Selasa, 05 November 2013

PENDIDIKAN ITU UNTUK SIAPA?

Seperti saya tuliskan di artikel terdahulu, tanggal 23 Oktober 2013 saya diundang untuk menyampaikan gagasan pada Konferensi Guru-guru Bloger di Universitas Airlangga.  Yang saya sampaikan lebih banyak berupa rangsangan, seperti apa seharusnya pendidikan ketika era cyber sudah benar-benar masuk ke kehidupan masyarakat.  Jika semua informasi sudah dapat diperoleh dari internet, terus apa yang dipelajari anak-anak di sekolah?

Materi yang yang sampaikan tidak banyak dan sebagaina besar sudah pernah saya uraian di blog ini dengan judul “segala info ada di google”.   Intinya model pembelajaran yang menjelaskan informasi dan konsep-konsep dasar sudah tidak relevan.  Semua sudah dapat dibaca di google.  Yang diperlukan, guru memandu siswa untuk berpikir kritis dan memecahkan masalah secara arif dan kreatif.    Dalam bahasa lain disebut high order thinking.  Pertanyaan yang sifatnya what, where dan when sudah tidak cocok lagi.  Mungkin yang diperlukan adalah pertanyaan yang  terkait dengan ungkapan why dan how.  Tidak ada yang aneh.

Yang justru menarik dan ingin saya bagi dengan pembaca adalah dialog yang terjadi saat sesi tanya jawab.  Ada seorang penanya, yang saya yakin guru IPA yang pandai.  Dengan penuh semangat beliau menyampaikan pentingnya menciptakan ilmuwan.  Beliau menyampaikan Indonesia memerlukan banyak saintis yang nanti akan membawa kemajuan negara ini.  Beliau juga menyampaikan saat ini Indonesia kalah dalam persaingan industri karena minimnya ilmuwan.

Sebagai guru yang sudah mengajar lebih dari 35 tahun, saya memahami kerisauan rekan guru mudah tersebut.  Saya juga yakin beliau adalah guru muda yang pandai dan idealis.  Apalagi beliau menyebutkan sebagai lulusan Unversitas Airlangga.  Dugaan saya beliau adalah orang muda yang idealis dan ingin meningkatkan kuliatas pendidikan di Indonesia.  Dan karena bidangnya IPA (mungkin Fisika atau Biologi atau Kimia, saya tidak sempat menanyakan), maka membimbing siswa SMP yang diasuh menjadi saintis.  Keinginan untuk menjadikan anak-anak Indonesia sejajar dengan rekannya di negara maju, mendorong teman guru muda itu menjadi ilmuwan yang tangguh.

Memang salah satu kecenderungan guru adalah “menganggap” matapelajaran yang diampu merupakan matapelajaran penting. Oleh karena itu, ingin sekali guru memberikan bekal yan sangat banyak kepada siswanya.  Akibatnya  seringkali guru minta tambahan jam pelajaran, karena merasa tidak cukup.  Guru Matematika ingin siswanya menjadi Matematikawan.  Guru Sejarah ingin siswanya menjadi sejarawan. Guru ekonomi ingin siswanya menjadi ekonom. Dan seterusnya.

Pertanyaannya, betulkah demikian.  Betulkah siswa harus menjadi ahli berbagai bidang ilmu tersebut.  Bahkan kita dapat bertanya berapa orang ahli Fisika yang diperlukan oleh Indonesia?  Berapa orang lulusan universitas yang menjadi ahli ekonomi?  Berapa orang lulusan SMA yang benar-benar berbakat menjadi ahli sejarah?  Berapa orang ahli Matematika yang diperlukan oleh dunia industri dan atau lembaga riset?

Rasanya, baik di negara maju apalagi negara berkembang, sebagian besar masyarakat bekerja sebagai praktisi.  Praktisi di bidang perdagangan, praktisi di bidang pertanian, praktisi di bidang industri berat, praktisi di bidang kesehatan, dan sebagainya.  Tidak banyak yang bekerja sebagai saintis di lembaga riset dan dosen di perguruan tinggi.

Saya tidak mengatakan bahwa saintis itu tidak penting.  Saintis di berbagai bidang itu sangat penting.  Namun tidak harus semua orang menjadi saintis.  Kalau semua menjadi saintis, siapa yang menerapkan temuan-temuan saintis tersebut.  Jika semua menjadi ekonom, siapa yang menjadi pengusaha dan pedagang?  Jika semua menjadi ilmuwan pertanian, siapa yang menjadi petani dan menangani industri yang terkait dengan pertanian?  Jika semua menjadi periset dalam enersi terbarukan, siapa yang bekerja di industri mobil?  Dan seterusnya.

Ilmuwan haruslah orang-orang idealis.  Yang bekerja sepenuh hati di laboratorium atau perpustakaan dan seringkali tanpa mengenal lelah.  Pada hal biasanya gaji mereka tidak terlalu tinggi.  Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, gaji peneliti tidak besar. Jauh lebih kecil dibanding para birokrat dan praktisi di lapangan.

Oleh karena itu sebaiknya, dari awal dicari “calon ilmuwan”.  Jumlahnya tidak perlu terlalu banyak.  Namun mereka adalah anak-anak cerdas, tekun dan idealis.  Seringkali anak-anak yang agak individualis, karena biasanya peneliti memang cenderung begitu.  Semoga teman guru mudah hebat tadi menemukan anak bombing yang nantinya benar-benar menjadi ilmuwan hebat. 

Nah, kemudian pertanyaannya pendidikan itu untuk siapa?  Jika untuk siswa dan sebagian besar nanti akan menjadi praktisi, sebaiknya pendidikan tidak diarahkan menjadi periset.  Hanya mereka yang memiliki minat dan potensi yang cocok saja yang didorong menjadi periset.  Dan dapat dilakukan melalui kelompok KIR dan sejenisnya.  Apalagi dalam Kurikulum 2013 ada peminatan yang salah satunya dapat diarahkan ke bidang penelitian.  Semoga.

Tidak ada komentar: