Tanggal 10 Juni 2014
pagi saya kedatangan tamu, Prof. DR. Philip K. Widjaya. Dari karti namanya, beliau paling tidak
memiliki tiga jabatan, yaitu Sekretaris Umum Paguyuban Sosial Marga Tionghoa
Indonesia, Sekretaris Jenderal Walubi, dan Committee Head of International
Academic Relationship & School Affair Advisory-Universitas Ma Chung Malang. Saya dikenalkan kepada beliau oleh mantan
Sekretaris Pelaksana Kopertis VII, Drs. Made Mertha, MSi.
Karena baru pertama
kali bertemu dan belum pernah punya aktivitas yang berkaitan tentu dalam
pertemuan tersebut lebih banyak untuk menanyakan dan bercerita tentang kegiatan
masing-masing. Dan karena tahu kalau
Prof. Philip adalah Sekretaris Umum Paguyuban Sosial Marga Tionghoa, saya
bercerita kalau Unesa memiliki Confucius Institute (CI) yang pendiriannya
dibantu oleh Pemerintah China, melalui Hanban.
Saya juga bercerita kalau setiap tahun kami diundang dalam International
Confucius Institute Conference yang persertanya dalam berbagai negara.
Beliau juga bercerita
kegiatannya, baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satunya tentang Universitas Ma Chung,
yang ternyata didirikan oleh alumni Sekolah Menengah Ma Chung yang ditutup pada
tahun 1966. Alumni tersebut tersebar di
berbagai negara dan banyak yang sukses.
Melalui berbagai dikusi, disepakati para alumni itu mendirikan
Universitas Ma Chung. Yang boleh menjadi
stake holders dengan menyumbang dana hanya 100 orang dan dari jumlah tersebut
hanya 5 orang yang boleh “cawe-cawe” dalam pengelolaan. Yang lain hanya boleh menyampaikan saran dan
itupun harus melalui 5 orang yang telah ditunjuk. Menurut beliau, kalau 100 orang semua ikut
cawe-cawe manajemen akan menjadi ruwet.
Ketika diskusi
tentang CI, saya mengatakan kalau Unesa ingin kegiatannya tidak hanya kursus
bahasa Manadarin, tetapi menjadi CI dapat menjadi tempat pertukaran budaya
antara Indonesia dan China. Maksudnya
anak-anak Indonesia dapat belajar China di CI, sebaliknya anak-anak keturunan
Tionghoa dapat belajar budaya Indonesia.
Melalui kegiatan tersebut diharapkan terjadi interaksi intens antar
mereka. Dengan begitu keberadaan CI
Unesa dapat ikut mendorong “pembauran” antara anak-anak keturunan Tionghoa dan
anak-anak pribumi.
Setelah itu kami
diskusi secara intens dan saya sangat tertarik terhadap analisis dan ulasan
Prof Philip. Dari diskusi itu saya
menyimpulkan bahwa China memang sedang mencari cara untuk menggandeng
negara-negara lain. Sebagai negara yang
diperkirakan akan menjadi super power, China sedang mencari pintu untuk memulai
gerakannya untuk menanamkan pengaruhnya di negara lain. Konon kekuatan militer dan ekonomi tampaknya
kurang memberikan dukungan yang kukuh.
Oleh karena itu, China memilih menggunakan pintu diplomasi
kebudayaan. Dan dukungan pendirian CI di
berbagai negara merupakan salah satu bentuk diplomasi tersebut.
Yang lebih menarik
adalah mengapa faktor ekonomi tidak cukup kukuh sebagai alat diplomasi
China. Bukankah menurut berbagai berita
kekuatan ekonomi China sangat besar dan sudah menjadi pesaing bagi negara super
power Amerika Serikat. Banyak ahli
memperkirakan GDP China akan segera menyalip negara-negara maju, seperti
Amerika Serikat, Jerman dan Jepang.
Prof Philip
mengatakan bahwa dilihat dari pola perekonomiannya, negara-negara di dunia ini
dapat dibagi menjadi empat kategori.
Pertama, negara yang mengandal otak.
Negara jenis ini mengandalkan pertumbuhan ekonominya dari paten dan
berbagai bentuk hasil riset yang menghasilkan royalty. Aktivitas ekonomi di negara seperti itu
banyak diwarnai oleh berbagai bentuk riset.
Kedua, adalah negara
yang mengandalkan ekonominya dari industri dengan teknologi tinggi. Dengan muatan teknologi tinggi, negrara
tersebut mendapatkan nilai tambah yang sangat besar. Bahan baku yang sangat murah akan berubah
menjadi produk dengan nilai mahal, setelah diolah menjadi produk dengan
teknologi tinggi.
Ketika, adalah
negara yang mengolah bahan baku dengan teknologi sederhana. Atau kalau dengan teknologi tinggi,
teknologinya dikuasai oleh fihak lain dan industri di negara tersebut sekedar
mengerjakan, sesuai dengan rancangan, bahan dan control kualitas dari pihak
lain. Dengan pola itu yang mendapatkan
nilai tambah besar adalah yang memiliki teknologi, sedangkan yang mengerjakan
hanya sekedar mendapatka upah kerja.
Ke-empat adalah
negara yang menjual bahan mentah yang dimiliki tanpa diolah lebih dahulu. Dengan demikian negara seperti itu hanya
mendapatkan harga bahan mentah dan tidak mendapatkan nilai tambah sama sekali.
Menurut Prof Philip,
China masih termasuk kategori ketiga.
Memang sudah tumbuh industry dna produkna sudah menguasai pasar
dunia. Namun yang dihasilkan adalah
barang-barang yang dibuat dengan teknologi sederhana dan harganyapun juga
murah. Kalau ada pabrik dengan teknologi
tinggi di China, teknologinya dimiliki oleh perusahaan dari luar China. Jadi pabrik di China hanya mendapatkan ongkos
kerja, sedangkan nilai tambah yang besar diperoleh oleh pemiliki teknologi di
luar China.
Mendengar penjelasan
itu saya jadi ingat cerita anak saya yang pernah bekerja di perusahaan garmen
terkenal di Eropa. Ternya pabriknya di
China. Di Eropa hanya membuat desain,
menentukan bahan dan kontrol kualitas.
Pembuatan baju dan sebagainya dilakukan di China. Mungkin mirip dengan industry otomotif di
Indonesia, yang desain dan sebagainya dibuat di Jepang tetapi pabriknya di
Indonesia. Tentu keuntungan terbanyak
diperoleh oleh yang punya teknologi.
Kalau China baru
masuk kategori ketiga, lantas Indonesia masuk kategori berapa ya? Jangan-jangan kategori ke-empat, karena kita
menjual hasil-hasil tambang berupa bahan mentah. Dan yang menarik kemudian kita mengimpor
hasil tersebut setelah diolah menjadi produk tertentu. Semoga kita dapat belajar dan setapak demi
setapak dapat naik kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar