Pasal 51 ayat (2)
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara jelas
menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Sementara itu, pasal 62 ayat (1)
Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa
perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai
pusat penyelenggaraan tridarma. Pasal 62
ayat (3)-nya menyebutkan bahwa pelaksanaan otonomi tersebut dieavaluasi secara
mandiri oleh perguruan tinggi.
Jadi jelas sekali bahwa perundang-undangan mengamanatkan bahwa
pengelolaan perguruan tinggi dilaksanakan secara otonom. Semestinya perguruan tinggi memiliki ruang
gerak yang cukup luas untuk mengatur sumberdaya yang dimiliki. Tentu ada rambu-rambu secara umum, misalnya
pengelolaan itu harus dilaksanakan scara akuntabel dan transparan, sehingga
setiap saat pengelola dapat dimintai pertanggungjawaban.
Namun demikian apakah seperti itu kenyataannya? Ketua Majelis Guru Besar ITB, Prof Harijono
Tjokronegoro (2012) menyatakan bahwa hakekat otonomi perguruan tinggi nyaris
lenyap, otonomi seolah dianggap sesuatu yang baru dan sebagai suatu penyakit
yang sedang tumbuh. Ungkapan dalam kata sambutan buku berjudul “Otonomi
Perguruan Tinggi: Sebuah Keniscayaan” itu menunjukkan kerisauan beliau dan
hampir semua penulis di buku tersebut tentang sempitnya ruang gerak perguruan
tinggi di Indonesia.
Tanggal 3 Juli 2014, lima belas PTN (Perguruan Tinggi Negeri) diundang
oleh Ditjen Dikti untuk membahas OTK (organisasi dan tata kerja) yang
diusulkan. Termasuk beberapa yang belum
mengusulkan, tetapi diduga memiliki struktur lapangan yang tidak sesuai dengan
OTK yang telah disetujui oleh Pemerintah.
Salam satu yang diundang adalah Unesa, karena memang sedang mengusulkan
OTK baru agar sesuai dengan sitauasi dan kondisi di Unesa.
Penjelasan Sekretaris Ditjen Dikti tentang problema OTK sangat
menarik. Selama ini hampir semua PTN memiliki
struktur yang tidak sama dengan OTK yang telah disahkan oleh Pemerintah. Dan setiap PTN memiliki strukur
sendiri-sendiri yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Di masa kalu hal itu tidak menjadi masalah,
tetapi dengan penertiban keuangan dapat menimbulkan masalah. PTN tidak diperbolehkan membayar tunjangan
jabatan untuk jabatan/posisi/struktur di luar OTK yang telah disetujui oleh
Pemerintah.
Masalah berikutnya, banyak jabatan yang selama ini sudah diterapkan di
PTN tidak dikenal dalam nomerklatur Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Kemenpan dan RB), sehingga akan sulit disetujui jika struktur
terebut diusulkan. Jika tidak disetujui,
maka tidak akan dapat dibayarkan tunjangan jabatannya, walupun dengan menggunakan
PNBP (penerimaan negera bukan pajak) yang dihasilkan oleh PTN sendiri. Oleh karena itu jika ingin aman, PTN harus
kembali ke struktur baku yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Apa yang menarik
dalam hal ini? Struktur PTN
diseragamkan menurut desain Pemerintah.
Pada hal selama ini hamper semua PTN memodifikasi struktur tersebut agar
lebih sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. Modifikasi itu pasti didasari agar
pengelolaan PTN dapat lebih efektif. Modifikasi itu tentu bukan asal-asalan dan
bukan sekedar ingin beda, tetapi tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi
lapangan. Dengan kata lain, struktur
baku dari Pemerintah tidak lagi cocok dengan kondisi lapangan, sehingga
disesuaikan.
Pertanyaan yang
muncul, bukankah baik Undang-undang Sisdiknas dan Undang-undang Dikti
menyatakan bahwa pengelolaan perguruan tinggi dilakanakan dengan prinsip
otonomi? Jika semua harus dibakukan,
dimana letak otonomi? Jadi ada benarnya
kerisauan Prof. Harijono Tjokoronegoro tentang kurangnya otonomi pengelolaan
perguruan tinggi.
Saya membayangkan
tambahan kata “Reformasi Birokrasi” dan Kemenpan, dimaksudkan agar pola kerja
birokratis di lembaga pemerintahan dapat dihilangkan atau paling tidak
dikurangi. Sudah menjadi rahasia umum lambatnya
layananan di lembaga pemerintahan dan juga kurang lincahnya manajemen di
lembaga pemerintahan diakibatkan oleh pola kerja yang birokratis. Jika ingin lincah, suatu organisasi harus
belajar untuk menyesuaikan struktur dan pola kerjanya agar sesuai dengan
tuntutan zaman. Itulah salah satu ini
ajaran Peter Senge (1995) dengan apa yang disebu learning organization. Saya menduga PTN menerapkan prinsip itu, ketika
memodifikasi struktur organisasinya.
Semoga Pemerintah, dalam hal ini Kemenpan dan RB serta Kemdikbud dapat
memahami prinsip itu pula.
Sejauh pengetahuan
saya, banyak pejabat di Kemdikbud dan Kemenpan dan RB adalah para dosen dan
bahkan dulu pernah menjadi pejabat di PTN.
Saya yakin beliau dulu juga melakukan modifikasi organisasinya, ketika
menjadi pejabat di PTN. Apakah dengan
begitu, beliau akan mudah memahami keinginan PTN memodifikasi struktur
organisasinya? Itulah pertanyaan yang
mengganjal benak saya.
Saya jadi teringat
metaphora “menantu baru dan mertua baru”.
Semua mertua tentu pernah jadi menantu baru, sewaktu dulu baru menikah. Sewaku jadi menantu baru, tentu dia ingin
memiliki kebebasan untuk mengatur rumah tangganya. Bukankah rumah tangga baru
itu sudah “lepas” dari rumah tanggan orang tua maupun mertua, sehingga
semestinya memiliki kebebasan untuk mengaturnya.
Sebaliknya, sang
mertua baru punya pandangan yang berbeda.
Dia merasa memiliki pengalaman panjang dalam mengelola rumah tangga dan
ingin menularkan itu kepada rumah tangga baru anaknya. Tentu maksudnya baik. Disitulah mulai muculnya Tarik menarik antara
menantu dan mertua. Maksudnya sama-sama
baik, tetapi sudut pandangnya yang berbeda.
Apakah pejabat di
Kemenpan dan RB serta di Kemdikbud memiliki pola piker seperti metaphora mertua
baru? Apakah pejabat di PTN memiliki
pola piker seperti menantu baru?
Mudah-mudahan tidak.
Mudah-mudahan, kita semua mengingat nasehat Michael Porter (1998), bahwa
keasalahan fatal yang sering terjadi dalam manajemen adalah menganggap pola
yang sukses di suatu organisasi akan sukses jika diterapkan di organisasi lain.
Mengapa?
Karena setiap organisasi memiliki situasi yang berbeda, sehingga memerlukan
pola pengelolaan yang tidak tepat sama.
Apakah setiap PTN
memiliki kondisi yang benar-benar berbeda?
Rasanya juga tidak. Tentu ada
hal-hal dasar yang sama. Namun tentu
juga ada hal-hal yang berbeda. Jadi
memang diperlukan standar dasar organisasi PTN.
Namun setiap PTN harus diberi ruang gerak untuk menyesuaikan OTKnya
seseuai dengan situasi dan kondisi setempat.
PTN sebaiknya diberi ruang gerak cukup, sesuai dengan prinisp
otonomi. Batasan yang harus dipegang
adalah akuntabilitas dan transparansi.
Artinya, modifikasi harus dilakukan secara transparan dan PTN harus
dapat mempertanggungjawabkan modifikasi tersebut.
Yang harus dihindari
adalah pengekangan berlebihan sehingga PTN menjadi tidak lincah. Sebaliknya juga jangan sampai menyusun
struktur yang berlebihan, sehingga pengelolaan menjadi tidak efisien. Sesuai dengan prinsip dalam pendidikan,
berilah ruang gerak siswa/mahasiswa semaksimal mungkin agar muncul semangat
belajar dan kreativitasnya. Namun
berilah rambu-rambu pokok agar mereka tidak salah jalan. Juga sesuai prinsip manajemen, berilah
pimpinan unit kerja menyesuaikan pola pengelolaan unitnya, walaupun tetap dalam
koridor umum. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar