Seperti
saya tuliskan di artikel terdahulu, tanggal 23 Oktober 2013 saya diundang untuk
menyampaikan gagasan pada Konferensi Guru-guru Bloger di Universitas
Airlangga. Yang saya sampaikan lebih
banyak berupa rangsangan, seperti apa seharusnya pendidikan ketika era cyber
sudah benar-benar masuk ke kehidupan masyarakat. Jika semua informasi sudah dapat diperoleh
dari internet, terus apa yang dipelajari anak-anak di sekolah?
Materi
yang yang sampaikan tidak banyak dan sebagaina besar sudah pernah saya uraian
di blog ini dengan judul “segala info ada di google”. Intinya model pembelajaran yang menjelaskan
informasi dan konsep-konsep dasar sudah tidak relevan. Semua sudah dapat dibaca di google. Yang diperlukan, guru memandu siswa untuk
berpikir kritis dan memecahkan masalah secara arif dan kreatif. Dalam bahasa lain disebut high order thinking. Pertanyaan yang sifatnya what, where dan when sudah tidak cocok lagi. Mungkin yang diperlukan adalah pertanyaan
yang terkait dengan ungkapan why dan how. Tidak ada yang aneh.
Yang
justru menarik dan ingin saya bagi dengan pembaca adalah dialog yang terjadi
saat sesi tanya jawab. Ada seorang
penanya, yang saya yakin guru IPA yang pandai.
Dengan penuh semangat beliau menyampaikan pentingnya menciptakan
ilmuwan. Beliau menyampaikan Indonesia
memerlukan banyak saintis yang nanti akan membawa kemajuan negara ini. Beliau juga menyampaikan saat ini Indonesia
kalah dalam persaingan industri karena minimnya ilmuwan.
Sebagai
guru yang sudah mengajar lebih dari 35 tahun, saya memahami kerisauan rekan
guru mudah tersebut. Saya juga yakin
beliau adalah guru muda yang pandai dan idealis. Apalagi beliau menyebutkan sebagai lulusan
Unversitas Airlangga. Dugaan saya beliau
adalah orang muda yang idealis dan ingin meningkatkan kuliatas pendidikan di
Indonesia. Dan karena bidangnya IPA
(mungkin Fisika atau Biologi atau Kimia, saya tidak sempat menanyakan), maka
membimbing siswa SMP yang diasuh menjadi saintis. Keinginan untuk menjadikan anak-anak
Indonesia sejajar dengan rekannya di negara maju, mendorong teman guru muda itu
menjadi ilmuwan yang tangguh.
Memang
salah satu kecenderungan guru adalah “menganggap” matapelajaran yang diampu
merupakan matapelajaran penting. Oleh karena itu, ingin sekali guru memberikan
bekal yan sangat banyak kepada siswanya.
Akibatnya seringkali guru minta
tambahan jam pelajaran, karena merasa tidak cukup. Guru Matematika ingin siswanya menjadi
Matematikawan. Guru Sejarah ingin
siswanya menjadi sejarawan. Guru ekonomi ingin siswanya menjadi ekonom. Dan
seterusnya.
Pertanyaannya,
betulkah demikian. Betulkah siswa harus
menjadi ahli berbagai bidang ilmu tersebut.
Bahkan kita dapat bertanya berapa orang ahli Fisika yang diperlukan oleh
Indonesia? Berapa orang lulusan
universitas yang menjadi ahli ekonomi?
Berapa orang lulusan SMA yang benar-benar berbakat menjadi ahli
sejarah? Berapa orang ahli Matematika
yang diperlukan oleh dunia industri dan atau lembaga riset?
Rasanya,
baik di negara maju apalagi negara berkembang, sebagian besar masyarakat
bekerja sebagai praktisi. Praktisi di
bidang perdagangan, praktisi di bidang pertanian, praktisi di bidang industri
berat, praktisi di bidang kesehatan, dan sebagainya. Tidak banyak yang bekerja sebagai saintis di
lembaga riset dan dosen di perguruan tinggi.
Saya
tidak mengatakan bahwa saintis itu tidak penting. Saintis di berbagai bidang itu sangat
penting. Namun tidak harus semua orang
menjadi saintis. Kalau semua menjadi
saintis, siapa yang menerapkan temuan-temuan saintis tersebut. Jika semua menjadi ekonom, siapa yang menjadi
pengusaha dan pedagang? Jika semua
menjadi ilmuwan pertanian, siapa yang menjadi petani dan menangani industri
yang terkait dengan pertanian? Jika
semua menjadi periset dalam enersi terbarukan, siapa yang bekerja di industri
mobil? Dan seterusnya.
Ilmuwan
haruslah orang-orang idealis. Yang
bekerja sepenuh hati di laboratorium atau perpustakaan dan seringkali tanpa
mengenal lelah. Pada hal biasanya gaji
mereka tidak terlalu tinggi. Apalagi di
negara berkembang seperti Indonesia, gaji peneliti tidak besar. Jauh lebih
kecil dibanding para birokrat dan praktisi di lapangan.
Oleh
karena itu sebaiknya, dari awal dicari “calon ilmuwan”. Jumlahnya tidak perlu terlalu banyak. Namun mereka adalah anak-anak cerdas, tekun
dan idealis. Seringkali anak-anak yang
agak individualis, karena biasanya peneliti memang cenderung begitu. Semoga teman guru mudah hebat tadi menemukan
anak bombing yang nantinya benar-benar menjadi ilmuwan hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar