Tanggal 13 Juli 2014
saya ke Jakarta mengikuti rapat SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri) di Hotel Sari Pasific Jl. Thamrin Jakarta Pusat. Saya dari Surabaya naik Garuda pukul 11.10
dan tiba di bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 12.30. Karena hari Minggu tampaknya bandara tidak
terlalu sibuk, sehingg begitu keluar bandara langsung dapat taksi Express. Namun baru sampai di Hotel Sari Pasific pada
pukul 14.35. Jadi bandara Soekarno
Hatta-jalan Thamrin ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam.
Apa waktu tempuh
tersebut sangat lama? Sebenarnya tidak,
karena biasanya memang sekitar 1,5 jam. Hanya
saja ada pengalaman yang ingin dibagi, yaitu situasi perjalanan. Perjalanan dari bandara sampai bundaran
Semanggi lancar, tetapi begitu masuk jalan Sudirman langsung macet. Saya dan pak sopir bertanya-tanya, ada apa
ya? Taksi sampai di Semanggi sekitar
pukul 13.15, berarti baru saja selesai Car Free Day. Harinya juga Minggu sehingga biasanya tidak
macet. Apa karena hujan? Toh hujan tidak deras dan hanya
rintik-rintik.
Sekitar pukul 14.20
taksi baru sampai di bunderan Hotel Indonesia yang ternyata ada demonstrasi
mengutuk serangan Israel di Jalur Gaza.
Saya kurang faham siapa atau organisasi apa yang melakukan demonstrasi. Perjalanan taksi dari bundaran Semanggi
sampai bundaran Hotel Indonesia 1 jam 5 menit.
Bukan main, karena jaraknya paling hanya 1,5 KM.
Sampai di hotel saya
merenungkan demonstrasi di bunderan Hotel Indonesia. Tentang substansi demonstrasi saya setuju,
karena ingin menginformasikan kepada publik tentang peristiwa Gaza, sekaligus
ingin membangun solidaritas untuk membantu masyarakat Gaza yang sedang
menderita. Memang sudah sewajarnya kita
menyuarakan kepedulian dan berupaya ikut membantu korban Gaza.
Namun yang menjadi
pertanyaan, apakah memang caranya harus melalui demonstrasi yang membuat jalan
macet. Saya mencoba menghitung secara
kasar, berapa buah mobil yang terjebak macet. Jika panjang jalan antara
Semanggi-bundara Hotel Indonesia sekitar 15.000 meter (1,5 KM) dan setiap mobil
dalam keadaan macet berjarak 2 m plus panjang mobil 3 m, berarti sepanjang
15.000 meter terdapat 3.000 deretan mobil.
Karena terdapat 4 lajur, berarti ada 12.000 buah mobil yang secara
bersama-sama terjebak macet. Jika
kemacetan terjadi selama 3 jam dan setiap mobil menempuh jalan tersebut dalam
waktu 1 jam berarti di jalur Semanggi-Hotel Indonesia terdapat 36.000 buah
mobil.
Tentu ada jalur
berlawanan, yaitu dari tugu Monas kea rah Hotel Indonesia yang juga terkena
macet. Anggap saja jumlahnya sama,
berarti ada 72.000 buah mobil yang terjebak macet. Jika itu ditambah denga mobil dari arah
Timur, yaitu dari Jl. Imam Bonjol dan dari arah Tanah Abang, jumlah mobil yang
terjebak macet dapat mencapat 100.000 buah.
Kalau selama macet
setiap mobil menghabiskan bensin 1 liter, berarti kemacetan di sekitar Hotel
Indonesia pada tanggal 13 Juli 2014 menghabis bensin 100.000 liter. Jika harga premium dianggap Rp 6.500,-
berarti selama demosntrasi tersebut terhamburkan Rp 650.000.000,- atau 650 juta
rupiah. Itu belum termasuk kerugian
potensial akibat ribuan orang yang terlambat mengikuti suatu acara. Kerugian yang sangat besar yang mungkin tidak
terpikirkan oleh mereka yang melaksanakan demonstrasi.
Mungkin para demonstran
mengatakan “adalah hak saya untuk menyampaikan pendapat, toh tujuannya
baik”. Namun mereka lupa bahwa “orang
lain juga punya hak untuk tidak terganggu oleh implementasi hak kita”. Masyarakat punya hak untuk melewati jalan
umum dan tidak diganggu oleh demosntrasi.
Masyarakat luas juga punya hak untuk tidak dirugikan 650 juta rupiah akibat
bensin yang terbuang karena adanya mobil yang kena macet.
Seandainya dana 650
juta tersebut disumbangkan ke saudara kita yang sedang menderita di Jalur Gaza
rasanya jauh lebih bermanfaat. Apalagi
jika ditambah dengan kerugian potensial mereka yang terpaksa terlambat
mengikuti acara. Saya menduga orang
lebih senang menyumbang ketika aktvitasnya tidak terganggu disbanding dimintai
sumbangan ketika mereka kena macet akibat demonstrasi. Apakah tidak ada cara lain untuk menggalang
solidaritas Gaza selain demonstrasi yang membuat kemacetan? Besar mana manfaat dan mudarat dari
demonstrasi seperti itu? Rasanya kita
perlu memikirkan.
Saya jadi teringat
oleh ungkapan almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid), bahwa perilaku kita di
jalanan menunjukkan tingkat budaya kita. Ketika di jalan, kita merasa sebagai
orang yang paling penting untuk minta prioritas dan minta orang lain
mengalah. Pejabat menggunakan fore
reader untuk menyibak jalan agar perjalanannya lancer. Mereka yang kaya juga dapat menyewa fore
reader saat punya hajat, misalnya pernikahan.
Oknum sopir truk dan bus seringkali menggunakan jalan seenaknya, toh
kendaraan kecil tidak akan melawan.
Mereka yang naik motor banyak yang menyelinap dan memotong kendaraan
lain, karena ingin cepat sampai.
Pengguna angkutan umum juga berhenti di segala tempat karena tidak mau
berjalan jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar