Ketika akan
mulai Pemilihan Umum saya khawatir kalau-kalau ada kerusuhan. Paling tidak arak-arakan yang kadang membuat
kemacetan dan juga ada peserta yang mengganggu pengguna jalan lainnya. Seorang teman punya pengalaman mobilnya pesok
karena dipukul dengan tongkat kayu oleh peserta kampanye Pileg tahun 2009. Saya sendiri juga punya pengalaman kena macet
akibat arak-arakan, pada hal saya terburu-buru untuk mengikuti suatu acara.
Seorang kawan berpesan agar berhati-hati
karena pada Pileg 2014 Partai Penguasa (maksudnya Partai Demokrat) tidak lagi
dominan dan karena Pak SBY tidak dapat mencalonkan lagi menjadi presiden,
sangat mungkin pertarungan dalam Pileg akan lebih sengit dibanding Pileg 2009. Sebagai orang yang awam dalam urusan Politik,
saya percaya kepada teman tadi. Oleh
karena itu menjelang kampanye dimulai saya sangat berhati-hati. Saya berusaha tidak lewat di lokasi kampanye
dan berusaha sedapat mungkin menghindar dari berpapasan dengan arak-arakan.
Alhamdulillah, ternyata situasi tidak segawat yang
saya bayangkan. Kapanye Pileg 2014
seperti tidak “semeriah” Pilg 2009. Saya
tidak tahu mengapa. Apa orang sudah jenuh
atau bosan. Apa semangat caleg untuk
mengerahkan masa menurun. Apa “modal”
mereka terbatas, sehingga harus berhemat dalam pengerahakan masa. Jujur saya tidak faham.
Sebahis Pileg selesai, saya berkesempatan ngobrol
dengan seorang teman yang faham akan persoalan politil. Dia bercerita, dalam Pileg yang sengit itu
justru persaingan di dalam partai. Dan
bukan antar partai. Mengapa? Karena sebenarnya setiap partai sudah tahu
ceruk suara masing-masing. Nah dalam
daerah itu, antara caleg dalam satu partai yang justru bersaing. Akibatnya kampanye tidak terlalu meriah
karena hanya disokong oleh individu caleg.
Antar caleg dalam satu partai mengadakan kampanye masing-masing,
sehingga tidak terlalu ramai.
Konon juga banyak caleg yang berpikir efisiensi. Lebih efisien mana kampanye dengan
mengerahkan masa di lapangan atau arak-arakan dengan menggunakan dana itu untuk
membantu konstituennya. Bahasa jasarnya
mana yang lebih efisien kampanye besar-besaran atau melakukan serangan fajar,
serangan siang dan sebagainya. Dan konon
serangan fajar justru lebih efisien.
Saya juga tidak faham, benar tidaknya.
Mungkin justru pembacara lebih tahu.
Namun yang jelas, saya senang karena Pileg berjalan dengan lancar dan
aman.
Setelah Pileg selesai dan mulai masuk tahapan Pilpres,
saya bertemu dengan kawan dari Bidang Keamanan dengan pangkat yang cukup
tinggi. Beliau bercerita Pilpres nanti
akan lebih ramai dibanding Pileg. Konon
dalam Pilpres masing-masing pihak akan berjuang mati-matian. Dan karena kedua pasangan calon adalah baru
(bukan incumbent) dan kebetulan seimbang, maka pertarungan akan sengit.
Saya bertanya, apa bedanya dengan Pileg? Bukankah dalam Pilpres malah hanya dua
pasangan yang akan berkompetisi? Beliau
menjelaskan, dalam Pileg yang bertarung bukan masing-masing caleg secara
individual, tetapi dua kelompok yang masing-masing punya masa besar. Kedua-duanya punya modal besar dan
kedua-duanya sangat yakin akan menang.
Mendengar penjelasan teman tadi saya menjadi agak
faham dan oleh karena itu lebih hati-hati.
Namun setelah masa kampanye Pilpres berjalan, saya menjadi
bertanya-tanya. Kok tidak semeriah yang
saya bayangkan dan seperti yang saya tangkap dari cerita teman tadi. Spanduk juga tidak terlalu banyak dan bahkan
lebih banyak saat Pileg.
Tetapi ada suatu fenomena yang menarik sekaligus
membuat saya kawatir, yaitu kedua pihak membuat deklarasi menang. Saya jadi kawatir lagi, jangan-jangan kalau
ternyata kalah dan tentu nanti ada yang kalah, terus terjadi kekrisuhan. Apalagi, konon di tingkat elit komunikasi
dapat mudah dijalin, tetapi masa akar rumput dapat saja beringas.
Ketika pengumuman Pilpres dilakukan, alhamdulillah keadaan
aman. Waktu itu saya pulanh dari acara
di Senayan dan pulang ke Surabaya.
Pengamatan saya situasi jalan-jalan aman dan tidak ada fenomena yang
mencolok. Memang di dekat rumah saya,
kantir KPU Jawa Timur ada penjagaan aparat keamanan dan juga ada kendaraan
aparat keamanan. Tetapi situasi di
sekitarnya sepi, tidak ada tanda-tanda aktivitas masa. Dan Alhamdulillah, sampai saat artikel ini
ditulis saya tidak menangkap gejala-gejala akan terjadi kekisruhan.
Semoga ini menjadi indikator bahwa demokrasi kita
semaki dewasa. Kita boleh berkompetisi
dan setiap Pileg, Pilpres, Pilgub, Pilkada atau pemilihan apa saja. Namun bekompetisi secara sehat dan ketika
sudah ada yang dinyatakan memang, semua pihak dengan lapangan dada
menerimanya. Saya sangat setuju dengan
ungkapan, bahwa kalah dalam kompetisi itu juga bermartabat. Mengakui kekalahan itu juga terhormat. Yang kalah dan menerima kekalahan dengan
lapang dada itu justru sudah membuktikan darma baktinya kepada negara. Yaitu melalui keikutsertaan dalam
Pilpres/Pileg/Pilgub/Pilkada dan lainnya.
Sementara yang menang masih harus membuktikan janji-janjinya selama
kampanye dan janjinya untuk mengemban amanah sebagai pemimpin. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar