Tanggal
17-19 Oktober saya mengikuti konferensi antara Council of Rector of Indonesian State Universities dan Council of University Presidents of Thailand
di Kendari. Di sana bertemu dengan Prof.
Roger Frutos, Deputy Vice President for
International Relation, Universite Montpellier-2 Perancis. Dia memaparkan
strategi pengembangan universitasnya sehingga menjadi universitas yang memiliki
reputasi internasional. Di akhir paparannya,
dia mengagetkan banyak orang karena menginformasikan bahwa Universite
Montpellier-2 dan Universite Montpellier-1 akan segera merger, menjadi
Universite Montpellier.
Sinergi
antar universitas merupakan hal biasa di Perancis. Namun jika kemudian melakukan merger dan itu
untuk universitas sekelas Montpellier-1 dan Montpellier-2 tetap merupakan suatu
kejutan. Bayangkan kalau Unair merger
dengan ITS tentu menjadi berita besar di Indonesia.
Ketika
saya ke Perancis tahun 2008, beberapa
universitas di Grenoble membentuk suatu konsorsium untuk membuka program studi
tingkat doktoral. Ada dua alasan mengapa
itu dilakukan. Pertama, agar lebih efisien karena dapat berbagi dosen dan
laboratorium. Kedua, agar mahasiswa doktoral dapat kuliah dan dibimbing oleh profesor
yang benar-benar ahli di bidangnya.
Tampaknya pembentukan konsorsium masih dianggap belum cukup, sehingga
kemudian ada dua universitas sekelas Montpellier 1 dan 2 melakukan merger.
Mengapa
banyak orang kaget dengan informasi itu?
Karena di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya. Politeknik yang semula berada didalam
universitas dipisah menjadi institusi sendiri.
Universitas yang akan membuka program studi baru harus memiliki dosen
sendiri secara lengkap. Bahkan dosen
program studi S1 dipisahkan dengan program studi S2/S3. Jadi program S1 harus memiliki dosen sendiri
dan program S2/S3 harus memiliki dosen sendiri, walaupun itu keduanya dalam
satu jurusan. Pada hal, idealnya dosen
pengajar S2/S3 juga mengajar di S1. Di
negara maju banyak mahasiswa S3 yang menjadi teaching assistant di S1.
Dan itu hanya dapat terjadi jika profesornya juga mengajar di S1.
Kalau
kita bandingkan apa yang terjadi di Perancis dan di Indonesia, tampak sekali
berbeda argumennya. Perancis lebih
menekankan aspek efisiensi dan mutu.
Efisiensi dilakukan dengan berbagi dosen dan fasilitas. Dengan cara itu, tidak perlu setiap jurusan
atau perguruan tinggi memiliki dosen sendiri, jika dapat menggunakan dosen di
universitas lain anggota konsorsium.
Yang harus dipastikan adalah dosen tersebut masih memiliki waktu untuk
mengajar atau membimbing. Universitas
juga tidak harus memiliki laboratorium sendiri, jika ada universitas lain
anggota konsorsium sudah memilikinya.
Yang harus dipastikan bahwa di laboratorium itu masih tersedia waktu
untuk praktikum.
Jaminan
mutu ditempuh agar mahasiswa bertemu dengan profesor yang benar-benar ahli di
bidangnya. Sebagaimana diketahui
biasanya profesor memiliki keahlian spesifik.
Tidak mudah setiap universitas mendapatkan profesor semacam itu. Dari pada mahasiswa dibimbing oleh profesor
yang tidak pas bidangnya atau dibimbing oleh profesor yang “belum ahli”, lebih
baik mahasiswa dikirim ke universitas lain anggota konsorsium yang punya
profesor benar-benar pas bidang keahliannya.
Saya
pernah menanyakan, apa tidak sulit mengatur manajemen dengan membuat konsorsium
dengan anggota beberapa universitas? Itu
kan masalah manajemen. Jika perusahaan
dapat membuat konsorsium untuk menangani proyek besar, mengapa universitas
tidak bisa. Bukankah sudah ada program double degree, program sandwich dan credit earning yang juga melibatkan beberapa universitas. Begitu jawaban ringan seorang pimpinan
universitas di Grenoble saat itu.
Berbeda
dengan Perancis, Indonesia menjamin mutu
dengan memastikan setiap program studi memiliki dosen yang cukup. Dan bentuk perguruan tinggi sesuai dengan
undang-undang. Dalam konteks ini
Indonesia masih dalam tahap kuantitas dan normatif. Belum masuk ke aspek kualitas dan yang
bersifat substantif. Mungkin karena usia
pendidikan tinggi kita masih muda.
Namun
demikian tidak ada jeleknya kita mulai berpikir ke arah itu. Bukankah kita juga sudah punya pengalaman
serupa. Guru SMK Pertanian dididik oleh
IPB atau Akademi Pertanian bekerjasama dengan LPTK. Bidang pertanian dibina oleh orang-orang ahli
pertanian di IPB atau Akademi Pertanian, sedangkan bidang kependidikan dibina
oleh orang-orang ahli pendidikan di LPTK.
Program serupa juga dilakukan ketika menghasilkan guru SMK
Kesehatan. Bukankah itu juga mirip dengan
konsorsium.
Jika
konsorsium itu dapat dirintis, kemudian kita bertanya apakah sudah tepat
memisahkan politeknik dari universitas induknya. Tentu acuannya bukan undang-undang, tetapi
efisiensi. Toh undang-undang juga tidak
melarang adanya politeknik di dalam universitas. Toh di negara lain itu sudah biasa. Toh ketika politeknik berada didalam
universitas juga tidak ada masalah.
Ketika
ide ini saya sampaikan, ada teman yang berseloroh. Kalau digabung nanti rektornya cuma satu,
terus bagaimana yang lain? Bukankah
dengan begitu menghilangkan kesempatan orang menjadi rektor. Saya juga ganti berseloroh, kalau begitu apa
bedanya dengan orang yang nekat membentuk kabupaten baru walaupun potensinya
minim. Yang penting ada pos jabatan baru
untuk bupati, wakil bupati, ketua DPRD dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar