Tahun
2008an pertanyaan tersebut beberapakali saya terima. Pertanyaan seperti itu mucul ketika di mereka
membaca buku lama saya (pertama terbit tahun 2007) yang berjudul Menggagas
Pendidikan Bermakna. Memang Bab I buku itu
berjudul Untuk Apa Anak Harus Sekolah.
Isinya menggambarkan bahwa pendidikan yang berjalan saat ini seringkali
membekali anak-anak dengan sesuatu yang tidak cocok dengan kebutuhan nyata saat
mereka sudah lulus dan terjun bekerja dan bermasyarakat. Akibatnya banyak anak yang ketika sekolah
mendapat prestasi cemerlang dan menjadi bintang kelas, namun setelah lulus dan
bekerja serta bermasyatakat prestasinya biasa-biasa saja. Bahkan seringkali kalah disbanding temannya
yang dulu ketika sekolah prestasinya biasa-biasa saja. Prof. Dr. Satryo S Brodjonegoro, Dirjen Dikti
waktu itu, ketika membaca buku tersebut juga setengah protes. Kok isinya seperti menyuruh orang tidak
sekolah.
Saya
tidak tahu mengapa pertanyaan serupa beberapa kali mucul lagi. Apakah ada yang baru membaca buku tersebut
atau ada masalah lain. Atau mungkin
mereka mengikuti seminar saya dan saya kebetulan menyinggung masalah
ketidaksinkronan isi pendidikan di sekolah dengan kebutuhan nyata di lapangan. Memang beberapa kali saya menyebut itu,
bahkan juga mengutip statement Tony Wagner (2008) dalam bukunya The Global
Achievement Gap, yang isinya kerisauan dia terhadap isi pendidikan di Amerika
yang dianggap usang dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman.
Untuk
memahami masalah tersebut, ada baiknya kita ketahui sejarah persekolahan. Pada awal peradaban manusia, anak belajar dan
dididik oleh orangtuanya sendiri. Anak belajar
berburu, belajar bercocok tanam, memelihara ternak, berperang dan
sebagainya. Tentu pendidikannya
berbentuk informal dan berlangsung sehari-hari di rumah/keluarga. Siapa yang menjadi guru atau yang
mengajari? Ya orang tua atau orang yang lebih tua atau yang lebih
pandai di keluarga atau komunitas itu.
Jadi anak tentang kehidupan sehari-hari kepada orang di sekitarnya dan
bahkan dari alam atau kejadian yang dialaminya sehari-hari. Misalnya ketika anak kena api dan merasa
panas, anak belajar dari kejadian tersebut.
Ketika
kebudayaan mulai berkembang dan mulai dikenal masalah-masalah yang terkait
dengan norma dan tata nilai, mulailah ada orang ya dituakan dalam suatu
komunitas. Orang itu difahami komunitasnya
memiliki kelebihan atau kearifan atau kesaktian, sehingga menjadi tempat orang
bertanya dan meminta nasehat. Pada
perkembangannya, orang semacam itu menjadi “guru” bagi komunitasnya. Karena mulai banyak orang yang belajar kepada
orang tersebut dan banyak orang tua yang mendorong anak-anaknya belajar ke
“guru” tersebut, tempat tinggal atau tempat guru tersebut “mengajar” dapat
disebut perguruan.
Perguruan
itulah embrio dari padepokan atau pesantren atau sejenisnya, yang makna
dasarnya adalah tempat para murid/cantrik/santri menimba ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dipelajari berkisar
pada hal-hal yang terkait dengan filosofi kehidupan, hal-hal yang terkait
dengan spiritual. Dalam perkembangannya
juga mencakup ilmu pengetahuan (umum) sesuai dengan perkembangan. Misalnya ilmu logika, ilmu perbintangan, ilmu
pertanian dan sebagainya. Kita dapat
menelusuri perkembangan pola itu pada beberapa pesantren “tradisional” dan
perguruan-perguruan aliran kepercayaan yang sampai sekarang masih eksis.
Apa
yang dipelajari di padepokan atau pesantren tersebut terus berkembang sesuai
dengan perkembangan kebudayaan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dan tentu saja pola pembelajaran maupun
materi ajar semakin lama semakin terstruktur.
Dengan kata lain pola pendidikannya semakin sistematik. Itulah yang menjadi embrio sekolah seperti
yang sekarang kita kenal. Oleh karena
itu dapat kita mengerti kalau sekolah-sekolah tua kental dengan muatan agama
atau keyakinan atau filsafat.
Perkembangan
kehidupan manusia kemudian menimbulkan mobilitas dan terjadi interkasi antar
komunitas yang tinggal di lokasi yang berbeda.
Bersamaan dengan itu komunikasi dan interkasi antar perguruan dan
padepokan juga terjadi. Akibatnya mulai
tumbuh kebutuhan untuk penyamaan unsur-unsur pokok dalam persekolahan, dengan
maksud agar jika anak pindah dari sati daerah ke daerah lain, dapat juga pindah
sekolahnya.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bawah sekolah pada awalnya merupakan
pendidikan berbentuk informal, tidak standardized dan isi pokoknya adalah
hal-hal yang terkait dengan kecakapan hidup (life skills). Ketika ilmu pengetahuan berkembang pesat, kemudian
bobot ilmu pengetahua (sebut teori) mulai mendominasi isi pendidikan di
sekolah. Apalagi ketika perkembangan
ilmu pengetahuan bercabang-cabang seperti sekarang ini.
Ketika
kritik terhadap sekolah sangat kencang, apa betul sekolah tidak diperlukan
lagi? Apakah betul anak-anak dapat belajar sendiri dari sumber-sumber informasi
yang melimpah ruah? Apakah betul
anak-anak langsung dapat berlajar kecakapan hidup tanpa didukung oleh ilmu
pengetahuan teoritik, seperti Matametika, Fisika, Sosiologi, Ekonomi dan
sebagainya?
Saya
yakin kritik terhadap sekolah memang diperlukan. Tetapi menghapus sekolah sama sekali dan
menyuruh anak-anak belajar sendiri langsung dari kehidupan dan dari
sumber-sumber yang memang melimpah, rasanya juga tidak tepat. Apalagi jika orang tua yang diharapkan
membimbing anaknya dalam belajar tidak mampu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan secara memadai. Oleh karena
itu, yang diperlukan bukan menghilangkan sekolah dan menghilangkan peran guru,
tetapi merekonstruksi pendidikan di sekolah dan menataulang peran guru.
Orientasi
pendidikan di sekolah harus dikembalikan untuk membantu anak-anak belajar
memecahkan problema kehidupan. Namun
harus dipastikan memecahkan problema kehidupan tersebut dilakukan dengan
berpegang pada norma-norma kehidupan dan secara kreatif memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang tersedia.
Tugas guru bukan memberikan informasi, karena informasi sudah tersedia
dimana-mana. Tugas guru adalah
mendampingi, membimbing dan memotivasi anak-anak dalam belajar memecahkan
problema kehidupan.
Pola
tersebut dapat diwujudkan sebagai authentic problem based learning, dengan
catatan bekal ilmu pengetahuan untuk memecahkan problema nyata tersebut tetap
dipelajari, sesuai dengan yang diperlukan.
Jadi ilmu pengetahuan dipelajari secara fungsional.
Peran
guru tetap penting, karena pendidikan harus dirancang untuk anak dengan
kemampuan rata-rata. Anak-anak yang
cerdas, mungkin sekali dapat belajar secara mandiri dengan bimbingan minimal
dari guru. Namun anak-anak dengan
kemampuan dasar rata-rata tentu memerlukan bantuan dan bimbingan cukup
banyak. Apalagi mereka yang kemampuan
dasarnya kurang, tentu sangat memerlukan bantuan guru. Semoga.
1 komentar:
Bodoh.. Ya iya lah sekolah diperlukan.
Posting Komentar