Saya beberapa kali
menyaksikan Hafiz kecil Musa dan kawan-kawannya dalam acara televisi. Namun baru hari ini membaca bagaimana dia
belajar menghafal Al Qur’an, perilaku keseharian, dan harapan dia maupun
orangtuanya. Jawa Pos 21 Juli memuatnya
secara cukup lengkap. Ternyata dia mulai
menghafal Al Qur’an mulau usia 2 tahun dan pada usia 4 tahun sudah dapat
membaca Al Qur’an. Juni lalu dia menuntas
hafalannya. Surat terakhir yang
dihafalkan adalah Al Isra’ dan An Nahl.
Orangtuanya sendiri yang membimbingnya.
Sungguh luar biasa.
Walaupun sudah hafiz
di usia belum genap 6 tahun, keseharian musa ternyata tidak jauh berbeda dengan
teman seusianya. Dia juga senang bermain
dan bercita-cita menjadi pilot. Sang
orantua membebaskan akan berprofesi apa besuk.
Hanya saja untuk menjaga hafalannya, sang orangtua merencanakan Musa
ikut homeschooling.
Saya bukan psikolog
sehingga tidak faham karaterstik psikologi anak seperti Musa. Namun saya menduga Musa adalah anak cerdas
dan sangat mungkin punya IQ diatas rata-rata.
Sebagai orang yang lama mengajar,
saya berpikir anak dengan IQ rata-rata akan sangat sulit menghafal 30 juz Al
Qur’an. Apalagi itu diselesaikan ketika
berusia belum genap 6 tahun.
Saya teringat diskusi
saya dengan Prof Imam Suprayoga manta rektor UIN Malang. Beliau bercerita beberapa lulusan terbaiknya
hafal Al Qur’an, pada hal mereka dari program studi “umum”, ada yang dari
Fisika, Ekonomi, Teknik dan sebagainya.
Yang menarik mereka itu lulus dengan predikat cum laude. Jadi kata kuncinya adalah mereka itu
mahasiswa cerdas dan pekerja keras. Sehingga hasil belajarnya optimal, baik
dari prestasi keilmuan pada bidangnya (cum laude) dan dalam bidang keagamaan
(hafiz).
Jika kita percaya
kalau Musa adalah anak cerdas, sangat mungkin akan berprestasi baik ketika
sekolah dan bukan tidak mungkin akan berprestasi cemerlang dalam
kariernya. Terkait dengan itu, ijinkan
saya mengajuan saran. Pertama, rencana Sang Ayah untuk
memasukkan Musa dalam home schooling dengan alasan untuk menjaga hafalannya
perlu dipertimbangkan kembali. Pengalaman di UIN Malang menunjukkan bahwa
belajar “ilmu umum” tidak menyebabkan mahasiswa lupa belajar agama. Di beberapa kampus umum (non IAIN/UIN)
semangat mahasiswa belajar agama juga cukup tinggi.
Di samping punya
kelebihan, home schooling juga punya kekurangan, yaitu sedikitnya kesempatan
anak yang bersosialisasi dengan kawan-kawan di luar keluarga atau
tetangga. Pada hal bergaul dengan teman
yang heterogen akan menjadi pengalaman hidup dan bekal hidup yang penting bagi
anak-anak. Bukankah pada saat dewasa,
Musa juga akan bergaul dengan banyak orang yang sangat mungkin heterogen
karateristiknya.
Memang saat ini mucul
bentuk home schooling yang dilakukan oleh lembaga tertentu. Namun menurut saya, lembaga seperti itu bukan
lagi home schooling dalam konsep yang sebenarnya. Tetapi hanya “cara” menghindari pendidikan
formal dan akhirnya mirip seperti kursus.
Kedua, saya sangat gembira membaca bahwa Sang Ayah membebaskan Musa untuk akan
menjadi apa atau berprofesi apa setelah dewasa. Sangat bijaksana, karena anak harus diberi
kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya.
Bahkan menurut Jawa Pos, Musa ingin menjadi pilot. Nah, karena ingin menjadi pilot sebaiknya
Musa juga mendapatkan pendidikan yang cocok untuk masuk pendidikan pilot.
Namun karena cita-cita
anak biasanya berubah-ubah, ada baiknya orang tua Musa mencermati kesenangan
Musa atau jika perlu membawa ke psikolog untuk mendapatkan gambaran, profesi
apa yang sesuai dengan bakat dan minat Musa.
Hal itu sangat bagus agar Musa tidak keliru memilih jalur pendidikan.
1 komentar:
masyaallah.........saya mengikuti terus acara hafiz quran, tingkah kekanakan musa tetaplah sesuai usianya, apresiasi hebat sumuda itu sudah hafal quran, saya setuju dengan saran prof samani,semoga generasi indonesia berawal dengan pembentukan akhlak dan berlandaskan al-quran semakin menjamur, musa dan keluarga semoga menginspirasi keluarga-2 indonesia, amiiien
Posting Komentar