Ini cerita ringan dari
Edinbrugh. Tanggal 24 s.d 31 Agustus dan tanggal 5 s.d 6 September 2015 saya
dan isteri menghabiskan waktu di Edinbrugh.
Mumpung mendapat undangan ke University Bremen Jerman dan mumpung agenda
di kampus maupun lainnya tidak terlalu padat.
Jadi sengaja kami mengunjungi anak sulung (Kiki) yang sejak Juni tahun
lalu pindah ke rumah baru. Jika
sebelumnya anak dan menantu tinggal di apartmen di Nicholson Street, tengah
kota Edinbrugh, sekarang pindah ke Carrick Knowe, pinggiran kota Edinbrugh.
Sejak mereka mencari
rumah baru, saya dan isteri sudah dimintai pertimbangan ini dan itu dan kami
tentu senang sekali. Senang karena
mereka (anak dan menantu) akan punya rumah sendiri dan tentu punya halaman
cukup, kedua karena mereka minta pertimbangan kami sebagai orangtua yang punya
pengalaman mengatur rumah. Nah, akhirnya
mereka mendapatkan rumah di kompleks Carrick Knowe, di ujung jalan sehingga
memiliki halaman belakang cukup luas.
Halaman belakangnya berbatasan dengan jalan kereta api, sehingga dari
ruang makan dan dapur kami dapat melihat kereta api dan trem yang lewat.
Seperti lazimnya rumah
di Edinbrugh, satu bangunan kopel dua lantai dimiliki atau dihuni 4
keluarga. Anak saya kebagian lantai atas
bagian kanan, dengan dua kamar tidur cukup besar, ruang keluarga/tv, ruang
makan, dapaur dan kamar mandi. Di
samping itu, kebagian halaman samping sampai ke belakang berbentuk
segitiga. Berbentuk segitiga karena
berbagi denga rumah di sebelah yang posisinya pas tusuk sate. Panjang ke belakang, saya perkirakan sekitar
25 m dan alas segitiga di belakang sekitar 20 meter. Itu masih ditambah dengan halaman as
dibelakang rumah yang dipakai bersama dengan tetangga lantai untuk menjemur
pakaian, sekitar 8 x 10 m. Nah tetangga
lantai bawah kebagian halaman depan rumah.
Di halaman samping
yang berbentuk segitiga itu seperti dibagi menjadi tiga bagian. Bagian paling belakang yang berbatasan dengan
lahar jalur kereta api dibatas dengan tembok dari batu ala bangunan kuno. Nah mepet dengan pagar tembok itu terletak bagian yang berlantai petak-petak
semen. Katanya dulu oleh pemilik lama dirancang
untuk barberque. Bagian tengah terletak
bagian yang berumput yang sepertinya dipakai bermain. Bagian depan yang berbentuk segitiga ditanami
bunga. Di antara masing-masing bagian
itu dibuat seperti lahan pembatas yang lebarnya sekitar 2 meter dan ditanami
sayuran atau buah-buahan. Di samping
itu, antara halaman miliki anak saya dengan lahan yang dipakai bersama juga ada
pembatas berupa tanaman bunga dan buah-buahan dengan lebar sekitar 1 m.
Ketika tanggal 5
pagi-pagi terbang dari Bremen ke Edinbrugh via Paris, saya berpikir tinggal
punya waktu 1 hari setengah di Edinbrugh, sehingga ingin sekali saya manfaatkan
untuk membantu mengatur halaman samping itu. Sampai di rumah anak saya, mungkin
sekitar pukul 12 siang dan pagi-pagi tanggal 7 sudah harus kembali ke
Indonesia. Pada hal, masih banyak
pekerjaan di halaman belakang (saya sering menyebut kebun) anak saya yang harus
saya kerjakan. Oleh karena itu, saya
bertekat untuk memanfaatkan waktu setengah hari itu dengan maksimal.
Untunglah tanggal 5 September
cuaca sangat cerah, sehingga setelah datang dan istirahat sebenar, sekitar
pukul 16 saya bersama isteri, anak dan menantu mulai ke kebun belakang
rumah. Saya kebagian membersihkan
tanaman liar yang merambat memenuhi pagar batu di belakang. Tanaman itu konon pada awalnya tumbuh di
lahan jalur kereta api di balik pagar
batu, kemudian merambat ke pagar batu dan melewati bagian atas pagar masuk ke
dinding pagar sebelah bagian halaman rumah anak saya. Tanaman liar itu harus dibersihkan, sehingga
saya memanjat pagar batu itu dan mulai memotong batang tanaman agar sebagian
ditarik ke dalam halaman dan sebagian di buang ke lahan umum. Ternyata batangnya sangat banyak dan kuat,
sehingga saya harus memotong bagian demi bagian dan mendorongnya agar jatuh ke
halaman umum.
Tampaknya duduk saya
kurang mapan, sehingga saya jatuh ke halaman umum di dekat rel kereta. Untunglah lahan itu penuh dengan semak liar
terutama brambel, sehingga saya tidak jatuh ke tanah. Namun karena brambel itu berduri, tentu tangan
dan kaki saya kena duri. Tetapi tidak
terlalu banyak, karena saya memakai training da duri di batang brambel juga
jarang dan pendek-pendek. Anak saya,
Kiki yang justru berteriak dan minta saya berhenti bekerja. Saya meyakinkan bahwa tidak apa-apa yang
melanjutkan bekerja sampai sekitar pukul 19 (magrib di Edinbrugh saat itu pukul
20.30) dan ternyata hanya mampu menyelesaikan sekitar separuh pagar.
Malamnya, setelah
mandi bekas goresan duri diberi alkohol dan kemudian diolesi minyak kelapa
khusus. Kiki meng-upload foto saya waktu
di atas pagar batu ke WA dan diberi
keterangan “papa jatuh dari pagar”, sehingga Lala, anak saya yang di Jakarta
yang ganti ribut. Sambil membuat nasi
goreng untuk makan malam bersama saya berkomentar di WA “biasa kok, tidak
apa-apa, anggap saja seperti dulu waktu menyambil rumput di Ponorogo”. Dan memang betul tidak apa-apa, karena
goresan duri brambel hanya sedikit.
Besuk paginya, tanggal
6 September cuaca juga cerah, sehingga kami bisa menyelesaikan pekerjaan yang tersisa. Saya menyelesaikan membersihkan tanaman liar
di pagar, Roy-menantu saya kebagian memotong rumput, isteri saya dan Kiki yang
meramut tanaman. Sekitar jam 13an sudah
selesai, dan kami istirahat untuk keluar makan siang bersama.
Tampaknya, anak saya
ingin mengajak makan siang yang agak khusus di hari terakhir saya di
Edinbrugh. Kami bermobil meluncur ke
kota dengan waktu tempu sekitar 15 menit.
Setelah melihat-lihat dan seperti biasanya membeli buku, kami makan di
restoran Meksiko. Lumayan bisa mencicipi
masakah Meksiko, dengan alunan musik khas sana.
Sepulang dari makan
siang dan istirahat sebentar, kembali kami berempat ke kebun belakang. Roy menambal ban sepeda, Kiki dan isteri
memotongi ujung bunga heither, sedangkan saya mencoba membongkar pokok batang
tanaman liar yang batangnya yang merambat di pagar sudah saya habiskan. Ternyata, akan tanaman liar itu masuk ke
sela-sela batuan yang ditumpuk dan bercampur dengan tanah di lahan mepet pagar. Untunglah Roy punya skrop yang ujungnya seperti
sendok garpu, sehingga dapat saya pakai untuk menjugil batu besar-besar itu.
Satu demi satu, batu
yang menjepit pokok batang dan akar tanaman liar itu saya ambil, tetapi ketika
mendapat yang cukup besar, harus digulingkan karena tidak kuat mengangkat. Nah, pas menggulingkan itu sepertinya saya
tidak hati-hati. Ujung jari manis tangan
kanan saya tergencet, tetapi untungnya saya menggunakan sarung tangan. Walaupun demikian, tetap saja keluar darah
sedikit dan membiru.
Kembali Kiki yang
ribut dan minta saya menghentikan pekerjaan.
Isteripun menimpali, “biasa papamu kalau bekerja terlalu semangat”. Ujung jari yang berdarah saya celupkan cairan
beralkohol yang biasa digunakan untuk membunug slug. Perih tetapi darahnya segera berhenti. Setelah itu, Kiki minta diguyur dengan air
kran yang dingin agar mengurangi bengkak.
Setelah selesai dan
mandi, kami duduk-duduk di ruang makan sambil memandangi kebun belakang yang
sudah lumayan rapi. Nah, waktu itu Kiki
melihat jari saya yang bengkak karena tergencet batu. Ributlah dia, dan minta Roy memberi
obat. Tetapi hari sudah jam 20an,
sehingga apotek tentu sudah tutup. Akhirnya diputuskan mencari ke supermarket
dan dapat obat antiseptik “detol”.
Lumayan, setelah saya bungkus kapas yang diberi detol, bengkaknya segera
berkurang.
Sambil makan malam
berupa bubur gandum dicampur dengan potongan daging ayam plus brokoli, saya
katakan kepada Roy dan Kiki bahwa saya senang sekali dengan rumah kalian yang
punya kebun. Kompleksnya juga tertata
rapi. Moga-moga tahun depan dapat kesini
lagi melihat hasil tanaman sayur dan bunga yang kemarin ditanam. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar