Walaupun sudah lama
mempelajari hal-hal yang terkait pendidikan dan juga sudah lama bekerja di
bidang pendidikan, baru sekitar tahun 2006 saya membaca langsung tulisan Ki
Hajar Dewantoro. Waktu itu saya diberi
buku oleh Pak Siswanto Hadi (waktu itu pejabat di Ditjen Dikti Kemdukbud) berjudul
“Karya K.H. Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan” terbitan Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa, Cetakan Ketiga Tahun 2004. Tampaknya Taman Siswa ingin agar tulisan Ki
Hajar Dewantara dibaca banyak orang, sehingga dihimpun dan dibukukan. Saya beruntung mendapatkannya.
Membaca tulisan Ki
Hajar Dewantara menumbuhkan dua kesan yang sangat kuat dan saling bertolak
belakang. Pertama, Ki Hajar sangat pandai dan berpikiran sangat luas. Artikel atau makalah tersebut ditulis pada
tahun 1930an dan bahkan ada yang ditulis tahun 1928. Namun isinya sungguh luar biasa. Teori Benyamin S. Boom tentang tiga domain
pendidikan yaitu kognitif, afektif dan psikomotor yang disampaikan tahun 1957
(kalau saya tidak salah), sudah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tahun
1930. Pada Konggres Pertama Taman Siswa
Ki Hajar menyampaikan pemikiran bahwa pendidikan adalah “daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman Siswa
tidak boleh dipisah-pisahkan bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik
selaras dengan dunianya”.
Tiga ranah yang
disebutkan oleh Ki Hajar (1930) sama dengan yang disebut oleh Bloom
(1957). Jadi Ki Hajar 27 tahun lebih
dahulu dibanding Bloom. Di samping itu,
Ki Hajar menyebut bahwa ketiga ranah tersebut tidak boleh
dipisah-pisahkan. Catatan ini yang tidak
dimiliki oleh Bloom dan menurut saya pendapat Ki Hajar yang lebih tepat. Mengapa?
Karena ketiga ranah tersebut sebenarnya saling berkaitan, saling tumpang
tindih. Leonel Messi tentu tidak hanya
terampil kakinya tetapi juga cerdas dalam memgambil keputusan ketika bermain
bola.
Hal lain yang
menurut saya sangat hebat, adalah penekanan pendidikan karakter. Jika kita baru tahun 2009 membuat program
pengarusutamaan pendidikan karakter dan Thomas Lickona baru pada tahun 1991
mengangkat pentingnya pendidikan karakter, Ki Hajar Dewantara sudah sejak tahun
1930an terus mendesakkan pentingkan pendidikan karakter sebagai salah satu
bagian penting pendidikan.
Yang lebih hebat
lagi, bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan bukanlah sekedar memperlajari mata
pelajaran, tetapi menyiapkan anak-anak agar sukses dalam hidup dak kehidupan
selaras dengan zamannya. Jika Per Dalin
dan Val D. Rust baru berbicara itu pada tahun 1996 melalui bukunya “Towards
Schooling for the Twenty-First Century”, Ki Hajar sudah menyampaikan itu pada
tahun 1930.
Kesan kedua, adalah sekolah-sekolah Taman
Siswa yang tidak berkembang dan seakan tidak mampu mengikuti dinamika
perkembangan pendidikan di Indonesia. Membaca buku-buku Ki Hajar dan meyakini
bahwa pemikiran beliau tentang pendidikan sangat bagus, tidak demikian halnya
perkembangan sekolah-sekolah Taman Siswa.
Ketika masih sekolah di SMPN-1 Ponorogo saya memiliki teman yang
bersekolah di SMP Taman Dewasa (waktu itu kita kenal dengan SMP TD). Gedung sekolahnya sederhana tetapi asri
dengan halaman ditanami pohon mangga yang rindang. Jujur saya hanya tahu kondisi fisik SMP TD
yang terletak di jalan raya yang setiap hari saya lewati, tetapi tidak tahu
bagaimana proses pembelajarannya. Seumur
anak SMP tentu belum faham tentang itu dan kebetulan saya tidak bersekolah di SMP
TD. Namun waktu itu SMP TD termasuk yang
favorit disamping SMP Negeri yang hanya satu buah.
Setahu saya sekarang
SMP TD di Ponorogo sudah tidak ada. Di
Surabaya, seingat saya juga pernah ada Sekolah Taman Siswa di Jl. Gentengkali
dan kalau tidak salah juga ada di sekitar Pacarkeling. Namun perkembangan sekolah-sekolah Taman
Siswa di Surabaya tampaknya kurang menggembirakan. Saya juga pernah diundang dalam suatu diskusi
pendidikan bersama Prof HAR Tilaar dan Mas Darmaningtyas, di sebuah sekolah
Taman Siswa di Jakarta Utara. Kesan saya
kondisi sekolah tersebut juga tidak terlalu menggembirakan.
Saya tidak memiliki data berapa jumlah sekolah
Taman Siswa di Indonesia dan bagaimana kondisi sekolah-sekolah tersebut. Namun sejauh yang saya tahu, sekolah Taman
Siswa tidak masuk dalam perbincangan sekolah favorit dan bahkan tidak menjadi
tujuan orang tua yang sedang memilihkan sekolah untuk anaknya. Jadi seakan ada paradox, ada hal yang
bertolak belakang. Di satu sisi, konsep
pendidikan Taman Siswa diakui merupakan konsep yang sangat bagus, bersumber
dari pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Namun di sisi lain, sekolah-sekolah Taman
Siswa justru tidak berkembang dan seakan tenggelam dalam persaingan dengan
lembaga pendidikan yang sangat beraneka ragam di Indonesia. Mengapa begitu? Itulah pertanyaan yang sampai saat ini saya
belum mendapat penjelasan yang komprehensif.
Memikirkan fenomena
Taman Siswa, saya jadi teringat diskusi kecil saya dengan beberapa teman
tentang koperasi. Sebagai sebuah konsep
organisasi dan lembaga ekonomi, koperasi yang konon dipelopori oleh Bung Hatta
diyakini banyak orang sangat bagus.
Mungkin karena Bung Hatta ikut mengarsiteki UUD 1945 atau para penyusun
UUD 1945 yakin akan kebaikan konsep koperasi, konon pasal-pasal tentang ekonomi
dalam UUD 1945 sebenarnya dijiwai oleh konsep koperasi.
Namun kita juga
menyaksikan perkembangan koperasi kurang menggembirakan. Saya belum pernah mendengar koperasi yang
berkembang pesat dan mampu berkompetisi dengan lembaga ekonomi lain, seperti
perusahaan dan bentuk lainnya. Di negara
maju juga ada lembaga semacam koperasi (biasanya disebut cooperative), tetapi
juga sulit untuk bersaing dengan lembaga ekonomi lainnya.
Mengapa? Konsep ekonomi dan lembaga ekonomi yang sangat
bagus, tetapi tidak mampu bersaing dengan lembaga lainnya. Jadi sangat mirip dengan sekolah-sekolah
Taman Siswa yang memiliki konsep pendidikan sangat bagus, tetapi kalah bersaing
dengan sekolah-sekolah lain. Dua
fenomena yang mirip. Tentu bukan karena
konsepnya yang keliru.
Mungkinkah itu
karena factor manajemen? Is that a matter of management? Apakah pola pengolaan sekolah-sekolah Taman
Siswa kalah canggih dengan sekolah swasta lain, sehingga kalah dalam
persaingan? Mungkinkah pengelolaan koperasi
kalah canggih dengan persuahaan lain, sehingga kalah bersaing di era yang
sangat kompetetif sekarang ini?
Saya merasa tidak
memiliki kompetensi untuk menjawab hal tersebut. Namun ijinkah saya menyampaikan hasil
pengamatan sepintas. Sekarang sekolah-sekolah
swasta dikelola dengan manajemen modern.
Bahkan banyak sekolah-sekolah “maju” yang manajemennya di back up oleh
orang-orang yang pengalaman di dunia bisnis.
Saya sendiri merasa kagum dengan gaya manajemen sekolah seperti itu,
sekaligus bertanya-tanya “kok sekolah dikelola seperti bisnis”. Seingat saya pada tahun 1980an Johaner
Untoro, saat itu Rektor Universitas Pelita Harapan, menyebut pendidikan sebagai
entitas noble industry. Maksudnya industry
tetapi dengan tujuan mulia. Dikelola
seperti layaknya industry tetapi tujuannya tetap seperti pendidikan pada
layaknya.
Jika dugaan itu
benar, lembaga pendidikan seperti Taman Siswa
dan juga koperasi harus mulai memikirkan untuk menerapkan manajemen
modern. Harus dipikirkan bagaimana
mengelola sekolah dan koperasi dengan mengadop prinsip-prinsip manajemen modern,
namun tetap memegang tegus tujuan mulia pendidikan dan tujuan mulia koperasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar