Ketika menempuh S2
tahun 1985-1987 saya mempelajari dengan sungguh-sungguh perdebatan dua mazab
perencanaan pendidikan (kalau boleh disebut begitu), yang biasa disebut dengan
Man Power Planning dan Human Development Approach. Perdebatan yang tidak berujung, karena
keduanya memiliki asumsi dan titik tolak yang berbda. Ketika 2-4 September 2015 (30 tahun
kemudian), saya mengikuti International Vocational Education and Tranining
(VET) Conference di Bremen Jerman, dua aliran itu masih terasa sangat kental.
Aliran man power
planning intinya pendidikan diarahkan untuk mendukung pembangunan suatu bangsa,
dengan asumsi dasar orang (individu) itu bagian dari suatu masyarakat dan
bangsa. Oleh sebab itu pendidikan harus
membekali anak-anak muda untuk pada saatnya dapat berperan aktif dalam proses
pembangunan masyarakat dan bangsanya.
Jabaran selanjutnya, jenis pendidikan dan tingkatannya harus didasarkan
atas prediksi atau arah pembangunan bangsanya.
Negara-negara Eropa kontinental merupakan negara-negara yang menganut
faham itu, walaupun ada yang sangat ketat ada pula yang longgar.
Untuk mendukung pola
itu dan sekaligus untuk mengupayakan agar seseorang dapat menempuh pendidikan
yang sesuai dengan minat dan bakatnya, maka bimbingan dan konseling menjadi
sangat penting. Sejak awal anak-anak
sudah diarahkan untuk mengikuti alur pendidikan yang sesuai dengan minat dan
bakatnya. Jalur pendidikan juga sudah
disesuaikan dengan lapangan kerja yang tersedia. Harapannya, setiap orang akan mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, dan pekerjaan itu memang
merupakan bagian dari pembangunan negara.
Negara yang menganut
faham ini biasanya memiliki pendidikan kejuruan (lebih luas dari sekolah
kejuruan) atau yang biasa disebut dengan VET atau TVET (Technical and
Vocational Education and Training) yang kokoh.
Jerman, Swiss merupakan dua negera contoh. Lebih longgar sedikit, misalnya Belanda dan
negara-negara sekitarnya.
Di lain pihak, human
development approach bertolak dari pandangan bahwa pendidikan itu bertujuan
untuk mengembangkan potensi seseorang dan tidak terkait langsung dengan
pekerjaan. Sementara setiap orang
memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri dan tidak ada orang lain
yang memaksanya. Oleh karena itu, jenis
dan tingkatan pendidikan tidak dikaitan dengan pembanguna suatu bangsa,
katakanlah perkembangan industri, tetapi dengan ilmu pengetahuan yang diyakini
menjadi bekal utama seseorang dalam mengembangkan diri.
Derivasi dari faham
itu, setiap orang boleh memilih jenis dan jenjang pendidikan apa saja, sesuai
dengan keinginannya. Orang juga boleh zig-zag dalam menempuh pendidikan,
misalnya S1 Biologi tetapi melanjutkan ke S2 Taknik. Yang membatasi hanyalah
kemampuan untuk menempuh pendidikan itu.
Dengan pembatasan itu, orang akan apakah Anda mampu secara akademik dan
secara finansial menempuh suatu jalur dan jenjang pendidikan.
Negara yang paling
mencolok mengiktu faham itu adalah Amerika Serikat yang sebenarnya diwarisi
dari Inggris. Demikian pula
Australia. Oleh karena itu, di Amerika
Serikat dan Australia istilah VET atau TVET tidak banyak dikenal. Amerikan menggunakan istilah CET (Career and
Technical Education) dan Australia menggunakan istilah TAFE (Techical and
Futher Education).
Amerika Serikat tidak
memiliki SMK, namun setiap siswa SMA akan menempuh CTE sebagai matapelajaran
yang dapat ditempuh di sekolahnya sendiri atau di Training Center. Di tingkat universitas juga dikenal Community
College yang seringkali menyediakan program pelatihan keterampilan untuk
bekerja.
Setahu saya TAFEdi
Australia merupakan “warung padang” pendidikan, karena menyediakan pelatihan
pendek yang hanya untuk beberpa bulan, misalnya untuk hair dresser (potong
rambut) sampai setara S1 atau bahkan beberapa TAFE punya S2. Tentu S1 dan S2nya mirip dengan politeknik di
Indonesia.
Yang mengherankan dan
sekaligus perlu kita pelajari, orang-orang di negara yang menganut faham man
power planning maupun human development approach, menghargai pekerjaan yang
sifatnya keterampilan dan juga menghargai pendidikan kejuruan
(TVET/VET/CTE/TAFE). Mereka tidak merasa
rendah diri jika menempuh pendidikan di jalur itu dan juga tidak merasa rendah
diri jika bekerja di sektor keterampilan atau sering disebut dengan blue colour
worker. Mungkin karena gaji pekerja
seperti itu cukup tinggi dan konon lebih tinggi dibanding white colour worker
yang rendahan. Juga karena untuk
mengerjakan suatu pekerjaan keterampilan seseorang harus memiliki
sertifikat. Misalnya tukang batu, tulang
pasang pipa air, tukang cat harus memiliki sertifikat. Tanpa sertifikat, seseorang tidak boleh
mengerjakan, walupun untuk rumahnya sendiri.
Konon jika memaksa mengerjakan dan tidak ketahuan aparat, nanti akan
menjadi masalah jika kebakaran atau sejenisnya.
Bagaimana dengan
Indonesia? Seingat saya, sampai tahun
1970an Indonesia lebih dekat dengan man power planning. Mungkin mewarisi dari era penjajahan
Belanda. Waktu itu, kita punya STN,
SMEP, SKKP, SKKN dan seterusnya. Saya
tidak tahu, bagaimana penghargaan masyarakat terhadap sekolah kejuruan
dibandingkan dengan sekolah umum (SMP/SMA).
Saya juga tidak tahu apakah sertifikat keterampilan dipersyatkan untuk
mengerjakan suatu pekerjaan tertentu.
Sejak tahun 1970an
akhir, tampaknya kita mulai bergeser ke human development approach. Konon waktu itu banyak ahli
pendidikan/cendikiawan yang menempuh pendidikan lanjut di Amerika Serikat dan
ketika pulang membawa faham baru. Saya
lupa kapan pastinya, tetapi sekolah kejuruan pada jenjang SMP dihapus dan di
SMA dirintis program A dan B. Dirintis
PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) mirip dengan comprehensive school di
Amerika Serikat. Pada jenjang SMA di PPSP,
dibuka program A1. A2, A3 dan B. Program
B sebenarnya mirip program vokasi. Oleh
karena itu di PPSP disedikan bengkel yang cukup lengkap.
Sayangnya program B di
PPSP tidak diminati. Konon siswa PPSP
kelas 9 yang baik ke kelas 10 Program B, keluar dan pindah ke SMA umum. Tampaknya saat itu, dan masih terasa sampai
saat ini, SMK itu dianggap “kelas rendah”.
Bahkan ada joke SMA itu sekolah menengah untuk anak, sementara SMK itu
sekolah menengah untuk keponakan. Konon
tidak banyak putra-putri guru SMK yang masuk SMK, dan memilih masuk SMA.
Mengapa SMK kurang dihargai?
Jujur saya tidak faham, mungkin teman-teman sosiologi yang lebih
mengerti. Apa karena lapangan pekerjaan
terbatas, sehingga banyak lulusan SMK menganggur yang proporsinya konon lebih
banyak lulusan SMA? Atau karena untuk
memasuki jenis pekerjaan tertentu tidak dipersyaratkan sertifikat, sehingga
lulusan SMK harus bersaing secara bebas dan kemudian banyak yang kalah? Atau karena pola pendidikan di SMK serta
fasilitasnya sangat minimal, sehingga kompetensi lulusannya tidak bagus? Atau karena industri di Indonesia tidak
memerlukan tenaga kerja dengan skill tinggi, sehingga tidak perlu pelatihan
setingkat SMK? Atau? Atau?
Serangkaian pertanyaan yang memerlukan perenungan,
pemikiran bahkan riset yang cukup dalam.
Hal itu diperlukan agar kita memiliki desain pendidikan yang jelas,
efektif dan efisien. Lebih dari itu,
pemegang kebijakan pendidikan sebaiknya tidak latah mengubah ini dan itu tanpa
argumen yang kokoh. Laporan penelitian
Daniel Suryadarma yang kemudian menjadi report Bank Dunia dengan judul “The
Value of Vocational Education: An Indonesia Case”, layak untuk dibaca. Semoga.