sudah biasa.  Toh ketika politeknik berada didalam universitas juga tidak ada masalah.

Ketika ide ini saya sampaikan, ada teman yang berseloroh.  Kalau digabung nanti rektornya cuma satu, terus bagaimana yang lain?  Bukankah dengan begitu menghilangkan kesempatan orang menjadi rektor.  Saya juga ganti berseloroh, kalau begitu apa bedanya dengan orang yang nekat membentuk kabupaten baru walaupun potensinya minim.  Yang penting ada pos jabatan baru untuk bupati, wakil bupati, ketua DPRD dan sebagainya.

Jika merger universitas masih dianggap berat, pola konsorsium sudah saatnya dirintis.  Pembukaan program studi Ekonomi Islam di Surabaya dapat merupakan konsorsium Unair dan IAIN Sunan Ampel.  Pembukaan program studi Bio Engineering mungkin konsorsium Unair dengan ITS.  Penyiapan guru SMK Kesehatan merupakan konsosium Unair dengan Unesa.

Tidak ada komentar: